Nasional

Pasal penghinaan agama multitafsir, Koalisi Sipil minta pengesahan RKUHP ditunda

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pasal tentang agama dalam draf RKUHP justru membuka ruang diskriminasi, konflik, serta melegitimasi tindakan intoleransi

Nicky Aulia Widadio  | 02.07.2019 - Update : 02.07.2019
Pasal penghinaan agama multitafsir, Koalisi Sipil minta pengesahan RKUHP ditunda Ilustrasi. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA 

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Pratiwi dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengatakan pasal-pasal tentang agama dalam draf RKUHP justru membuka ruang diskriminasi, konflik, serta melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat.

DPR berencana mengesahkan RKUHP pada minggu kedua atau minggu ketiga Juli 2019 sebelum periode tugas mereka berakhir pada Oktober 2019 nanti. RKUHP masuk ke dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas).

“Kami meminta pengesahan RKUHP ditunda dan pembahasan dengan masyarakat terkait dibuka kembali,” ujar Pratiwi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil, ada setidaknya enam pasal atau dalil pada RKUHP yang multitafsir sehingga berpotensi menjadi pasal karet.

Misalnya, pasal 250 dan 313 dalam draf RKUHP versi 25 Juni 2019 masih menggunakan kata “penghinaan” yang bersifat subyektif.

Pasal 250 berbunyi tentang penghinaan terhadap golongan tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit dan agama.

“Meskipun semangat pasal ini (250 RKUHP) baik, tetapi kata ‘penghinaan’ perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir,” kata Pratiwi.

Sedangkan pasal 313 RKUHP mengatur lebih khusus terkait penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar kata “penghinaan” bisa digantikan oleh “siar kebencian” untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan.

Kemudian pasal 2 RKUHP juga menyebutkan bahwa hukum yang hidup di dalam masyarakat tetap berlaku meski tidak diatur dalam KUHP.

Menurut Pratiwi, ketentuan tersebut telah menyimpangi asas legalitas dan membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat pada sejumlah peraturan daerah diskriminatif.

Pasal-pasal lain yang juga memuat diksi yang berpotensi multitafsir yakni pasal 315, pasal 316, serta pasal 503 RKUHP.

-RKUHP tidak menjamin kebebasan beragama

Direktur Paritas Institute, Penrad Siagian menilai pasal-pasal tentang agama dalam RKUHP justru tidak menjamin kebebasan beragama bagi seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.

Menurut dia, sejumlah kasus kekerasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia kerap kali berdasarkan penafsiran dari kelompok tertentu atas kasus yang dianggap sebagai “penghinaan”.

Sementara makna “penghinaan” itu sering kali sangat subjektif atau dipicu perbedaan tafsir keagamaan.

“Jangan sampai regulasi ini jadi alat bagi kelompok tertentu untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain,” kata Penrad.

Dia menuntut agar DPR tidak buru-buru mengesahkan RKUHP, memperdalam kembali pasal-pasal tersebut, serta melakukan uji publik agar nantinya RKUHP yang disahkan bisa menjadi penjamin kebebasan beragama.

Negara, lanjut dia, semestinya hadir menjadi penjamin kebebasan beragama termasuk melalui instrumen undang-undang seperti KUHP.

Peneliti dari Institute Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah mengatakan ranah pidana semestinya tidak melulu menjadi jalan keluar bagi konflik beragama di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.

Apalagi jika pengusutan secara pidana ini berdasar pada tafsir subjektif kelompok tertentu.

“Apakah kita boleh menghina seseorang, menghina agama? Tidak boleh. Tapi jalan keluarnya tidak harus pidana,” ujar Siti.

Menurut dia, pendekatan dialogis semestinya diutamakan untuk meningkatkan pemahaman lintas agama.

“Untuk mengetahui batasan masing-masing itu dibangun lewat dialog, bukan dengan pidana. Pidana justru mengeraskan antipati antar-kelompok yang berbeda,” kata dia.

Sejauh ini, penggunaan pasal penodaan atau penghinaan agama dalam delik pidana telah menjadi perdebatan.

Salah satu kasus penodaan agama yang menjadi sorotan adalah kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ahok telah menjalani hukuman dua tahun penjara akibat pernyataannya kepada warga Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al Maidah ayat 51.

Ahok ketika itu masih menjabat sebagai Gubernur dan tengah bersaing dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta bersama politisi PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat.

Ucapan Ahok menjadi sorotan publik setelah seorang warga net, Buni Yani, mengunggah video tersebut melaluik akun Facebook-nya. Kasus ini juga memicu aksi massa 212.

Pasal penodaan agama juga menjerat seorang perempuan Tionghoa di Tanjung Balai, Sumatra Utara setelah mengeluhkan pengeras suara azan di masjid dekat rumahnya. Dia divonis hukuman 18 bulan penjara.

Informasi yang beredar di tengah masyarakat terkait ucapan Meiliana juga sempat memicu perusakan vihara oleh massa.

Kasus terbaru di Sentul, Bogor juga menjerat seorang perempuan menjadi tersangka kasus penodaan agama.

Perempuan berinisial SM itu masuk ke Masjid Al Munawaroh, Bogor, sambil membawa anjing dan menggunakan alas kaki.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.