Analisis

Suu Kyi adalah corong halus militer Myanmar

Pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya Maung Zarni mengatakan saat untuk menolak Mesias palsu di Myanmar dimulai dengan Aung San Suu Kyi

Dandy Koswaraputra  | 30.08.2018 - Update : 30.08.2018
Suu Kyi adalah corong halus militer Myanmar

Jakarta Raya

Maung Zarni

LONDON

Menonton ceramah Penasihat Negara Myanmar di The 43rd Singapore Lecture melalui kanaş YouTube 43. Ceramah bertema “Transisi Demokratis di Myanmar: Tantangan dan Langkah ke Depan,” – yang berlangsung 1 jam termasuk pertanyaan dan jawaban – membuat saya sangat terganggu, sedih dan marah.

Tingkat delusi, distorsi, dan bumbu-bumbu pidatonya membuat saya sadar bahwa teman seperjuangan di Burma menjadi tidak lebih dari seorang juru bicara paling manis untuk mantan penculiknya, yaitu rezim militer pembunuh.

Aung San Suu Kyi bukan seorang pemimpin pembangkang sembarangan di antara beberapa pemimpin potensial Myanmar di mana saya, seperti jutaan umat Buddha Burma lainnya, mendukung perjuangan dia selama bertahun-tahun sebagai oposisi anti kediktatoran setelah pemberontakan nasional 1988.

Hubungan sentimental saya dengan keluarga Aung San lebih pribadi dan jauh lebih dalam.

Salah satu paman saya yang paling saya hormati adalah tetangga ayahnya. Mereka adalah teman sekelas sekaligus sekamar di asrama Pegu Hall ketika keduanya menjadi mahasiswa di Universitas Rangoon di jantung Burma untuk belajar Pali, sastra, hukum, dan lain-lain awal 1930-an.

Menurut cerita tangan pertama saudara saya tentang Aung San, ayah Suu Kyi. Dia adalah seorang revolusioner anti-kolonial dan pendiri Tentara Kemerdekaan Burma di bawah patronasi fasis Jepang. Saya sendiri mempelajari tentang perkataan dan tulisan-tulisan dari sang pahlawan besar nasional Myanmar yang dibunuh itu. Saya selalu mengagumi dia selama hidup saya, sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuatan karakter, integritas, toleran yang dipengaruhi Marxisme dan memiliki rasa melayani yang kuat bagi kaum Burma kolonial yang tertindas – bukan hanya umat Buddha atau mayoritas Burma atau Bama, tetapi semua orang yang menganggap Burma sebagai rumah mereka.

Bahkan, pada saat hari-hari saya di bangku sekolah di Mandalay pada 1970-an, saya belajar frasa bahasa Inggris tentang, “cinta kebenaran” dari salah satu tulisan dia. Dengan tegas dia katakan sebagai seorang ayah, dia ingin menanamkan cinta akan kebenaran dalam ketiga anaknya.

Jadi, ketika saya menonton aksi pidato Suu Kyi di Grand Hyatt di Singapura, melalui kanal YouTube, saya mencatat dengan rasa sakit yang mendalam dan kemarahan bahwa putri dari seorang pahlawan Burma yang terkenal di dunia menyampaikan kebohongan-kebohongan yang tampak jelas dalam ceramahnya yang sudah dipersiapkan. Dia menyampaikan ceramahnya dengan wajah yang kaku.

Ceramah yang Suu Kyi sampaikan pada 22 Agustus di Singapura adalah sebuah pidato yang akan membuat ayahnya merasa malu.

Dua tahun sejak dirinya mengasumsikan jabatan yang dia miliki “Di atas Presiden”, sebagai Penasihat Negara, dengan kontrol otokratis-nya. Suu Kyi disebut memiliki otoritas mengontrol semua kementerian yang terkait dengan keamanan nasional, seperti kementerian Urusan Dalam Negeri, Pertahanan dan Perbatasan. Kepemimpinannya tercatat sebagai kegagalan berantai.

Komisi yang dia bentuk untuk mengatasi masalah keamanan negara - kejahatan terhadap Rohingya - telah menjadi lelucon internasional. Sebagai politisi paling dihormati di negara itu sejak pembunuhan ayahnya pada tahun 1947, Suu Kyi tidak dapat memenuhi semua prioritas utama resmi partai: "aturan hukum, perdamaian, pembangunan, amandemen Konstitusi".

