Produsen batu bara Indonesia terimbas kejatuhan harga acuan
Produsen batu bara membutuhkan harga acuan di kisaran USD62 per ton, sementara saat ini harga acuan turun lebih rendah dari USD60 per ton

Jakarta Raya
JAKARTA
Kajian dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkapkan bahwa kejatuhan harga acuan batu bara akibat pandemi Covid-19 menimbulkan masalah serius pada arus kas perusahaan batu bara di Indonesia.
Lembaga kajian itu mengatakan, 6 dari 11 produsen batu bara Indonesia terpengaruh oleh penyebaran Covid-19.
“Kejatuhan yang drastis ini mungkin terkesan tidak mengancam industri batu bara dunia, namun yang jelas hal ini merupakan pukulan berat bagi pelaku industri asal Indonesia,” ujar analis IEEFA, Ghee Peh, dalam keterangan resmi, Senin.
Ghee mengatakan dalam dua tahun terakhir merupakan tahun yang baik bagi produsen batu bara Indonesia karena harga acuan batu bara mengalami peningkatan yang tetap.
Tetapi, penurunan harga acuan pada tahun 2020 terjadi dengan tiba-tiba dan tidak ada proyeksi akan harga terendah (floor price) atau suatu kerangka waktu untuk pemulihan.
“Kejatuhan yang tiba-tiba ini berarti bahwa para manajer tidak sempat memiliki waktu dan tidak berada pada posisi untuk melakukan upaya pengurangan biaya. Karena kejatuhan harga batu bara ini sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Bahkan, sampai akhir Februari 2020 masih belum diperkirakan oleh para pelaku industri,” urai Ghee.
Kajian IEEFA menganalisis, 11 perusahaan menggunakan lima metrik kunci dan menemukan bahwa Bumi Resources, ABM Investama, dan Geo Energy Resources membutuhkan harga acuan batu bara di kisaran USD60-62 per ton agar dapat mempertahankan aliran kas yang mencapai 'breakeven'.
“Saat ini harga acuan batu bara telah merosot bahkan menjadi lebih rendah dari USD60 per ton. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya perusahaan dengan biaya tinggi dapat memperoleh modal kerja untuk membiayai operasi mereka," ujar Ghee.
Dia menambahkan perusahaan batu bara memiliki kewajiban untuk membayar royalti pada pemerintah Indonesia sebesar 13,5 persen dari nilai penjualan batu bara. Dengan memperhitungkan kewajiban royalti, maka enam dari 11 perusahaan yang dikaji mengalami aliran kas yang negatif.
“Perusahaan-perusahaan ini akan mengalami masalah yang cukup serius ketika dihadapkan pada kewajiban membayar royalti. Dengan ini, ada kemungkinan bahwa perusahaan yang terdampak akan mengajukan permohonan untuk moratorium royalti,” jelas Ghee.
Ghee mengatakan apabila moratorium diberlakukan, maka perlu dipertanyakan apakah akan diberikan kepada semua perusahaan atau hanya perusahaan dengan aliran kas negatif per ton batu bara yang terjual.
“Apabila memang moratorium royalti diberlakukan kepada seluruh sektor, maka hal ini berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan sebesar USD1,26 miliar,” kata Ghee.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.