Ekonomi

Harga murah biang keladi tingginya perokok di Indonesia

Pemerintah harus menerapkan batas atas 57 persen sebelum mematuhi cukai minimum WHO

Muhammad Nazarudin Latief  | 14.09.2018 - Update : 15.09.2018
Harga murah biang keladi tingginya perokok di Indonesia Ilustrasi perokok. (Foto File - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Muhammad Latief

BALI

Tingkat prevalensi perokok masyarakat Indonesia yang sangat tinggi disebabkan harga rokok terjangkau dan distribusi merata hingga ke seluruh pelosok negeri, ujar Menteri Kesehatan Nina Moeloek.

Menurut Menteri Nina, afordabilitas rokok adalah hal masalah serius harus diselesaikan dalam usaha pengendalian tembakau di Indonesia. Namun, menurunkan harga rokok di negeri dengan jumlah penduduk 260 juta ini tidak pernah mudah.

Di Indonesia entah bagaimana caranya tiba-tiba muncul aturan yang membatasi pengenaan cukai rokok hanya sampai 57 persen. Batas atas ini jauh lebih rendah dari standar World Health Organization (WHO) yang menetapkannya hingga 70 persen.

“Di Indonesia regulasi cukai tembakau saat ini menjadi tantangan untuk meningkatkan harga rokok,” ujar dia dalam diskusi panel The 12th Asia Pacific Conference in Tobacco or Health (Appact12th) di Bali, Kamis.

Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang menetapkan tarif cukai lebih rendah dari rekomendasi WHO. Thailand sudah menetapkan dua jenis cukai untuk rokok, yakni cukai advolrum sebesar 97 persen dan cukai spesifik sebesar 5 Bath. Singapura, menetapkan cukai rokok sebesar 80 persen.

Indonesia adalah negara pengguna tembakau terbesar di dunia setelah Tiongkok dan India. Prevalensi perokoknya tertinggi se-ASEAN yaitu 53 persen, angka ini artinya lebih dari setengah penduduk dewasa di Indonesia adalah perokok.

Bandingkan dengan prevalensi perokok di Filipina sebesar 13,5 persen, Vietnam 12,7 persen, Thailand 8,9 persen, Myanmar 5,1 persen, Malaysia 4,07 persen Kamboja 1,4 persen, Laos 0,67 persen, Singapura 0,3 persen dan Brunei Darussalam 0,06 persen.

Harga rokok di Indonesia setelah kenaikan cukai 10 persen tahun ini, berkisar dari Rp12.600 hingga Rp23 ribu. Angka yang sangat terjangkau, apalagi ada kebiasaan masyarakat membeli dengan cara “ketengan” atau per batang sehingga rokok menjadi sangat murah dan mudah didapatkan bahkan oleh anak sekolah. Mereka cukup mengeluarkan uang Rp1.000-1.500 dan sudah bisa menikmati sebatang rokok.

Rokok di Indonesia juga bebas dipajang di mana pun, pada titik-titik strategis yang paling mudah diakses masyarakat. Rokok bahkan dipajang bersebelahan dengan makanan ringan yang menjadi kegemaran anak-anak.

Iklan rokok bertebaran yang dibuat dengan standar tinggi dan berbiaya mahal bertebaran di mana-mana, baik di media cetak maupun elektronik, dalam ruangan maupun luar ruangan. Baliho-baliho berukuran raksasa yang memberi keberanian dan kegagahan perokok dipasang di jalan-jalan, di depan rumah sakit bahkan di depan sekolah.

Kepungan faktor-faktor ini menjadikan lebih dari 32 persen siswa di Indonesia sudah merokok sebelum mencapai umur 13 tahun. “Mereka juga terekspos rokok oleh orang tua mereka dan orang dewasa di sekitarnya,” ujar Menteri Nina.

Jeremias N Paul, Koordinator Ekonomi Unit Pengendalian Tembakau WHO sebelumnya pada workshop dengan jurnalis di sela-sela Appact12th, mengatakan pengenaan pajak yang tinggi bagi rokok merupakan semacam “win-win-win” solution bagi pencapaian Sustainable Development Goal (SDGs).

Menurut Jeremias, pajak merupakan “gabungan” dari tiga langkah sekaligus, yaitu mendapatkan kesehatan, keadilan dan memperbesar pendapatan negara yang bisa diinvestasikan pada program perbaikan derajat kesehatan masyarakat.

Pajak yang tinggi akan merupakan cara paling efektif mengurangi konsumsi produk tembakau yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, kata Jeremias.

Konsumsi tembakau yang berkurang akan membuat masyarakat semakin sehat dan belanja rokok bisa dialihkan untuk peningkatan gizi. Dengan demikian, produktivitas meningkat dan bisa keluar dari kemiskinan.

Di Indonesia, kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu besar. Pada 2008 mencapai Rp49,9 triliun, kemudian pada 2010 mencapai Rp63 triliun. Pada 2012 mencapai Rp90,6 triliun. Periode 2016 CHT mencapai Rp137 triliun dan pada 2017 mencapai Rp147,8 triliun.

Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan cukai dan harga rokok merupakan salah satu agenda penting dalam pengendalian tembakau.

Secara khusus, dia akan membicarakan target produksi industri tembakau dengan Kementerian Perindustrian. Biasanya, setiap industri akan memasang target untuk menaikkan jumlah produksinya, namun khusus sektor industri rokok nilai keberhasilannya bukan menaikkan jumlah produksi, namun nilai produksinya.

“Jadi bukan jumlah produksinya yang dinaikkan, tapi harganya yang naik sehingga nilainya bertambah besar,” ujar Menteri Bambang.

“Jika harga rokok tetap murah, maka tidak tendensi untuk menurunkan jumlah perokok.”

Secara nasional juga harus ada strategi keluar dari bisnis tembakau. Untuk para petani harus diberi alternatif komoditas lain seperti buah dan sayur. Sedangkan industri dengan modal yang begitu besar bisa masuk ke sektor lain.

“Biar bagaimanapun rokok termasuk sunset industry,” ujar dia.

Ketua pelaksana Apact12th Arifin Panigoro mengatakan investasi pengendalian tembakau adalah upaya menyelamatkan masyarakat dan generasi muda dari epidemi tembakau. Upaya ini, akan membawa hasil yang baik, terutama meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat sehingga bisa berkontribusi pada pembangunan bangsa.

Menurut Arifin yang “sebagian besar hidupnya adalah seorang pengusaha” investasi yang baik akan membawa hasil yang baik pula.

“Ancaman dari epidemi tembakau adanya nyata, bukan penipuan. Ini ilmiah,” ujar Arifin.

Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Prijo Sidipratomo mengatakan masih ada kesempatan untuk meningkatkan cukai tembakau hingga batas atas 57 persen. Pemerintah menurut dia seharusnya memaksimalkan cukai hingga batas tersebut selama belum bisa memenuhi anjuran WHO hingga 70 persen.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın