
Ankara
Muhammed Temim Hocaoğlu
ANKARA
Rezim Suriah Bashar al-Assad menghindar bertanggung jawab secara hukum atas kejahatan perang karena negara itu bukan anggota Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan dilindungi oleh Rusia dan China di Dewan Keamanan PBB.
Berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan oleh rezim Assad seperti penggunaan senjata kimia hingga penyiksaan dan pemerkosaan yang sistematis tercermin dalam laporan PBB dan organisasi hak asasi manusia independen.
Komisi PBB untuk Penelitian Suriah mengumumkan bahwa rezim Assad melakukan kejahatan perang di Idlib dengan sengaja menembaki warga sipil, fasilitas dan petugas kesehatan.
Namun sayangnya, mekanisme internasional tak dapat bertindak untuk menghentikan kejahatan rezim itu.
Apakah rezim Assad bisa diadili di Pengadilan Pidana Internasional?
ICC didirikan pada tahun 1998 melalui statuta yang diadopsi dalam sebuah konferensi diplomatik di Roma. Statuta Roma menentukan empat inti kejahatan internasional: genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Di bawah Statuta Roma, ICC hanya dapat menyelidiki dan mendakwa empat kejahatan internasional inti tersebut.
ICC memiliki yuridiksi atas kejahatan yang hanya jika mereka lakukan di teritorial sebuah negara atau jika tindakan tersebut dilakukan oleh sebuah negara; sebuah pengecualian untuk peraturan tersebut adalah bahwa ICC juga memiliki yuridiksi atas kejahatan-kejahatan tersebut jika yuridiksinya diotorisasikan oleh DK PBB.
Agar ICC dapat menginvestigasi dan menuntut kejahatan yang dimaksud, kejahatan tersebut harus dilakukan di wilayah negara anggota yang telah menandatangani Statuta Roma atau yang melanggar harus menjadi warga negara anggota ICC.
Pengecualian untuk aturan ini adalah bila DK PBB memberikan ICC wewenang untuk menyelidiki.
Jika anggota DK PBB Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Prancis dan Inggris memberikan instruksi kepada jaksa penuntut di Pengadilan Kriminal Internasional, maka jaksa penuntut dapat mulai menyelidiki kejahatan yang dilakukan para pelaku.
Faktanya Suriah tidak termasuk di antara negara-negara yang menandatangani Statuta Roma dan rezim Assad membentuk Perisai terhadap investigasi kejahatan perang mereka dengan memanfaatkan hak veto dari China dan Rusia di DK PBB, hal tersebut mencegah investigasi ICC terhadap para penjahat perang di negara tersebut.
Negara-negara Barat pun telah menyeret kasus kejahatan perang di Suriah ke dalam agenda DK PBB, namun rancangan resolusi tersebut diveto oleh Rusia dan China.
Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Penyelidikan Suriah mengumumkan rezim Assad melakukan kejahatan perang di Idlib dengan secara sengaja menembaki penduduk sipil, fasilitas dan petugas kesehatan.
Komisi Penyelidikan Suriah Independen Internasional itu memiliki bukti kuat rezim Bashar al-Assad melakukan kejahatan perang di dalam dan sekitar Idlib.
Rusia juga melakukan kejahatan yang sama dengan menggunakan bom curah (cluster bombs) dan meluncurkan serangan secara acak terhadap sipil di Idlib.
Komisi itu merilis laporan 29 halaman tentang kondisi hak asasi manusia di Idlib dan sekitarnya periode November 2019 - Juni 2020.
"Secara dramatis pasukan rezim Suriah dan Angkatan Udara Rusia meningkatkan kampanye militer mereka untuk merebut Idlib dan bagian barat Aleppo, melakukan serangan udara dan darat yang menghancurkan infrastruktur sipil, mengurangi penduduk setempat, dan merenggut ratusan nyawa wanita, pria dan anak-anak Suriah,” kata laporan tersebut.
Laporan tersebut meyebut penduduk Suriah mengalami "penderitaan yang tragis" selama kampanye militer pada akhir 2019 oleh pasukan rezim Assad untuk merebut kembali daerah-daerah terakhir yang tersisa yang berada di bawah kendali kelompok oposisi bersenjata.
Bedasarkan beberapa peristiwa yang didokumentasikan oleh komisi itu, penduduk sipil di Idlib menjadi sasaran serangan tanpa pandang bulu di mana permukiman sipil, sekolah dan rumah sakit dihantam oleh serangan rezim dan Rusia selama beberapa tahun terakhir.
Laporan itu menekankan bahwa warga Suriah kini menghadapi krisis baru akibat pandemi Covid-19, di saat mereka juga kehilangan tempat tinggal karena "dihancurkan oleh perang" serta "meluasnya kasus pelanggaran hak asasi manusia" dan "kejahatan perang".
Dalam laporan itu, komisi menyoroti penderitaan rakyat Suriah atas pengeboman tanpa batas, penangkapan, penyiksaan, penjarahan dan pemindahan secara paksa oleh rezim Assad dan para pendukungnya.
Setidaknya 52 serangan dilancarkan terhadap penduduk sipil dalam 8 bulan terakhir, termasuk 17 rumah sakit dan fasilitas kesehatan, 14 sekolah dan 9 pasar, dan 12 permukiman sipil.
Komisi itu mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menggelar penyelidikan khusus terhadap migrasi lebih dari satu juta warga sipil di Idlib dan sekitarnya hanya dalam tiga bulan.