Dunia, Budaya, Regional

Membaca skenario China di Natuna

Pengajar Hubungan Internasional Dinna Wisnu mengatakan kegiatan China di Natuna bukan sesuatu yang insidental, melainkan bagian dari skenario besar China

Pızaro Gozalı Idrus, Muhammad Nazarudın Latıef  | 06.01.2020 - Update : 09.01.2020
Membaca skenario China di Natuna Ilustrasi: Tentara Nasional Indonesia bersiap melakukan patroli di perairan Natuna. (Foto Dok TNI - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Manuver kapal nelayan dan kapal Coast Guard China yang memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau telah membuat ketegangan di Indonesia.

Langkah China memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dinilai telah melanggar kedaulatan Tanah Air.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pun langsung menyampaikan nota protes atas tindakan kapal-kapal China.

Tidak hanya itu, Tentara Nasional Indonesia pada Senin juga mengerahkan delapan Kapal Republik Indonesia berpatroli untuk pengamanan Perairan Natuna, pada Senin.

Langkah ini dilakukan lantaran sejumlah kapal nelayan China masih bertahan di Perairan Natuna hingga saat ini.

Bukan insidental

Pengajar Hubungan Internasional Dinna Wisnu mengatakan kegiatan China di Natuna bukan sesuatu yang insidentil, melainkan bagian dari skenario besar China terkait Belt and Road Initiative (BRI), terkait perang dagang dengan AS, dan peranan China di tingkat global.

“China ingin mengecek posisi Indonesia terkini dengan cara menekan di Natuna,” ujar dia kepada Anadolu Agency pada Senin.

Dinna mengatakan posisi Indonesia di BRI tergantung pada China, sehingga China ingin melihat loyalitas Indonesia sebagai mitra kerja sama.

Persoalan China tidak hanya bisa dilihat dari aspek kerja sama ekonomi atau investasi saja, karena Indonesia memiliki peran dalam Code of Conduct di ASEAN, ASEAN outlook Indo-Pasifik, dan kini di Dewan Keamanan PBB, ujar dia.

Menurut Dinna, dalam berhadapan dengan China, pejabat Indonesia membutuhkan rencana solid dan terkoordinasi dengan baik antar Kementerian dan Lembaga serta dengan pucuk diplomasi yakni presiden.

Soliditas pejabat Indonesia perlu dilakukan agar tidak terjadi silang pendapat di antara pejabat Indonesia mengenai manuver China di Natuna.

Sebelumnya, sejumlah pejabat pemerintah Indonesia tidak satu suara menanggapi polemik keberadaan kapal China di Natuna.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pemerintah akan meningkatkan patroli di perairan Natuna menyusul insiden kapal nelayan dan kapal Coast Guard China yang memasuki perairan Indonesia.

Menteri Retno mengatakan telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal China tersebut di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan meminta polemik kapal China di Natuna tidak dibesar-besarkan.

Menurut Menteri Luhut, aktivitas China menjadi bahan introspeksi pemerintah karena kurang menempatkan kapal penjaga di Natuna.

Luhut menegaskan pemerintah sendiri sedang melakukan peningkatan mutu pada Badan Keamanan Laut.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengajak agar masalah polemik kapal Cina di Natuna diselesaikan dengan jalan diplomasi.

Prabowo mengatakan bagaimanapun China adalah negara sahabat.

Menurut Dinna, China sudah membuka klaim di sana sejak menjelang tahun 1950 dan selama bertahun-tahun tersebut China masih melihat kerja sama dengan negara-negara lain sebagai kunci kemenangan klaimnya.

“Sejak kekuatan ekonominya menguat dan pengaruh politiknya makin tidak bisa diabaikan, China pun makin percaya diri untuk menggunakan teknik menekan dan teknik melemahkan lawan negosiasi,” ujar dia.

Ujian ASEAN

Fitri Bintang Timur, pengamat hubungan internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), meminta Indonesia tetap menangani ketegangan di Laut Natuna menggunakan jalan diplomasi.

Namun, kata dia, diplomasi ini harus dilakukan melalui Kementerian Luar Negeri bersama dan Kementerian Pertahanan dengan tetap berkoordinasi dengan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan.

“Indonesia posisinya memang tidak mengakui klaim sepihak China tentang nine-dash-line,” ujar dia kepada Anadolu Agency.

Fitri menyampaikan ASEAN sudah menyadari perlunya pendekatan kolektif dalam menghadapi China, dan negara-negara besar lainnya yang berusaha untuk mendapatkan pengaruh di Asia Tenggara.

Namun, kata Fitri, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa mampukah kesepuluh negara anggota ASEAN berpihak pada sentralitas ASEAN, sementara China datang dengan tawaran pinjaman infrastrukturnya.

“ASEAN dan China sedang bersama-sama menyiapkan Code of Conduct of the South China Sea,” ujar dia.

Sementara itu, Guru Besar UI bidang Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan tidak seharusnya masalah Natuna Utara diselesaikan di meja perundingan mengingat China tidak mengakui ZEE Natuna Utara.

"Sementara Indonesia tidak mengakui klaim traditional fishing right China," kata Hikmahanto dalam keterangannya kepada wartawan.

Hikmahanto mengatakan China telah lama mengklaim Sembilan Garis Putus yang berada di tengah laut di Laut China Selatan dan menjorok masuk ke ZEE Natuna Utara.

Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS tidak memiliki dasar.

Hal ini telah ditegaskan dalam Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 dalam sengketa Filipina melawan China.

Hikmahanto menambahkan China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus dan pulau tersebut memiliki perairan sejenis ZEE.

“Perairan sejenis ZEE disebut oleh China sebagai Traditional Fishing Grounds," ucap Hikmahanto.

Padahal, kata Hikmahanto, dalam UNCLOS konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Ground. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 51 UNCLOS.

Hikmahanto menyampaikan untuk meredakan ketegangan terkait isu Natuna, pemerintah China selalu menegaskan jika pihaknya tidak bersengketa dengan Indonesia soal masalah kedaulatan.

Sebab, kata dia, sembilan garis putus yang diklaim China tidak menjorok hingga laut teritorial Indonesia.

"Pemerintah Indonesia telah sejak lama, saat Ali Alatas menjabat Menlu (1988-1999), mempertanyakan kepada pemerintah China apa yang dimaksud dengan sembilan garis putus. Namun hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh China," kata dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.