Budaya, Analisis, Nasional

Cerita korban perdagangan manusia bermodus pernikahan di China

MN dijanjikan kehidupan yang layak setelah menikahi pria berwarga negara China, namun dia justru dieksploitasi dan dilecehkan selama 10 bulan

Nicky Aulia Widadio  | 26.06.2019 - Update : 27.06.2019
Cerita korban perdagangan manusia bermodus pernikahan di China Ilustrasi (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA

Perempuan asal Pontianak, MN, 23, termakan janji bahwa kehidupannya akan membaik setelah dinikahi pria asal China dan menetap di negeri tirai bambu.

MN dijanjikan mendapatkan uang Rp10 juta per bulan, memiliki hidup layak, dan bisa pulang ke Indonesia setiap tiga bulan.

Janji itu mulanya nampak meyakinkan bagi MN, sebab calon suami yang akan dia nikahi mengaku berasal dari keluarga berada. Sedangkan MN berasal dari keluarga miskin.

Namun nyatanya, MN mengalami eksploitasi dan pelecehan selama 10 bulan di Hebei, China

MN bekerja dari pagi hingga malam, tidak digaji, juga dipaksa berhubungan badan dengan “suami”-nya saat sedang haid.

Semua berawal dari pertemuan MN dengan “mak comblang” yang menyampaikan ada seorang pria asal China yang akan menikahi MN.

MN menemui pria itu di Singkawang, Kalimantan Barat, dimana dia diiming-imingi kehidupan yang layak setelah menikah.

“Hari itu juga MN diajak ke salon, melangsungkan pertunangan dengan menukar cincin, lalu berfoto,” ungkap Salsa Nofelia Fradisa sebagai pendamping MN dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), di Jakarta pada Rabu.

MN menerima uang mahar sebesar Rp19 juta pada hari itu, sebesar Rp1 juta diberikan kepada mak comblang yang mempertemukan mereka.

Tidak ada pesta pernikahan hingga MN akhirnya berangkat ke China pada September 2018, namun pernikahan itu tidak pernah terjadi.

Dia tinggal bersama keluarga dari suaminya. Mereka memperlakukan MN dengan sangat baik pada hari pertama dia tiba di China.

Namun pada hari berikutnya, perlakuan mereka terus memburuk. MN mengaku hanya makan nasi dengan mie instan.

Selain itu, dia harus bangun pagi buta untuk membereskan pekerjaan rumah, kemudian membuat kerajinan hingga malam.

Pihak suami juga membatasi akses MN kepada keluarganya di Indonesia.

Setelah berbagai upaya, MN akhirnya bisa pulang ke Indonesia dengan bantuan mahasiswa di China.

MN adalah satu dari 29 perempuan Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang dengan modus pernikahan.

Sebanyak 13 orang dari Kalimantan Barat dan 16 orang lainnya dari Jawa Barat.


Pernikahan fiktif, modus baru perdagangan orang

Ketua SBMI Mempawah, Mahadir mengatakan pernikahan menjadi modus bagi sindikat ini untuk membawa korban ke China.

Padahal, menurut Mahadir, pernikahan itu fiktif karena korban merasa tidak pernah mengurus pernikahan secara legal ke lembaga terkait.

Namun para pelaku memiliki sejumlah dokumen terkait pernikahan tersebut untuk memuluskan modus mereka.

“Seolah kejadian ini adalah urusan rumah tangga, bukan tindak pidana perdagangan orang. Ini kesulitan kami juga, kami harus membuktikan bahwa dokumen-dokumen ini palsu,” kata Mahadir.

Advokat dari Lembaga Parinama Ashta yang mendampingi korban, Erna, mengatakan pengusutan terhadap kasus semacam ini ke ranah pidana sering menimbulkan perdebatan terkait unsur tindak pidana perdagangan orang.

Menurut Erna, kasus yang terjadi pada MN telah masuk pada ranah perdangan manusia, sebab terjadi transaksi dari perekrutan dan “pengiriman” korban.

Erna bersama Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking dan khususnya SBMI telah meminta sejumlah pihak, termasuk Komnas Perempuan untuk mendukung penyelesaian kasus ini, serta melindungi korban.

“Masih ada kekosongan hukum untuk memberikan hak-hak bagi korban perdagangan manusia,” kata Erna.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.