Analisis, Nasional

Polemik vaksin ‘setengah jadi’ Covid-19, dinantikan kehadirannya diragukan keamanannya

IDI meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dan memastikan vaksin yang akan disuntikkan kepada tenaga medis memenuhi syarat keamanan mutlak

Nicky Aulia Widadio  | 22.10.2020 - Update : 24.10.2020
Polemik vaksin ‘setengah jadi’ Covid-19, dinantikan kehadirannya diragukan keamanannya Sampel jarum suntik vaksin Covid-19 di laboratorium, pada salah satu laboratorium di Ankara, Turki. (Ministry of Health of Turkey - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Sebagai petugas medis di salah satu puskesmas di Jakarta, Iqbal Mutaqqin, 32, harus berhadapan dengan tujuh hingga belasan orang pasien Covid-19 per hari.

Iqbal bertugas menerima laporan pasien positif hingga merujuk mereka ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.

Tenaga medis seperti Iqbal akan menjadi salah satu dari 9,1 juta orang di Indonesia yang diprioritaskan untuk divaksin mulai November 2020.

Di satu sisi, Iqbal menyimpan harapan pada penemuan vaksin Covid-19 agar pandemi bisa lebih terkendali.

“Berharap banget sebetulnya sama vaksin, karena sudah lelah. Sudah delapan bulan begini,” kata Iqbal kepada Anadolu Agency melalui sambungan telepon.

Dia juga menyatakan bersedia mengikuti program vaksinasi pemerintah apabila itu diwajibkan.

Namun di sisi lain, ada rasa was-was lantaran kandidat vaksin yang akan disuntikkan kepada mereka belum sepenuhnya terbukti efektif.

“Harus terbukti dulu efektivitas dan keamanannya, apalagi ini diberikan kepada tenaga medis. Kalau ada efek samping apa-apa dan berdampak buruk bagi kami, malah jadi berantakan penanganan pasien,” tutur dia.

Pemerintah merancang program vaksinasi ini setelah mendapatkan komitmen distribusi 18,2 juta dosis vaksin pada November-Desember 2020 dari tiga perusahaan farmasi China yakni Sinovac Biotech, Sinopharm, dan Cansino.

Jumlah itu cukup untuk memvaksinasi 9,1 juta orang yang terdiri dari tenaga medis, pekerja di sektor pelayanan publik, serta kelompok berisiko tinggi.

Kementerian Kesehatan telah meminta Dinas Kesehatan di seluruh Indonesia mendata calon penerima vaksin dan menyiapkan logistik vaksinasi.

Namun, rencana ini menimbulkan kontroversi mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan ada kandidat vaksin yang terbukti efektif.

WHO memang memungkinkan lembaga seperti BPOM menerbitkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) kandidat vaksin menimbang buruknya situasi pandemi.

Negara seperti China dan Uni Emirat Arab juga sudah menerbitkan izin serupa di negaranya masing-masing.

Indonesia kini juga mempertimbangkan skema EUA.

Perwakilan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai otoritas yang berwenang tengah berada di China untuk mengecek proses produksi, keamanan, hingga kehalalan vaksin di Sinovac, Sinopharm, dan Cansino.

BPOM juga mengajak LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memastikan kehalalan dari kandidat vaksin tersebut.

Apabila hasilnya dinilai baik dan aman, maka BPOM akan menerbitkan EUA dan vaksinasi bisa dilaksanakan sesuai rencana pemerintah berdasarkan keputusan ini.

Petisi penolakan untuk disuntik dengan “vaksin setengah jadi” ini juga muncul dari sejumlah tenaga medis dan peneliti melalui situs Change.org.

Seorang dokter bernama Yohanes Wibowo bersama epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dan sejumlah orang lainnya menginisiasi penolakan ini sepanjang tidak ada data yang menunjang.

Mereka menuntut pemerintah transparan terhadap data hasil riset vaksin-vaksin tersebut, pasalnya sampai saat ini belum ada publikasi dari riset terkait.

“Vaksin ‘setengah jadi’ ini berpotensi menimbulkan masalah baru jika timbul efek yang tidak diinginkan.

Apalagi tenaga medis menjadi salah satu prioritas pemberian vaksin.

Padahal sektor kesehatan sudah terpukul hebat saat pandemi ini,” tulis mereka.

Selain itu, mereka juga menilai penerbitan EUA di negara lain tidak bisa menjadi legitimasi bagi BPOM untuk menerbitkan skema serupa di Indonesia tanpa data yang rinci.