Namun dalam ceramahnya, pemimpin NLD itu di hadapan para tamu lokal yang biasanya tidak peduli dan pendiam di Singapura, kali ini merespons pidatonya dengan tepuk tangan yang riuh.

Untuk seseorang yang dibesarkan di bawah “Jalan Burma ke Sosialisme” Jenderal Ne Win (1962-1988), pidato Suu Kyi terdengar lebih seperti laporan sekretaris jenderal Partai pada Biro Politik Sosialis yang dipimpin oleh Ketua (lalai) Ne Win pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an.

Penasihat Negara dengan kata-katanya sendiri: “Dalam masing-masing dari tiga pertemuan panglong (damai) yang diadakan selama dua tahun terakhir, kami membuat kemajuan yang berharga. Dalam Konferensi Perdamaian Persatuan Pertama, sebuah peta-jalan tujuh langkah untuk perdamaian dan rekonsiliasi nasional tercapai. Dalam Konferensi Kedua, 37 prinsip diadopsi. Sebelum Konferensi Ketiga, dua kelompok bersenjata etnis lainnya menandatangani perjanjian gencatan senjata dan selama Konferensi itu sendiri, “4 prinsip lebih diadopsi.”

Tidak hanya kata-katanya yang tidak meyakinkan dan tidak didukung oleh kenyataan yang dialami etnis minoritas Myanmar, terutama lebih dari 100.000 pengungsi perang Kachin di wilayah timur dan utara negara itu, tetapi pengamat Myanmar yang benar-benar terjun langsung di zona konflik memiliki penilaian lebih radikal dan berbeda dengan Suu Kyi.

Hampir semua laporan berita dan studi lapangan tentang perang penjajahan internal kolonial militer Burma yang tidak hanya mencatat regresi proses perdamaian negara di bawah kepemimpinan Suu Kyi yang tidak kompeten dan gagal – biasanya kaya retorika dan kosong dari substansi – tetapi juga menghilangkan begitu banyak ruang demokrasi bahkan untuk masyarakat Buddhis Burman yang dominan secara etnik.

Bahwa "ruang demokrasi" itu sengaja dibuka oleh rezim semu-demokratis mantan Jenderal Thein Sein pada 2010 yang dirancang untuk mengimbangi irama pemerintahan Barack Obama-Hillary Clinton karena para jenderal berusaha untuk menyeimbangkan ketergantungan militer terhadap Cina yang semakin agresif dan invasif di kalangan elit Burma.

“Ruang demokrasi” yang muncul tersebut, yang merupakan kebijakan Washington yang terlambat di mana Obama menunjukkan pencapaian yang baik dalam mempererat hubungan dengan Myanmar, justru digunakan oleh rezim Myanmar untuk memperlancar pembunuhan masal orang-orang Rohignya.

Di bawah kepemimpinan Suu Kyi, Myanmar kini menghadapi tekanan internasional yang semakin kuat. Komunitas internasional mendesak agar Dewan Keamanan PBB membawa rezim militer ke Pengadilan Pidana Internasional atas kejahatan kemanusiaan di negara bagian Rakhine di Myanmar Barat, terlepas apakah seruan tersebut akan membuahkan hasil. Suu Kyi dituduh terlibat dalam kejahatan militer terhadap kemanusiaan dan bahkan genosida terhadap orang-orang Rohingya.

Ini adalah masalah yang berkaitan dengan penganiayaan terhadap Rohingya – yang rekan saya sesama peneliti Natalie Brinham dan saya sendiri menyebut "pembunuhan masal secara perlahan" karena kejadian ini sudah berlangsung selama beberapa dekade – di mana pidato pidato Suu Kyi bermetamorfosis dari khayalan yang terlihat jelas menjadi pemutarbalikan fakta yang disengaja.

Ibarat jauh panggang dari api, Suu Kyi membanggakan dirinya sendiri yang mengklaim telah melaksanakan sebagian besar rekomendasi Komisi Kofi Annan, yang mengatakan: Kami telah menjalankan 81 dari 88 Rekomendasi Komisi Dr. Kofi Annan, yang bertujuan untuk membentuk perdamaian abadi dan stabilitas di Rakhine."

