Dunia

Kecemasan India atas pembicaraan damai di Afghanistan

Selain nasib investasinya, India khawatir Cina akan menjadi pemain utama setelah AS meninggalkan Afghanistan

20.07.2019 - Update : 22.07.2019
Kecemasan India atas pembicaraan damai di Afghanistan Ilustrasi: Pertemuan pemerintah India dan Afghanistan. (Foto file - Anadolu Agency)

Iftikhar Gilani 

ANKARA

Ketika kekuatan besar bergerak menuju kesepakatan damai di Afghanistan, kecemasan membayangi India atas nasib investasi senilai USD3 miliar dan pengaruhnya di negara yang dilanda perang itu.

Dalam anggaran tahunan pertama pada masa jabatan keduanya, Perdana Menteri Narendra Modi mengalokasikan 4 miliar rupe atau senilai USD58 juta bagi pekerjaan pembangunan di Afghanistan.

Tetapi mengantisipasi pemerintahan oposisi yang mengambil alih Kabul, telah memangkas alokasi untuk pembangunan pelabuhan Chabahar Iran menjadi hanya 450 juta rupee (USD6,5 juta) dari 1,5 miliar rupee (USD21,8 juta) untuk tahun 2019-2020.

November lalu, AS telah membebaskan pelabuhan itu dari sanksinya atas Iran.

India telah menggelontorkan investasi sebesar USD85,21 juta untuk pengembangan dua tempat pelabuhan dan terminal peti kemas dan menimbulkan pengeluaran pendapatan tahunan sebesar USD22,95 juta selama beberapa tahun ke depan.

Pelabuhan Chabahar digembar-gemborkan sebagai titik strategis yang penting bagi India, tidak hanya untuk terhubung ke Afghanistan, tetapi juga untuk mengontrol akses ke Asia Tengah dan beberapa bagian Rusia.

Tertinggal dalam pembicaraan damai

Para ahli percaya kegelisahan India berasal dari kenyataan bahwa meskipun telah menggelontorkan bantuan kemanusiaan dan ekonomi sebesar USD650 juta hingga USD750 juta, India ditinggalkan dari pembicaraan damai.

Padahal India menjadi penyumbang terbesar bagi Afghanistan.

Yang menambah kekhawatiran adalah bahwa Pakistan telah bergabung dengan AS, Rusia dan China untuk mencapai kesepakatan dengan Taliban.

Mantan Dubes India untuk Afghanistan Rakesh Sood mengakui bahwa baik India maupun sekutunya pemerintah Afghanistan tidak mendapatkan tempat di meja perundingan.

Dia memperingatkan konflik di Afghanistan tidak akan berakhir, karena perdamaian tidak pernah menjadi tujuan sebenarnya dari pembicaraan damai tersebut.

Sebaliknya, mereka hanya mencari alasan agar pasukan Amerika meninggalkan negara itu.

"Setelah AS keluar, negara itu akan mendeklarasikan berakhirnya perang panjang. Tetapi itu tidak akan mengakhiri konflik di Afghanistan karena perdamaian tidak pernah menjadi tujuan nyata dari pembicaraan saat ini,” jelas Rakesh.

“Itu sebabnya orang Afghanistan dan India merasa dirugikan,” tambah dia.

Mantan Duta Besar Afghanistan Shaida Abdali juga percaya harus ada jalan keluar untuk melindungi usaha India selama 18 tahun dalam memperkuat struktur sipil di negaranya.

"Ketidakpedulian India terhadap situasi yang berkembang di Afghanistan kemungkinan akan menelan biaya secara jangka panjang," tambah dia.

Aspek yang lebih mengkhawatirkan bagi India adalah Duta Besar AS untuk Afghanistan John Bass menyatakan pemilihan presiden Afghanistan, yang dijadwalkan 28 September, dapat ditunda hingga proses perdamaian dengan Taliban selesai.

India jelas menentang gagasan ini.

India menentang pemerintah sementara dan penundaan pemilu

Seorang pejabat senior India yang tak mau disebut namanya mengatakan Penasihat Keamanan Nasional Ajit Doval, selama pembicaraan baru-baru ini dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, menyampaikan dengan tegas bahwa penting untuk melibatkan perwakilan pemerintah yang sah dalam pembicaraan.

Pompeo juga diberitahu tentang pentingnya mengadakan pemilu di Afghanistan.

India juga telah menyampaikan penolakannya terhadap proposal untuk mendirikan pemerintah sementara jika ada pemilu ditunda.

Pernyataan ini disampaikan India baik kepada untuk utusan khusus AS Zalmay Khalilzad dan kepada para pejabat Rusia, kata pejabat itu.

Juru bicara Kantor Luar Negeri India Raveesh Kumar mengatakan negaranya selalu mendukung proses perdamaian dan rekonsiliasi nasional di Afghanistan.

Namun, dia menekankan proses seperti itu harus dipimpin dan dikendalikan oleh pemerintahan sah Afghanistan.

