Nasional

MUI minta ulama berperan cegah pernikahan anak

Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan kedua di ASEAN untuk kasus pernikahan anak

Adelline Tri Putri Marcelline  | 20.04.2021 - Update : 21.04.2021
MUI minta ulama berperan cegah pernikahan anak Pengantin menggelar akad nikah di Jakarta pada Sabtu, 28 Maret 2020. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta para ulama berperan untuk mencegah pernikahan anak melalui pendidikan dan dakwah kepada masyarakat.

Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Amany Lubis menyatakan bahwa pernikahan usia anak di Indonesia merupakan tantangan bersama bagi pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali ulama dan tokoh agama.

“Saya ingin katakan bahwa penyuluh agama apa pun di Indonesia harus berpegang pada prinsip Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan,” kata Amany dalam diskusi Pencegahan Perkawinan Anak dalam Pandangan Lintas Agama secara virtual, Selasa.

Menurut dia, melalui pendidikan dan dakwah, para ulama bisa mengenali penyebab akar masalah perkawinan usia anak, sehingga solusi pencegahan bisa dilakukan sesuai dengan masalahnya.

Dia mencontohkan, perkawinan usia anak yang disebabkan oleh hamil di luar nikah, maka dapat dicegah melalui penanaman nilai-nilai agama.

Seperti dengan pengendalian diri dan akhlak mulia yang diterapkan dalam keluarga, lembaga pendidikan maupun masyarakat, kata dia.

Dia juga mencatat, ada lima provinsi di Indonesia yang memiliki peringkat tertinggi dalam pernikahan anak, yaitu Sulawesi Barat sebanyak 34,22 persen, Kalimantan Selatan 33,68 persen, Kalimantan Tengah 33,56 persen, Kalimantan Barat 32,21 persen serta Sulawesi Tengah 31,91 persen.

Amany mengingatkan bahwa tujuan pernikahan ialah menuju keluarga sakinah dan bahagia, seperti yang dinyatakan dalam Undang-undang Perkawinan.

Sehingga tutur dia, perkawinan memerlukan kesiapan dan kemampuan baik secara fisik, mental, spiritual, moral, sosial-budaya, dan ekonomi.

“Namun konsep kesiapan erat dengan kedewasaan lahir batin, yang salah satu indikatornya adalah usia,” jelas dia.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Agustina Erni menyetujui agar seluruh pemuka agama berperan aktif untuk mencegah perkawinan anak.

Dia yakin sinergi antara pemerintah, pemuka agama, dan organisasi masyarakat mampu mengubah cara pandang pihak-pihak tertentu yang membenarkan pernikahan anak.

“Memang ini merupakan satu masalah yang kompleks, karena itu kami merasa tidak bisa bekerja sendiri,” tegas Agustina.

Dia melanjutkan, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan 1 dari 9 anak perempuan menikah saat usia anak.

“Indonesia menduduki peringkat ke 8 di dunia dan kedua di ASEAN untuk kasus pernikahan anak,” ungkap dia.

Pemerintah sebetulnya telah memiliki landasan hukum terkait perkawinan anak.

UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, yaitu 19 tahun. Sebelumnya, batas usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun.

Namun, hal ini tidak serta-merta menjamin pernikahan anak dapat dicegah.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kasus pernikahan anak di tengah pandemi Covid-19 justru meningkat hingga tiga kali lipat.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan tahun 2020 lalu terdapat 64.211 pernikahan anak. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding 2019 yang tercatat 23.126 kasus.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.