Budaya, Nasional

Penerapan batas usia belum efektif cegah perkawinan anak di Indonesia

Angka dispensasi pernikahan anak melonjak tajam dalam dua tahun terakhir, setelah batas usia pernikahan anak dinaikkan menjadi 19 tahun

Nicky Aulia Widadio  | 04.06.2021 - Update : 09.06.2021
Penerapan batas usia belum efektif cegah perkawinan anak di Indonesia Ilustrasi: Anak-anak Indonesia. ( Muhammad A.F - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Langkah pemerintah meningkatkan batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun ternyata belum cukup efektif menghapus praktik perkawinan pada anak.

Batas minimal usia ini berlaku setelah pemerintah dan DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada 2019 lalu, sekaligus mengubah batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Ketentuan ini menjadi salah satu tumpuan harapan di saat Indonesia menjadi negara kedua dengan kasus perkawinan anak tertinggi di Asia Tenggara serta yang kedelapan di dunia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sempat mencatat penurunan angka perkawinan anak di Indonesia dari 11,54 persen pada 2017 menjadi 10,82 persen pada 2019.

Namun ketika pandemi menghantam pada 2020, Komnas Perempuan menyatakan praktik perkawinan pada anak melonjak tajam hingga 300 persen.

Shagiar Maulana, seorang pejuang hak anak di Lombok Barat mengatakan upayanya mencegah perkawinan anak bertambah berat sejak pandemi Covid-19 melanda.

Mahasiswa Universitas Mataram ini bergabung dengan program pencegahan perkawinan anak “Yes I Do” bersama Yayasan Plan International Indonesia sejak lima tahun lalu.

Beragam upaya mulai dari edukasi risiko pernikahan dini, pencegahan, hingga mediasi kasus perkawinan anak telah mereka jalankan.

“Sedih sekali rasanya kita selama ini berjuang sejak lima tahun lalu, ketika kami mendapatkan sebuah peluang, ada saja hambatan yang terjadi selanjutnya,” tutur Shagiar melalui sebuah webinar pada Kamis.

Kebijakan pemerintah menutup sekolah dan menerapkan sistem belajar jarak jauh untuk mengurangi risiko penularan Covid-19, justru menimbulkan implikasi baru pada upaya pencegahan perkawinan anak.

Sebanyak 800 siswa di NTB menikah dini sepanjang 2020, kemudian pada Januari-Februari 2021 sudah 100 siswa yang melakukan perkawinan dini.

“Di masa pandemi ini ada satu alasan khusus mereka, yaitu saat belajar dari rumah mereka tidak ada kegiatan sama sekali, itu alasan mereka kenapa mau menikah,” tutur Shagiar.

Dia menjelaskan, beberapa anak yang menikah dini cenderung merasa kurang berkomunikasi dan sulit menyampaikan apa yang mereka rasakan kepada orang tua selama menjalani sekolah jarak jauh.

“Mereka membuat pelarian ke pasangan mereka, merasa hanya pasangan mereka yang membuat nyaman dan merasa didengarkan,” jelas dia.

Dalam kondisi ini, menurut Shagiar, anak akhirnya tidak ragu menerima ajakan menikah dari pasangan mereka meski belum cukup umur.

Sementara itu, mencegah agar perkawinan yang direncanakan tidak terjadi juga bukan perkara mudah. Pelaku perkawinan anak kerap mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama untuk melegalkan pernikahan tersebut.

“Saya kan sering memberi edukasi kalau ingin menikah dini, dia tidak akan mendapatkan akta kelahiran dan buku nikah,” ujar Shagiar.

“Tetapi orang tua dan pasangan ini menyanggah bahwa mereka bisa menikah secara legal lewat dispensasi kawin. Itu membuat kami kaget, apa yang harus kami lakukan ketika diberi pernyataan seperti itu?” tanya dia.

Data Badan Peradilan Agama menunjukkan angka dispensasi pernikahan anak melonjak tajam dalam dua tahun terakhir, setelah batas usia pernikahan anak dinaikkan menjadi 19 tahun.

Pada 2016, hanya ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan, kemudian menjadi 11.819 dispensasi pada 2017, kemudian 12.504 dispensasi pada 2018.