Keraguan serupa juga muncul dalam laporan survei LaporCovid-19 yang bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB).

Dari jumlah responden sebanyak 2.109 dari 34 provinsi di Indonesia, sebagian besar menyatakan keragu-raguan terhadap vaksin yang dikembangkan di Indonesia.

Sebanyak 69 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Sinovac.

Sebanyak 56 persen responden ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Merah Putih.

Selain itu, 70 persen ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima obat yang sedang dikembangkan oleh Unair.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menyampaikan rekomendasi kepada Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan pemerintah.

IDI mengingatkan agar BPOM betul-betul memperhatikan sisi keamanan, efektivitas, dan imunogenitas kandidat vaksin tersebut.

“Kami yakin BPOM akan menjaga kemandirian dan profesionalismenya,” tutur Ketua Satgas Covid-19 IDI Zubairi Djoerban melalui siaran pers, Kamis.

IDI juga meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dan memastikan vaksin yang akan disuntikkan kepada tenaga medis memenuhi syarat mutlak.

Syarat mutlak tersebut mencakup efektivitas, imunogenitas, serta keamanannya yang dibuktikan dengan hasil uji klinis fase ketiga yang telah dipublikasikan.

Menurut Zubairi, belum ada hasil uji klinis tahap ketiga yang telah dipublikasikan sebagai dasar pelaksanaan vaksinasi.

Uji klinis vaksin Sinovac di Brazil misalnya, baru selesai disuntikkan kepada 9 ribu relawan.

Hasil uji klinis di Brazil baru akan disampaikan setelah vaksinasi dilakukan kepada 15 ribu relawan.

“Kita bisa melihat bahwa unsur kehati-hatian juga dilakukan Negara lain dengan tetap menunggu data lebih banyak lagi dari hasil uji klinis fase 3,” ujar Zubairi.

“Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa program vaksinasi adalah sesuatu program penting namun tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa,” lanjut dia.

Di Indonesia sendiri, uji klinis tahap ketiga dari vaksin Sinovac masih dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan hasilnya baru bisa disimpulkan secara komprehensif pada Maret 2020.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan penyuntikan vaksin berdasarkan EUA sebelum uji klinis rampung berarti memaparkan manusia pada risiko yang signifikan.

Dia meminta pemerintah memastikan bahwa vaksin dapat membantu mencegah penyakit dengan data yang jelas, setidaknya untuk keamanan jangka pendek.

Pasalnya, tingkat uji klinis vaksin untuk penyakit infeksi hanya memiliki tingkat keberhasilan 33,4 persen.

“Artinya sebagian besar vaksin yang masuk ke tahap uji klinis akan gagal. Tidak ada pengecualian untuk vaksin Covid-19,” ujar Dicky.

“Sebelum menyelesaikan uji klinis vaksin tahap ketiga, kita tidak akan memiliki keyakinan penuh atas keamanan dan efektivitas vaksin,” lanjut dia.

Vaksin tidak akhiri pandemi

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menuturkan protokol kesehatan masih harus tetap dijalankan apabila vaksin telah tersedia.

“Vaksin tidak boleh dianggap sebagai penyelesai pandemi,” kata Yurianto.

“Persepsi kalau sudah ada vaksin lalu selamat tinggal masker dan protokol kesehatan, ini adalah persepsi yang salah,” lanjut dia.

Menurut Yurianto, vaksin memang dapat memberikan kekebalan sehingga orang yang terpapar virus tidak sakit, namun tidak serta merta membebaskan dari kemungkinan terpapar.

Selain itu, orang yang telah divaksin masih berpeluang menularkan virus kepada orang-orang yang belum mendapat vaksin.

Dia melanjutkan, belum seluruh negara memiliki agenda vaksinasi sehingga penularan penyakit dari mobilitas manusia masih sangat mungkin terjadi.

Hal yang juga menjadi misteri, kata dia, belum ada bukti terkait berapa lama kandidat vaksin yang tengah dikembangkan bisa memberi daya kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2.

“Kita belum punya data berapa lama vaksin Covid-19 ini menimbulkan kekebalan, tapi secara teori ada yang bilang enam bulan sampai 24 bulan,” ujar Yurianto.

Dengan demikian, ada kemungkinan perlu vaksinasi ulang setelah jangka waktu tersebut dan pengembangan vaksin jangka panjang amat dibutuhkan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.