Budaya

Kasus HIV-AIDS meningkat di kalangan LSL dan waria

Meski begitu, hasil kajian menemukan bahwa kasus HIV-AIDS masih didominasi oleh golongan heteroseksual

24.07.2017 - Update : 24.07.2017
Kasus HIV-AIDS meningkat di kalangan LSL dan waria

Regional

Megiza

JAKARTA

Jumlah penderita HIV dan AIDS mengalami peningkatan pada periode 2010 hingga 2016. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendata bahwa kasus HIV pada 2010 untuk kedua golongan tersebut mencapai angka 21.591, sedangkan kasus AIDS berada di angka 7.470. 

Dalam kurun waktu 6 tahun, kasus HIV meningkat hingga 41.250 pada tahun lalu. Sedangkan kasus AIDS mengalami peningkatan tertinggi pada tahun 2013 yang mencapai 11.741. Terakhir, pada tahun 2016, penderita AIDS golongan Lelaki Suka Lelaki (LSL) dan transgender menurun kembali ke angka 7.491.

Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia (ALPHA-I) dalam kajian cepatnya, menemukan bahwa kenaikan kasus HIV-AIDS tersebut memang masih didominasi oleh golongan heteroseksual. Namun di tempat yang sama, peningkatan kasus HIV dan AIDS juga dialami oleh kelompok LSL dan transgender. 

“Kajian cepat yang dilakukan oleh ALPHA-I terhadap kaum LSL dan transgender menemukan adanya peningkatan yang signifikan. Kenaikan prevalensi  LSL dan waria signifikan dari 2009 ke 2013; tahun 2009: prevalensi LSL 2,5% dan waria  5,8 %; tahun 2013: prevalensi  LSL menjadi 7,4% dan waria 8,2%,” ujar periset dari ALPHA-I, Yossa Nainggolan. 

Dia menjelaskan, sebenarnya Kemenkes selama ini telah menggelar penanganan terbuka berupa Voluntary Counseling dan Testing (VCT) melalui layanan masyarakat, puskesmas atau mobile visiting yang diberikan di titik-titik tertentu.

Hanya saja, sebagian masyarakat menghadapi beberapa masalah yang membuat enggan mengikuti VCT. Yossa menyebut, permasalahan terlihat dari persoalan akses, kurangnya pengetahuan masyarakat, stigma dan budaya bahwa HIV/AIDS sebagai penyakit kutukan sehingga penanganannya masih dilakukan dengan non-medis, juga ketidakmauan warga untuk mendapatkan layanan karena takut rahasia akan terbongkar. 

“Keterlibatan masyarakat dalam pemeriksaan HIV testing dinilai masih rendah, padahal kematian akibat infeksi HIV/AIDS atau penyakit bawaannya kian meningkat. Gap data di atas diasumsikan karena banyak pihak yang tidak memeriksakan HIV/AIDS sehingga tidak terdeteksi. Dan diskriminasi itu tidak hanya di lingkungan masyarakat, tapi sampai ke dalam rumah sakit oleh perawat-perawat,” katanya. 

Dengan kondisi seperti itu, ALPHA-I pun menggagas Kemenkes untuk membuat program Self-Testing, yang sebenarnya sudah digunakan di banyak negara maju. “Dengan self-testing, kerahasiaan pasti terjaga. Untuk alat self-testing itu sendiri nantinya akan mudah dijangkau dan diperoleh di apotek terdekat. Selain itu, penggunaan self-testing juga menghemat waktu dan sangat mungkin mengurangi stigma,” tuturnya. 

Meski begitu, Yossa tidak memungkiri adanya dampak negatif dari program self-testing kepada penderita HIV-AIDS. Dia menyebut, ada risiko kecenderungan bunuh diri jika seseorang mendapati dirinya positif HIV-AIDS setelah self-testing. “Pendidikan dan informasi jelas dibutuhkan untuk mencegah keinginan bunuh diri ketika seseorang mengetahui dirinya positif HIV-AIDS,” kata Yossa.  Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın