Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan tidak tepat
Keputusan menaikkan tarif iuran tersebut tidak dilakukan pada waktu yang tepat, bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung

Jakarta Raya
JAKARTA
Ekonom memperkirakan keputusan pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020 tidak tepat dan akan menimbulkan masalah baru.
Berdasarkan Perpres tersebut, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas 1 naik dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu, kelas 2 naik dari Rp51 ribu, dan kelas 3 naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu yang akan mulai berlaku mulai awal Juli mendatang.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan keputusan menaikkan tarif iuran tersebut tidak dilakukan pada waktu yang tepat.
Terlebih lagi, sebelumnya keputusan untuk menaikkan iuran BPJS melalui Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2019 juga sudah dianulir oleh Mahkamah Agung.
“Implikasinya, pasti terjadi penurunan kelas peserta dari sebelumnya kelas 1 dan 2 menjadi kelas 3,” ujar Tauhid kepada Anadolu Agency, Jumat.
Dengan begitu, dia memprediksi kelompok peserta di kelas 3 akan menjadi sangat gemuk karena harga iuran kelas 3 walaupun juga naik, masih sama dengan rata-rata harga iuran kelas 1 dan 2 sebelumnya.
“Konsekuensinya, kualitas pelayanan akan semakin turun karena dengan turun kelas, peserta akan mendapatkan pelayanan kelas 3 dan kapasitas kamar di rumah sakit juga belum tentu terpenuhi karena juga ada peserta kelas 3 yang iurannya dibayarkan pemerintah,” lanjut Tauhid.
Selain itu, Tauhid juga mengatakan akan muncul masalah baru berupa kepatuhan pembayaran, khususnya untuk kelas menengah ke atas yang sebenarnya sangat jarang sekali menggunakan layanan BPJS Kesehatan karena lebih memilih menggunakan asuransi pribadi yang memiliki layanan dan fasilitas lebih baik dengan harga premi yang tidak jauh berbeda.
“Kelompok menengah ke atas tingkat kepatuhan pembayarannya bisa bermasalah karena mungkin mereka terpaksa ikut BPJS Kesehatan [karena adanya kewajiban untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan],” tambah dia.
Tauhid mengatakan masalah lainnya adalah pada sisi fiskal pemerintah. Dia mengakui bahwa memang perlu ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan, namun seharusnya tidak dilakukan sekaligus sehingga biaya iuran naik dua kali lipat.
“Kenaikan iuran harusnya reguler dan bertahap 6 sampai 7 persen per tahun sehingga akan lebih smooth daripada harus naik sekaligus dua kali lipat,” kata Tauhid.
Dia mengatakan pada tahun 2019 BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp32 triliun dengan rata-rata tambahan hampir Rp10 triliun per tahun karena tarif yang tidak pernah naik sejak tahun 2016.
“Kesalahan dalam 5 tahun dengan tidak menaikkan tarif kemudian dipukul rata dalam satu tahun. Kalau memang harus ada kenaikan, ya bertahap agar masyarakat bisa menyesuaikan,” ujar Tauhid.
Dia mengatakan defisit yang dialami BPJS Kesehatan seharusnya bukan menjadi kesalahan masyarakat yang harus memikulnya dengan kenaikan tarif iuran dua kali lipat.
“Ini karena kesalahan pemerintah yang tidak konsisten dalam menaikkan iuran,” lanjut dia.
Tauhid juga mengatakan kenaikan iuran ini sangat memberatkan perusahaan pemberi kerja yang harus membayarkan iuran BPJS Kesehatan milik pekerjanya.
“Momentumnya tidak pas karena 2020 ada Covid-19 dan pengusaha juga saat ini sangat terbebani karena fokus utama mereka adalah menyelamatkan gaji karyawan serta pembayaran THR karyawan sehingga pembayaran iuran BPJS Kesehatan bukan menjadi prioritas,” ungkap Tauhid.
Oleh karena itu, dia mengatakan sangat mungkin terjadi penundaan pembayaran iuran BPJS Kesehatan dari perusahaan untuk para karyawan.
Keluhan serupa juga diutarakan oleh Ochsantoso, seorang praktisi HRD di salah satu perusahaan swasta. Dia mengakui kenaikan iuran dua kali lipat ini sangat memberatkan pemberi kerja.
“Perusahaan kami memiliki 40 ribu karyawan sehingga angka yang dikeluarkan untuk cover iuran BPJS Kesehatan tidak sedikit,” kata dia.