Nasional

Komnas Perempuan: Kebijakan diskriminatif perempuan terus bertambah

Jumlah kebijakan diskriminatif perempuan bertambah dari 150 pada 2010 menjadi 421 pada 2017

Hayati Nupus  | 23.05.2018 - Update : 24.05.2018
Komnas Perempuan: Kebijakan diskriminatif perempuan terus bertambah Ilustrasi: Seorang pengunjung membaca papan catatan kinerja Komnas Perempuan di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Selasa, 23 Februari 2018. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Komisioner Komnas Perempuan Indriyati Soeparno mencatat jumlah kebijakan diskriminatif perempuan bertambah dari 150 pada 2010 menjadi 421 pada 2017.

Kebijakan diskriminatif perempuan yang sebagian besar diterbitkan oleh Pemerintah Daerah itu, ujar Indriyati, berupa represi tubuh perempuan, seperti larangan perempuan keluar malam hingga pembatasan cara berpakaian.

“Kebijakan itu tidak memberikan afirmasi, malah membatasi perempuan,” ujar Indriyati, Rabu, kepada Anadolu Agency, seusai peluncuran Laporan Kajian Kebijakan: Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan dan Pemenuhan HAM Perempuan serta Pembangunan Perdamaian di Indonesia.

Salah satu kebijakan itu, kata Indriyati, menyoal penyiapan sarapan pagi untuk anak di Kabupaten Purwakarta. Sekilas kebijakan itu tampak biasa, namun dengan konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab domestik, kebijakan itu justru menambah beban kerja.

“Kalau begitu ada banyak perempuan pekerja yang melanggar Perda,” ujar Indriyati.

Sebagian besar kebijakan itu, kata Indriyati, berada di wilayah bekas konflik, rentan konflik, atau wilayah dengan intoleransi kuat.

Jumlah kebijakan diskriminatif itu, ungkap Indriyati, terus bertambah karena tak mudah dibatalkan. Dulu Kementerian Dalam Negeri memiliki otoritas untuk membatalkan Peraturan Daerah, namun belakangan otoritas itu dicabut.

Kini, ujar Indriyati, Kementerian Dalam Negeri hanya memiliki otoritas untuk mengevaluasi kebijakan yang rentan mendiskriminasi. Sedang untuk pembatalan kebijakan harus berdasarkan keputusan Mahkamah Agung, lewat gugatan atau judicial review.

Selama ini, ungkap Indriyati, Komnas Perempuan memprioritaskan upaya pencegahan agar kebijakan diskriminatif itu tidak bertambah. Selain itu, Komnas juga mendorong daerah untuk memproduksi kebijakan produktif.

“Kami juga terus mendokumentasi pelanggaran atau mengidentifikasi korban yang muncul, kalau upaya judicial review memang panjang,” ujar dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın