Ekonomi

Indonesia alami banyak hambatan ekspor tekstil ke Turki

Turki merupakan negara tujuan ekspor tekstil terbesar keenam bagi Indonesia dengan nilai USD168,9 juta pada periode Januari - Agustus 2020

Iqbal Musyaffa  | 27.10.2020 - Update : 28.10.2020
Indonesia alami banyak hambatan ekspor tekstil ke Turki Ilustrasi: Tekstil. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Perdagangan tekstil Indonesia masih menemui banyak hambatan ekspor ke Turki, padahal sektor tekstil merupakan salah satu andalan Indonesia dalam perdagangan dengan negeri dua benua tersebut.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan Turki merupakan negara tujuan ekspor produk tekstil terbesar keenam untuk Indonesia.

Pada periode Januari hingga Agustus 2020, total ekspor tekstil Indonesia ke Turki mencapai USD168,9 juta berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan.

Nilai tersebut anjlok 49,79 persen dari periode yang sama tahun 2019 yang saat itu mencapai USD336,6 juta, sementara total ekspor produk tekstil ke Turki sepanjang 2019 mencapai USD482,1 juta.

Turki lihai gunakan instrumen perdagangan tarif dan nontarif

Didi mengatakan nilai ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki kian turun dari tahun ke tahun. Ini bisa dilihat pada 2018 total ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki masih mencapai USD489,8 juta dan pada 2017 sebesar USD537,1 juta. 

Menurut dia, turunnya nilai ekspor produk tekstil Indonesia tersebut karena Turki merupakan negara yang lihai dalam mengelola kebijakan perdagangannya dalam menggunakan instrumen tarif untuk melindungi pasar dalam negerinya.

Dia menambahkan rata-rata tarif Most Favoured Nation (MFN) Turki untuk produk tekstil, serat, benang, kain, dan pakaian jadi sebesar 6,5 hingga 12 persen.

Kemudian bound tariff Turki untuk produk pakaian jadi, kulit, dan sepatu sebesar 40 persen dan untuk serat, benang, dan kain mencapai 92 persen.

“Sejak 2014 Turki telah menaikkan tarif rata-rata 26 persen untuk produk furnitur, peralatan medis, perkakas, besi, baja, alas kaki, karpet, dan tekstil,” kata Didi, dalam diskusi virtual, Selasa.

Didi mengatakan Turki juga menerapkan kebijakan luar biasa terkait tarif dengan menerapkan 'additional duties' untuk negara-negara yang belum memiliki perjanjian perdagangan bilateral -termasuk Indonesia- terhadap beberapa produk impor termasuk produk tekstil pada 20 April lalu sebesar 4 hingga 50 persen.

Selanjutnya, pada 23 September Turki memperpanjang masa penerapan 'additional duties' yang seharusnya berakhir pada 30 September menjadi akhir Desember 2020.

“Turki juga menerapkan instrumen nontarif dalam perdagangan internasionalnya,” tambah dia.

Didi menjabarkan rasio penggunaan nontariff measure (NTM) Turki mencakup 60,74 persen dari total impor Turki dan 24,16 persen dari ekspornya.

“Sebanyak 792 pos tarif tekstil telah dikenakan NTM,” kata Didi.

Instrumen NTM yang diterapkan Turki antara lain otoritasi dan pendaftaran untuk importir, sertifikasi, aturan pelabuhan pabean, pemantauan, dan pengawasan, pajak konsumsi, perizinan teknis ekspor dan inspeksi, serta persyaratan perlindungan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Selain itu, Didi mengatakan Turki juga menggunakan instrumen trade remedies anti-dumping dengan mengenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap barang dumping yang menimbulkan kerugian bagi industri domestik.

“Sejak 1995 hingga 2019 Turki telah menginisiasi 229 kasus anti-dumping dan menerapkan BMAD terhadap 199 kasus,” kata Didi.

Kemudian untuk trade remedies anti-subsidi, negara tersebut mengenakan bea masuk imbalan (BMI) terhadap barang impor yang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri domestik dengan menginisiasi investigasi pada 1 kasus dan mengenakan BMI pada 1 kasus.

Lalu, Turki juga menerapkan safeguards berupa tindakan untuk memulihkan kerugian atau ancaman kerugian serius yang diderita industri domestik sebagai akibat lonjakan impor dengan menginisiasi 25 kasus dan menerapkan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) pada 17 kasus.

“Indonesia merupakan negara target penyelidikan anti-dumping terbanyak keenam oleh Turki sejak tahun 1995 hingga 2019 dengan jumlah 9 kasus yang semuanya dikenakan bea masuk anti-dumping,” urai Didi.

Dia mengatakan 8 dari 9 kasus anti-dumping terhadap ekspor Indonesia masih berlangsung hingga saat ini dengan durasi pengenaan lebih dari 10 tahun.

Produk fitting dan polyester synthetic fiber Indonesia dikenakan BMAD oleh Turki sampai 2023 sehingga total pengenaan masing-masing produk mencapai 17 dan 23 tahun serta masih ada kemungkinan untuk diperpanjang.

Didi menambahkan selama periode 1995 hingga 2019 Turki telah menggunakan 17 instrumen safeguard yang 13 di antaranya merupakan produk ekspor Indonesia yang dikenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).

“5 kasus di antaranya adalah tekstil dan produk yang menggunakan bahan tekstil,” lanjut dia.

Didi mengatakan Turki juga menggunakan instrumen anti-circumvention dan Indonesia telah menjadi korban dalam praktik ini untuk 4 kasus.

Peluang ekspor produk tekstil Indonesia di Turki

Didi mengatakan walaupun produk tekstil Indonesia menemui banyak hambatan ekspor baik tarif maupun nontarif, namun Turki memiliki potensi besar sebagai negara tujuan ekspor karena posisinya yang berada di antara Eropa dan Asia Barat.

“Negara ini merupakan hub yang penting untuk menembus pasar Timur Tengah, Eropa, dan Afrika bagian utara,” kata Didi.

Selain itu, Turki juga merupakan negara produsen tekstil dan garmen utama dunia sehingga Indonesia berpeluang memasuk bahan baku tekstil dan produk tekstil seperti serat staple buatan yang merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia ke Turki pada 2019 senilai USD366 juta.

“Untuk meningkatkan ekspor produk tekstil, Indonesia berupaya dalam negosiasi Indonesia-Turkey CEPA agar tidak terdapat tarif tambahan yang diterapkan sehingga bisa berlaku 1 tarif saja,” lanjut dia.

Didi mengatakan pemerintah juga melakukan pembelaan terhadap eksportir dalam penyelidikan atas instrumen perlindungan industri (trade remedies).

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Sastraatmaja mengatakan Turki merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar bagi produsen benang pintal (spun yarn) Indonesia dan akan terus jadi pasar yang penting bagi Indonesia.

Turki memproteksi pasar domestik 

Atase Perdagangan Indonesia di Turki Eric Nababan mengatakan Turki memproteksi pasar domestiknya dengan ekstrem sehingga potensi ekspor Indonesia terganjal dengan instrumen 'trade remedies'.

Dia mengatakan perdagangan Indonesia ke Turki pada 2020 relatif turun dengan total ekspor periode Januari-Agustus hanya USD671 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD795,4 juta.

Sementara total perdagangan kedua negara juga turun menjadi USD856,9 juta pada Januari-Agustus dibandingkan tahun lalu sebesar USD1,02 miliar.

“Penurunan ini karena Turki membatasi produk impornya untuk memproteksi produk dalam negeri,” kata Eric.

Dia mengatakan langkah ini diambil karena penanganan kasus Covid-19 di Turki relatif baik, namun negara-negara di sekitarnya belum bisa menangani Covid-19 sehingga Turki belum bisa mengekspor produknya.

Eric mengatakan tekstil merupakan primadona ekspor Indonesia ke Turki, namun kini mengalami penurunan yang salah satu penyebabnya juga karena turunnya daya beli masyarakat Turki dengan laju inflasi hingga 12 persen.

Penurunan ekspor tekstil Indonesia menurut Eric juga karena adanya Keputusan Presiden Turki yang mengatur pengenaan bea masuk tambahan hingga 31 Desember.

Keputusan ini termasuk untuk produk tekstil dalam tiga Keputusan Presiden, yakni Keputusan Presiden nomor 2429 terhadap 88 produk, Keputusan Presiden nomor 2565 terhadap 14 produk, dan Keputusan Presiden nomor 2682 terhadap 3 produk.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.