Sedangkan pada 2019 terdapat 23.126 dispensasi yang dikabulkan, kemudian meningkat hingga hampir tiga kali lipatnya menjadi 64.211 dispensasi pada 2020.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan data ini bisa dimaknai menjadi dua hal. Pertama, angka pernikahan anak pada usia 16-19 tahun memang tinggi sebelum batas usia dinaikkan lewat revisi UU Perkawinan.

Kedua, ini menunjukkan sosialiasi terkait batas usia perkawinan sehingga masyarakat masih berupaya mencari celah untuk melegalkan pernikahan di bawah umur.

“Kita perlu mensosialisasikan ini kepada masyarakat melalui berbagai channel utama entah itu media sosial atau yang lain,” ujar Alimatul.

Dia melanjutkan, perempuan juga menjadi pihak yang paling terdampak dari perkawinan anak karena rentan putus sekolah, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meningkatkan potensi kematian ibu dan anak, serta berujung pada kasus stunting pada anak.

Komnas Perempuan mencatat ada 176 anak yang menikah per hari sepanjang 2020 dan sebanyak 90 persen di antaranya merupakan perempuan.

Dispensasi kawin semestinya berorientasi mencegah perkawinan anak

Meski Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan batas usia 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki untuk menikah, masih ada celah untuk melegalkan perkawinan anak melalui dispensasi yang bisa diajukan ke Pengadilan Agama.

Aturan mengenai ini tertuang pada Pasal 7 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa orang tua dapat meminta dispensasi apabila ada alasan mendesak disertai bukti pendukung yang cukup.

Mahkamah Agung kemudian memperjelas pedoman pengabulan dispensasi perkawinan melalui Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2019.

Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Ahmad Nur mengatakan dispensasi kawin, sesuai Peraturan MA tersebut, idealnya menjadi benteng penjaga terakhir untuk mencegah perkawinan anak dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.

“Sering kali ‘image’-nya Pengadilan Agama paling banyak mengabulkan, tapi sebenarnya dispensasi kawin itu sarana hukum yang melindungi anak. Pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan itu bisa dilakukan demi memberi perlindungan,” ujar Ahmad.

Upaya perlindungan yang dimaksud, kata dia, salah satunya dengan menghadirkan anak yang bersangkutan dalam persidangan.

Ini bertujuan untuk memastikan penyebab mengapa perkawinan anak tersebut perlu dilakukan, apakah ada alasan yang mendesak, apakah ada paksaan, dan lain-lain.

“Kalau anak tidak hadir, wajib menunda sidangnya untuk bisa dihadirkan. Hakim juga wajib melakukan penasihatan kepada anak, kedua orang tua, serta calon besannya,” jelas Ahmad.

Dia tidak menyangkal bahwa peluang dispensasi ini juga memunculkan celah hukum yang justru bertentangan dengan semangat mencegah perkawinan anak.

Menurut Ahmad, banyak pemohon yang mengajukan pengesahan pernikahan bertahun-tahun kemudian, bahkan setelah memiliki anak dari perkawinan di bawah umur.

“Setelah ditelusuri kapan mereka menikah, ternyata ketika di bawah umur. Apakah karena ketika dulunya mengajukan dispensasi kawin ditolak atau mereka merasa banyak prosedurnya, tapi begitulah fenomenanya,” ujar dia.

Ahmad melanjutkan, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah pernikahan dini pada tahap ini adalah dengan memperketat persyaratan pengajuan dispensasi.

Misalnya, dengan mewajibkan syarat rekomendasi dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau Dinas Kesehatan setempat bahwa pernikahan ini mendesak untuk dikabulkan oleh pengadilan.

“Ketika kita sepakat menetapkan standar yang lebih ketat akan jauh lebih baik sehingga pernikahan dini itu menjadi pilihan terakhir dan punya alasan yang masuk akal,” kata Ahmad.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Plan Intenational Indonesia Dini Widiastuti menuturkan upaya mencegah perkawinan anak juga harus diiringi dengan membenahi persoalan pendidikan, kemiskinan, hingga peluang mengakses pekerjaan.

“Ini juga harus dipikirkan, kalau tidak ada solusi yang ada malah memicu perkawinan di bawah tangan,” kata Dini.

Kesadaran komunitas masyarakat terkait risiko perkawinan anak, lanjut dia, juga perlu dibangun untuk menggawangi target ini.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.