Kofi Annan, yang sudah almarhum, tidak akan lagi melakukan pengecekan fakta. Tetapi mantan duta besar Laetitia van den Assum, salah satu anggota Komisi Rakhine, masih hidup dan mengetahui ketidakbenaran tersebut. Kebohongan langsung dari Nyonya Suu Kyi. Van den Assum mengatakan dalam Twitter-nya: "Alasan yang mendasari kaburnya orang-orang (Rohingya) tersebut tetap tidak tertangani". Tweet itu, yang dapat dibaca di https://twitter.com/lvandenassum/status/1032527791303139328, diposting pada malam peringatan satu tahun serangan militer besar-besaran Myanmar terhadap orang-orang Rohingya – yang tidak bersenjata dan tidak melakukan kekerasan – di lebih dari 300 desa di seluruh utara wilayah Rakhine.

Sebagai peneliti yang telah menghabiskan enam tahun terakhir berkonsentrasi pada kasus penganiayaan orang-orang Rohingya di negara saya yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa, saya melihat kasus ini secara moral menjijikkan dan secara empiris jelas Suu Kyi melakukan pencitraan palsu tentang krisis pengungsi terbesar tersebut dengan bekerja sama dengan mitra kekuasaan militernya dalam menjalankan “teror”.

Dia, pada dasarnya, juga telah menambah penghinaan terhadap 2 juta orang Rohingya yang mengalami luka kolektif yang selamat dari pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan segalanya di Myanmar dan diusir ke perbatasan Bangladesh dan sebagian menjadi diaspora di beberapa negara. Penghinaan itu diungkapkan Suu Kyi ketika dia mengatakan: "bahaya dari kegiatan teroris, yang merupakan penyebab awal peristiwa yang mengarah ke krisis kemanusiaan di Rakhine, tetap nyata dan hadir hari ini. Kecuali jika tantangan keamanan ini ditangani, risiko kekerasan antar-komunal akan tetap ada.”

Kata-kata Suu Kyi mencerminkan bagaimana militer Myanmar telah lama membingkai orang-orang Rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan dan membenarkan serta melembagakan pembunuhan mereka.

Selama 15 tahun pertama sejak pemberontakan populer di negara itu pada tahun 1988, saya telah menjadi salah satu ‘prajurit’ yang paling bekerja keras dan efektif untuk Suu Kyi dalam kampanye internasionalnya untuk mengucilkan dan menghukum para pemimpin militer Myanmar.

Saya telah mempelajari kepemimpinan Suu Kyi secara dekat dan mencermati setiap pidatonya, selama 30 tahun terakhir sejak dia pertama kali terjun ke panggung politik Burma sebagai “putri Jenderal Aung San,” seperti yang dikatakannya.

Menyakitkan, saya menyimpulkan bahwa putri pahlawan nasionalis saya bukan lagi bagian dari solusi Myanmar. Karena dia memiliki semua maksud dan tujuan yang berubah menjadi corong yang paling halus dari para pelaku militer.

Suu Kyi bahkan harusnya memiliki keberanian untuk memanggil tiga jenderal di kabinetnya "agak manis" di tengah-tengah panggilan internasional untuk mengangkut jenderal Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional.

Pada 25 Agustus, 700.000 lebih orang Rohingya yang selamat dari genosida Myanmar di 35 kamp di Kutupalong bertemu untuk berkabung, mengenang dan menghormati orang-orang terkasih yang cacat, diperkosa secara masal, dibantai dan dibakar hidup-hidup setahun yang lalu. Setidaknya dunia, baik komunitas akar rumput maupun pemerintah, dapat melakukan sesuatu untuk menjatuhkan kebijakan palsu yang telah berusia puluhan tahun, secara global. Suu Kyi seharusnya mewakili harapan, kebebasan, dan liberalisme.

Sebagai seorang Burma, yang lahir di negara yang mayoritas berpenduduk Buddha dan dari keluarga militer, saya akan mengatakan bahwa Penasihat Negara Myanmar tidak lagi berbicara untuk saya.

Dia juga tidak mewakili nilai-nilai humanistis yang saya pelajari dari tulisan-tulisan ayahnya. Saya tahu bahwa ada rekan-rekan sesama pembangkang di Myanmar, betapa pun kecilnya jumlah mereka, yang sama-sama melakukan penolakan tanpa syarat seperti saya terhadap Suu Kyi dan mitra militernya.

Mari mengingat korban Rohingya hari ini. Dan mari kita menolak Mesias palsu Myanmar, dimulai dengan Aung San Suu Kyi.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.