"Setiap proses harus menghormati aturan konstitusi dan mandat politik dan tidak boleh mengarah kepada kelompok yang tak memiliki kekuasaan di mana teroris dan proksi mereka dapat bergerak," kata dia. seraya mengungkapkan keyakinan sudut pandang India akan menjadi bagian dari proses perdamaian dan rekonsiliasi.

Mantan Menteri Luar Negeri India Kanwal Sibal mengatakan prospek demokrasi di Afghanistan sedang terhambat.

Dia percaya China, Pakistan, dan Rusia tidak memiliki kepentingan dalam proses tersebut.

Lebih lanjut, dia memperingatkan potensi Afghanistan yang akan menjadi tempat kampanye anti-India setelah penarikan pasukan AS.

Dia mengatakan ancaman wilayah Afghanistan yang digunakan oleh Pakistan dan Taliban untuk melatih para teroris dan mempromosikan jihad melawan India adalah nyata.

“Asia Tengah bisa tidak stabil karena aktivitas Taliban di Afghanistan, yang akan membuat kita terancam oleh ekstremisme agama dan terorisme dari kawasan itu,” kata dia.

Kekhawatiran India lainnya adalah bahwa setelah AS angkat kaki dari Afghanistan, China akan menjadi pemain dominan dalam Hindu Kush, dengan prospek Afganistan berubah menjadi pusat Belt and Road Initiative (BRI).

Mantan diplomat M.K. Bhadrakumar, yang juga bertugas di Afghanistan dan Iran sebagai utusan India, mengakui pembuat kebijakan India gagal membaca situasi secara cermat ketika menjadi jelas bahwa apa yang disebut gelombang Afghanistan di bawah Jenderal AS David Petraeus telah berakhir secara tidak jelas pada September 2012.

"Dalam pola pikir zero-sum, Delhi mengabaikan fakta bahwa Pakistan memiliki kepentingan sah di Afghanistan - tidak kurang dari apa yang akan dimiliki India, katakanlah, Nepal - dan bahwa berdasarkan budaya, suku, etnis atau geografi, ekonomi, dan dorongan sosial, orang Afghanistan tidak akan pernah bisa berdiri tanpa Pakistan,” kata dia.

Realitas di Afghanistan 

Sementara Delhi dengan mewahnya berinvestasi di Afghanistan, mereka melupakan realitas lainnya bahwa korupsi besar-besaran telah merusak pemerintah di Kabul dan juga tidak menyadari bahwa AS dan sekutunya terlibat dalam perang yang tidak dapat dimenangkan.

"Mereka [pembuat kebijakan India] tidak menyadari bahwa rekonsiliasi dengan Taliban adalah satu-satunya jalan keluar," kata mantan duta besar itu.

Mantan Menteri Luar Negeri Pakistan Salman Bashir juga menyarankan komunitas strategis India untuk tidak melihat inisiatif perdamaian Afghanistan melalui cara pandang lama yang menentang pembagian kekuasaan dengan Taliban.

Pertemuan empat pihak tentang Proses Perdamaian Afghanistan, yang diadakan di Beijing pada 12 Juli, yang terdiri dari China, AS, Rusia, Pakistan dan Taliban melahirkan delapan poin perjanjian.

Para peserta menekankan konsensus  penciptaan perdamaian dan mengisyaratkan niat mereka untuk mempercepat proses perdamaian ke penyelesaian akhir. 

Semua mata tertuju pada pertemuan Trump-Khan 

Perwakilan Khusus A.S. Zalmay Khalilzad, yang optimis dengan pembicaraan damai ini, mengatakan perundingan harus menghasilkan kerangka kerja perdamaian sesegera mungkin.

Keputusan yang ingin mengakomodir semua kepentingan politik di Afghanistan ditafsirkan India sebagai lampu hijau dari AS untuk mendirikan pemerintahan sementara di Kabul.

“Kami juga sepakat kekerasan perlu dihambat dan gencatan senjata yang komprehensif dan permanen harus dimulai dengan negosiasi di dalam internal Afghanistan,” terang dia.

“Kami sepakat untuk memperluas dan meminta lebih banyak mitra internasional untuk bergabung dalam negosiasi ini. Ini Sangat positif,” kata Khalilzad.

Dia juga menyoroti Washington dan sekutu Baratnya telah mundur ke Pakistan untuk memastikan bahwa Afghanistan tidak akan menjadi "lab teroris".

Karena itu, semua mata tertuju pada pertemuan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dengan Presiden AS Donald Trump pada 22 Juli.

Konfigurasi delegasi yang mencakup Kepala Jenderal Angkatan Darat Pakistan Qamar Javed Bajwa dan Kepala ISI Letnan Jenderal Faiz Hameed membuat gambaran jelas bahwa kebangkitan kembali hubungan strategis Pakistan yang hampir mati dengan AS kini berada di tangan mereka.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın