Mimpi-mimpi Imran Khan akan Pakistan yang 'Naya'
Khan harus memastikan adanya pemerintahan yang baik, agar mimpi-mimpinya akan Pakistan Baru bisa terwujud

İstanbul
Abdullahil Ahsan
Penulis adalah profesor di Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Sehir Istanbul. Dia telah menulis secara lengkap hubungan antara peradaban Islam dan Barat.
ISTANBUL
Partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) yang mengusung Imran Khan mengklaim kemenangan dalam pemilihan umum yang diadakan pada Rabu, 25 Juli lalu. Khan, mantan atlet kriket itu, kini harus membentuk pemerintahan Pakistan yang baru.
PTI memang tak berhasil menguasai suara mayoritas di parlemen, karena itulah Khan harus bisa membujuk partai-partai kecil dan kandidat independen untuk bergabung dengannya. Ini krusial, terlebih saat partai-partai oposisi menuduh pemilu kali ini dipenuhi kejanggalan dan kecurangan; beberapa bahkan mengancam turun ke jalan untuk memprotes hasil pemilu.
Ini bukan hal baru di Pakistan. Yang baru, justru reaksi Khan yang menjanjikan proses penyelidikan transparan atas tuduhan-tuduhan kecurangan saat pemilu. Pasalnya, di 2013, Khan pernah berada di posisi sama. Dia menuduh ada kecurangan dalam pemilu saat itu, namun pihak yang kala itu menang menolak melakukan penyelidikan apapun.
Pendekatan Khan ini seperti menegaskan keinginan Khan atas Pakistan yang Naya - bahasa Urdu untuk kata ‘Baru’. Pertanyaannya, dapatkan Pakistan menjadi Naya?
Pakistan yang baru adalah sesuatu yang diidam-idamkan penduduk negara ini, terutama mereka yang berusia di bawah 30 tahun; mayoritas penduduk Pakistan konon berada di usia-usia ini. Namun keseluruhan ide akan Pakistan yang baru ini justru mengingatkan pada Zulfiqar Ali Bhutto, yang 50 tahun lalu muncul dengan slogan tersebut.
Di saat itu, Pakistan telah terbelah dua, dengan satu bagian lain menjadi Bangladesh yang merdeka. Bhutto dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas perpisahan negara ini. Setelah pemilu 1970, dia berujar kepada para sejawatnya di Pakistan Timur, “bagian yang itu milik Anda, bagian yang ini milik saya”.
Bhutto dijatuhi hukuman gantung di era rezim militer Jenderal Zia-ul-Haque.
“Pakistan Baru” yang ada di kepala Khan tentu bukan yang seperti ini; pernyataan-pernyataan dan sikapnya sama sekali tak mendekati Bhutto. Maka, wajar jika orang-orang optimistis akan ide Khan mewujudkan Pakistan Naya.
Peran militer di Pakistan
Namun sebelum menganalisis ide-ide Khan untuk Pakistan, pertanyaan yang harus dijawab adalah yang terkait dengan adil atau tidaknya jalannya pemilihan umum lalu — pertanyaan yang dikemukakan oleh pihak-pihak oposisi, beberapa media lokal dan internasional, dan negara tetangga mereka India.
Angkatan bersenjata Pakistan dituduh merekayasa hasil pemilu. Sebuah kelompok pengamat dari Uni Eropa melalui pernyataan tertulisnya tak menyebut secara langsung campur tangan angkatan bersenjata yang ditugasi untuk menjaga keamanan selama proses pemilu berlangsung.
Tapi semua orang yang mengerti sejarah Pakistan tahu bahwa angkatan bersenjata negara ini telah terlalu sering ikut campur dalam politik Pakistan. Namun sebagai bagian dari praduga tak bersalah kepada angkatan bersenjata sebagai institusi, harus dicatat bahwa intervensi dalam proses politik oleh elemen non-politik di Pakistan bukan diawali oleh angkatan bersenjata.
Adalah Malik Ghulam Muhammad (1895-1956), seorang birokrat yang kemudian menjadi gubernur jenderal, yang pertama kali melengserkan seorang perdana menteri karena merasa sang perdana menteri tak becus mengepalai pemerintahan. Instansi peradilan lah yang membenarkan aksi birokratis ini: Hakim Muhammad Munir (1895-1979) memperkenalkan “doctrine of necessity” yang mengganggu konstitusi dan proses politik Pakistan.
Aksi serupa dilakukan oleh birokrat lain, Iskander Mirza (1899-1970) yang menjadi presiden pertama Pakistan di bawah konstitusi baru, yang mengumumkan darurat militer pada 1958 dan menunjuk beberapa jenderal militer di Kabinet. Dengan segera, para jenderal itu melakukan kudeta militer dan mengasingkan Iskandar Mirza keluar dari Pakistan. Inilah kali pertama intervensi pasukan bersenjata terjadi di perpolitikan Pakistan.
Lantas, mengapa masih saja ada yang terkejut bila pada pemilu kali ini angkatan bersenjata lagi-lagi mengintervensi politik Pakistan? Jika Imran Khan berhasil meyakinkan semua pihak untuk mengikuti konstitusi, dia akan memberi kontribusi besar kepada Pakistan. Khan hanya perlu memastikan adanya pemerintahan yang baik (good governance) di negara ini.
Permainan politik kalangan 'electable'
Khan telah membuat banyak janji selama kampanye, dan pemerintahan yang baik berada di urutan teratas dalam daftar. Dia kembali menekankan pentingnya pemerintahan yang baik ketika melakukan pidato kemenangan pada 26 Juli, sekaligus menyatakan kembali janjinya untuk menghapus praktik korupsi.
Meski Khan citra sendiri sebagai seorang pemimpin jauh dari korupsi, kebijakannya untuk merekrut elite politik Pakistan yang dijuluki ‘electable’ ke partainya menuai kekhawatiran. Bukankah para ‘electable’ mewakili politisi korup dari masa lalu?
Khan juga mengklaim akan menarik investor luar negeri ke Pakistan. Ini mengingatkan orang kepada janji Nawaz Sharif untuk menarik investor Pakistan yang ada di luar negeri saat dia menjadi perdana menteri pada 1997. Sharif hanya bisa mengumpulkan USD200 juta, alih-alih miliaran dolar yang ditargetkannya.
Saat negara ini dihantam krisis moneter pada 1997, dia juga dituduh menarik uang dalam jumlah besar dari bank-bank Pakistan. Apakah Imran Khan bisa mengontrol kaum “electable” yang menjadi petinggi-petinggi partainya? Ini adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi Khan dalam membentuk pemerintahan baik yang dicita-citakannya.
Harapan dan generasi muda
Harapan akan adanya masa depan yang lebih baik harus dimiliki semua orang, namun ini menjadi lebih penting bagi generasi muda Pakistan. Mereka telah dijauhkan dari berbagai kesempatan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Kurangnya kesempatan di negeri sendiri membuat banyak anak muda Pakistan mencari pendampingan dari sumber-sumber berbahaya. Situasi ini tentu saja segera dimanfaatkan oleh musuh-musuh Pakistan. Banyak yang, karena frustrasi, menerima imbalan sangat kecil untuk melakukan aktivitas-aktivitas menentang negara.
Hasilnya, banyak “ahli” kontra-terorisme melihat Pakistan sebagai negara gagal. Pakistan bukanlah negara gagal: Pakistan memiliki semua sumber daya untuk menjadi negara ideal yang diidamkan oleh Iqbal dan Jannah seabad lalu.
Khan menyatakan bahwa para pendiri negara Pakistan telah memberi motivasi padanya. Para pendiri negara Pakistan memahami bahwa satu-satunya cara supaya peradaban modern bisa diselamatkan adalah dengan mengikuti ajaran Al-Quran. Sayangnya, beberapa elemen masyarakat di Pakistan “membajak” ajaran-ajaran ini dengan pemikiran mereka sendiri. Karena inilah, masyarakat Pakistan sekarang sangat terpolarisasi.
Menurut pendapat saya, model ideal ini sesungguhnya hanya membutuhkan pemerintahan yang berakuntabilitas, transparan, mengikuti aturan hukum, responsif, adil, inklusif, efisien dan efektif. Khan juga harus berhati-hati kepada gerakan yang mengatasnamakan agama.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.