Nasional

Mereka yang hembuskan napas terakhir karena urus pemilu

367 petugas yang meninggal kelelahan bekerja sejak pagi hingga dini hari

Nicky Aulia Widadio  | 29.04.2019 - Update : 30.04.2019
Mereka yang hembuskan napas terakhir karena urus pemilu Warga mengantre untuk melakukan pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 25 desa Tuban, Kecamatan Kuta Badung, Bali, Indonesia pada 17 April 2019. ( Mahendra Moonstar - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA 

Sebanyak 367 orang pelaksana Pemilihan Umum 2019 meninggal dunia diduga akibat kelelahan setelah menjalankan tugas.

Petugas yang meninggal terdiri dari 296 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), 55 orang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan 16 anggota kepolisian.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat sebanyak 70 persen dari petugas yang meninggal berusia di atas 40 tahun.

Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim menuturkan 2.151 orang anggota KPPS lainnya masih dalam kondisi sakit berdasarkan data yang dihimpun hingga Senin pagi.

Sebagian besar diduga kelelahan setelah bekerja dari pagi hingga dini hari menghitung perolehan suara.

Pemilu 2019 menyerentakkan pemilihan capres-cawapres, partai politik, anggota legislatif untuk DPR RI, DPRD tingkat provinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota, serta calon anggota DPD RI.

Ada sekitar tujuh juta orang yang terlibat sebagai penyelenggara pemilu di 800 ribu tempat pemungutan suara.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Siregar sebelumnya mengatakan kombinasi pemilu presiden dan legislatif membuat beban kerja para penyelenggara pemilu bertambah signifikan dibandingkan pemilu sebelumnya.

“Itu yang menimbulkan banyak kelelahan, banyak yang sakit dan meninggal dunia,” ujar Fritz.

Cerita dari Widiriyani, 52, anggota KPPS di TPS 16 Kelurahan Campago Guguk Bulek, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat mengonfirmasi beratnya beban kerja pada pemilu kali ini.

KPPS yang beranggotakan tujuh orang harus menghitung dan merekapitulasi lebih dari 1.000 surat suara dari 225 pemilih di TPS tempat dia bertugas.

Widi mengatakan penghitungan suara pemilihan legislatif memakan waktu paling lama karena mereka harus menghitung perolehan suara dari belasan partai politik dan ratusan caleg.

Selain itu, KPPS juga bertugas menyusun laporan dan melengkapi berita acara pemungutan suara untuk diberikan kepada seluruh saksi dan KPU.

“Saat hari pemungutan suara kami bekerja sejak jam 7 pagi, mulai menghitung suara jam 2 siang, tapi baru selesai jam 03.30 subuh,” ujar Widi pada Anadolu Agency.

Widi menuturkan anggota KPPS menerima upah senilai Rp605 ribu, tanpa asuransi dan tidak didampingi oleh petugas kesehatan.

Menindaklanjuti banyaknya petugas yang gugur dan sakit, pemerintah telah menyetujui usulan KPU untuk memberi santunan bagi penyelenggara pemilu yang mengalami kecelakaan kerja selama bertugas.

“Santunan ini berlaku bagi penyelenggara yang mengalami kecelakaan kerja yang terjadi sejak Januari 2019 hingga berakhir masa tugas mereka,” ujar Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting melalui keterangan tertulis, Senin.

Pelaksana yang meninggal diberi santunan maksimal Rp36 juta, sedangkan yang sakit, luka, atau cacat diberi santunan bekisar Rp8,25 juta hingga Rp30 juta.

Desakan evaluasi pemilu

Wakil Presiden Jusuf Kalla mendesak penyelenggaraan pemilu serentak ini menyusulnya banyaknya jumlah pelaksana yang meninggal dan sakit.

“Apa itu mau diteruskan supaya lima tahun lagi yang meninggal ratusan karena capek, menghitung lama? Harus proporsional lah,” ujar Kalla.

Dia menilai makna “serentak” dalam pelaksanaan pemilu perlu ditinjau kembali. Aturan terkait pemilu juga berpeluang berubah melalui revisi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dasar dari pelaksanaan pemilu serentak ialah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 yang diwujudkan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.

Ini berbeda dengan Pemilu 2014, waktu itu pileg dan pilpres diselenggarakan terpisah dengan jeda tiga bulan.

Usul penyelenggaraan pemilu serentak mulanya datang dari Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak yang menggugat UU 42/2008 tentang Pemilihan Presiden.

Mereka menilai penyelenggaraan pemilu serentak akan lebih efisien dari segi waktu dan biaya dan MK akhirnya mengabulkan gugatan tersebut.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengkritik model Pemilu 2019 ini lebih seperti “pemilu borongan”, bukan “pemilu serentak".

Dia mengusulkan agar pelaksanaan pemilu serentak dibagi menjadi dua bagian yakni pemilu nasional dan pemilu lokal.

Pemilu serentak nasional menyelenggarakan pemilihan presiden, calon legislatif untuk DPR, dan DPD.

Sedangkan pemilu serentak lokal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan DPRD tingkat kabupaten dan tingkat provinsi.

“Ini bisa mengurangi beban kerja petugas penyelenggara pemilu,” kata dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.