Analisis, Nasional

Sebuah ikhtiar membangun habitus sadar fakta

Cek Fakta tak bisa berdiri sendiri, namun harus juga merangkul tokoh publik yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat

Dandy Koswaraputra  | 31.01.2019 - Update : 01.02.2019
Sebuah ikhtiar membangun habitus sadar fakta Seorang jurnalis menyodorkan foto-foto palsu dalam sebuah konferensi pers antara Perdana Menteri Turki Binali Yildirim dan Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin beberapa waktu lalu untuk mendiskreditkan operasi Turki yang sedang berlangsung di Suriah. (Erbil Basay – Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Dandy Koswaraputra

JAKARTA

Ada yang berbeda pada debat capres 17 Januari lalu. Bukan soal bocoran daftar pertanyaan. Bukan juga soal kertas ‘contekan’.

Publik sekarang bisa mengecek apakah pernyataan kandidat presiden itu benar atau tidak. Apakah mereka bicara sesuai fakta atau semata propaganda.

Kali ini kedua pasang calon kepala negara tidak bisa asal ngomong. Ada Cek Fakta – platform pengecekan fakta berita.

Cek Fakta melakukannya hanya dalam hitungan menit, publik bisa mendapatkan verifikasi mana pernyataan akurat dan mana yang hanya bermuslihat dalam debat itu.

Pengecekan fakta lumayan cepat. Sebab para ‘fact-checker’ sudah menyiapkan materi yang akan dicek sebelum debat berlangsung, ungkap Wahyu Dyatmika, Pemimpin Redaksi Tempo.co.

Mereka menggunakan tools Google untuk mencari data berbasis siber. Sebagian lagi memverifikasi kepada sumber-sumber kompeten secara langsung, kata Komang – panggilan akrab Wahyu – yang juga salah satu inisiator proyek kolaboratif anti-hoaks ini.

Bermula dari Pilkada DKI

Proyek pengecekan fakta muncul dari sebuah keresahan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) atas maraknya informasi bohong, terutama pada Pilkada Jakarta awal 2017.

Perkumpulan sejumlah media siber itu merasa perlu mengajak para anggotanya untuk bekerja bersama dalam proyek kolaboratif anti-hoaks.

AMSI kemudian mengelar beberapa pertemuan dengan media anggota dan mengundang lembaga yang berpengalaman melawan hoaks, seperti First Draft News dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

Tidak hanya dengan First Draft News dan Mafindo, AMSI juga menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan perusahaan platform Google, melalui Google Initiative.

Ketiga lembaga itu mempunyai tugasnya masing-masing, kata Komang – yang juga Sekretaris Jenderal AMSI.

Google memberi dukungan pendanaan sekaligus pelatihan. AJI menjadi pelaksana pelatihan dan publikasi.

AMSI menyediakan kanal medianya dan First Draft News membuat Silabus pelatihan.

Menurut Komang sendiri kolaborasi ini terjadi karena kesadaran hoaks itu polanya berulang. Hoaks bisa diubah kontennya, fotonya. Maka tidak bisa tidak harus ada upaya terintegrasi dalam memberantasnya.

Kalau berjuang sendiri-sendiri, tidak akan pernah masif hasilnya. Setelah seluruh anggota AMSI setuju, maka dibentuk kanal cekfakta.com dengan sejumlah relawannya.

Cekfakta.com akhirnya diluncurkan pada 5 Mei tahun lalu pada acara ‘Trusted Media Summit 2018’ setelah penekenan MoU oleh 22 pemimpin redaksi dan ketua Mafindo.

Sebuah ikhtiar panjang

Ikhtiar para praktisi media ini tidak lain untuk membantu masyarakat membasmi informasi bohong. Upaya mereka sendiri mungkin tak berujung. Karena kenyataannya resistensi dari para pembuat hoaks ini juga kuat.

Gerakan anti hoaks dengan jargon ‘Turn Back Hoax’ yang dipopulerkan Mafindo sudah berjalan sebelum Pilkada DKI. Mafindo sendiri mengaku proyek pengecekan fakta ini bukan sesuatu yang baru, sudah ada sejak 2015.

Apa yang dilakukan Cek Fakta sudah dilakukan jurnalistik, kata Aribowo Sasmito, salah satu pendiri Mafindo. Sama-sama melakukan verifikasi. Hanya saja jurnalistik memverifikasi di awal, Cek Fakta melakukannya di akhir.

Seiring dengan antusiasme melawan hoaks, gerakan resistensi terhadap usaha pemberantasan hoaks sendiri juga berkembang, dan sekarang ini semakin membesar.

Gerakan resistensi salah satunya terlihat pada pemelintiran definisi hoaks. Arti hoaks sekarang menjadi berwarna politis dan multi-interpretasi. Kelompok ini memanipulasi pengertian hoaks menjadi ‘apa pun yang berbeda dengan penguasa’, kata Aribowo.

Padahal arti hoaks sendiri adalah informasi palsu, berita bohong. Untuk itu, kata Aribowo, tujuan paling ujung adalah membuat masyarakat sadar tentang 5W 1H – tentang apa, kenapa, siapa, kapan, di mana dan bagaimananya – ketika menerima informasi, sebelum menelan atau menyebarkannya.

Dengan kesadaran itu, maka akan tercipta habitus sadar fakta di kalangan masyarakat yang selalu kritis saat menerima informasi apa pun. Jadi, ada peran aktif masyarakat dalam membasmi hoaks.

Harus disempurnakan

Gerakan anti-hoaks ini memang belum sempurna. Meski sejumlah media siber yang tergabung dengan AMSI sudah memperkerjakan secara khusus para pengecek fakta, namun efektivitas jangkauan verifikasi kepada masyarakat yang sudah terkontaminasi informasi bohong perlu dievaluasi terus.

Seperti Tempo, misalnya, sudah merekrut secara khusus 10 orang fact-checker – di luar jurnalis. Namun, tetap saja membutuhkan sistem distribusi konten yang pas agar sampai pada pihak yang sudah terkontaminasi hoaks.

Proses pengecekan fakta di newsroom Tempo selalu melalui keputusan rapat redaksi, kata Komang. Rapat mengidentifikasi konten hoaks mana yang perlu diverifikasi, berdasarkan luas penyebaran dan pengaruhnya di publik.

Penyebaran hoaks sangat luas dan cepat, sementara jangkauan verifikasi dari pengecekan fakta sangat terbatas. Masalah keterbatasan penyebaran menjadi pekerjaan rumah sendiri bagi para pegiat anti-hoaks.

Bagaimana solusinya? Para praktisi media siber melakukan diskusi dengan ICFJ (Internasional Center For Journalists) – sebuah lembaga filantropi internasional bidang media yang berbasis di Washington, DC, Amerika – soal keperihatinan yang mereka hadapi.

ICFJ menerima unek-unek para pegiat anti-hoaks Indonesia ini yang menyoal belum efektifnya penyebaran konten pengecekan fakta.

Gayung bersambut. Apa yang menjadi keprihatinan pegiat media anti-hoaks Indonesia sejalan dengan program ICFJ.

Lembaga ini mempunyai program bernama Truth Buzz, yang dirancang untuk menemukan cara-cara baru guna membantu fakta-fakta yang sudah ter-verifikasi dapat tersebar maksimal dan menjangkau audiens seluas mungkin.

ICFJ merekrut tenaga penuh waktu melalui program beasiswa (fellowship) di beberapa negara untuk bekerja di newsroom di negara asal peserta dan membantu media lokal menyebarluaskan konten-konten fakta ter-verifikasi.

Astudestra Ajengrastri menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang mendapatkan fellowship lembaga ini. Setelah mendapat training di Amerika selama beberapa hari, Ajeng – panggilan Astudestra – ditempatkan di newsroom Tempo.co dan Tirto.id di Jakarta.

Tantangan bagi Ajeng sekarang ini adalah bagaimana membuat konten anti-hoaks yang sekomunikatif mungkin dengan bahasa yang lugas dan tidak banyak kata dan menyebarkannya secara tepat sasaran melalui media sosial.

Tujuannya, mereka yang sudah ‘termakan’ hoaks bisa cepat menyadarinya dan kembali ke ‘jalan yang benar’. Maklum penyebaran hoaks ini sangat masif di media sosial dan karena media arus utama juga mayoritas dikuasai penguasa politik dan pengusaha.

Ajeng, sebagai pembuat dan penyebar konten anti-hoaks, tidak ingin membikin target muluk. Bisa menyadarkan orang-orang yang masih mau mencari kebenaran saja sudah syukur. Sebab, mereka yang sudah akut meski disodorkan fakta tetap bergeming.

Jadi, target kampanye anti-hoaks ini bukan buat orang-orang yang fanatik. Tapi bagi swing voters – kalau menggunakan istilah politik – dan yang berada di tengah, kata Ajeng.

Selain mengubah mindset, tujuan kampanye Truth Buzz ini juga untuk mengedukasi pengguna medsos, terutama bagi non-digital native, atau orang-orang yang lahir sebelum era digital.

Sejauh ini belum ada yang bisa mengukur efektivitas penetrasi pengecekan fakta ini dapat mengubah mindset masyarakat yang sudah terlanjur percaya informasi sesat. Mengingat penyebaran hoaks selalu lebih masif dari penangkalannya.

Memang mengubah cara berpikir tidak bisa dilakukan seketika, perlu waktu panjang. Karena ini terkait dengan pematangan demokrasi di Indonesia.

Namun setidaknya upaya yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut untuk menyempurnakan metode pengecekan faktanya guna mempercepat proses penyebarannya.

Pematangan demokrasi

Proses pematangan demokrasi kita yang masih sangat muda ini memang harus disertai dengan upaya mendewasakan perilaku masyarakat dalam mengelola informasi, kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho,

Mendorong supaya masyarakat sadar fakta adalah hal penting sehingga kualitas demokrasi tidak rusak oleh disinformasi yang sering kali merusak rasionalitas pemilih, apalagi di tengah polarisasi yang masih kuat, kata Aji – panggilan Septiaji.

Karena itu, kata Aji, upaya pengecekan fakta terhadap pernyataan pelaku politik sangat penting sehingga publik bisa melihat lebih jernih fakta dan yang tidak.

Upaya verifikasi fakta ini juga sekaligus memberikan efek jera dalam bentuk hukuman sosial dari publik kepada politisi yang masih gemar menebar disinformasi.

Mafindo mencatat penyebaran kabar bohong akan semakin meningkat jelang pemilu presiden 2019. Hoaks politik paling banyak dibandingkan isu lainnya. 

Lembaga ini mencatat terdapat 230 hoaks yang terklarifikasi sebagai disinformasi selama periode Juli-September tahun lalu.

Sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks itu, yakni narasi dan foto (50,43 persen), narasi (26,96 persen), narasi dan video (14,78 persen), dan foto (4,35 persen).

Dari jumlah tersebut, data Mafindo menyebutkan, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83 persen), Twitter (12,17 persen), Whatsapp (11,74 persen), dan Youtube (7,83 persen).

Data tersebut menunjukkan apa yang dikatakan Aji bahwa telah terjadi polarisasi yang semakin kuat di masyarakat.

Polarisasi, post truth, ketika orang hanya percaya dengan informasi yang disukainya saja, hanya berasal dari sumber yang afiliasi sama.

Kenyataan ini yang menyebabkan dinding ruang gema (echo chamber) menebal, sehingga fakta pun tak jarang susah menembus suatu ruang gema.

Karenanya, menurut Aji, Cek Fakta tak bisa berdiri sendiri, namun harus dilengkapi dengan merangkul tokoh publik yang memiliki pengaruh kuat ke dalam ruang-ruang gema masing-masing.

Tujuannya untuk meyakinkan bahwa berpegang kepada fakta itu adalah suatu kebajikan, dan membiarkan informasi bohong beredar, meskipun informasinya lebih disukai, adalah perilaku buruk yang bertentangan dengan nilai dasar bangsa ini, pungkas Aji.

Sebuah ikhtiar panjang menuju masyarakat sadar fakta.



Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın