Analisis, Nasional

Ketika kasus Covid-19 di Indonesia melampaui China

Penanganan Covid-19 di Indonesia diwarnai kontradiksi oleh pemerintah dan masyarakat

Umar Idris  | 20.07.2020 - Update : 21.07.2020
Ketika kasus Covid-19 di Indonesia melampaui China Ilustrasi: (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Pada Senin, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin jauh di atas China, negara tempat virus ini diketahui pertama menyebar sebelum menyebar ke berbagai negara.

Dua penyedia data Covid-19 global, John Hopkins University dan Worldometer memperkuat kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menyalip China.

Data Worldometer menyebutkan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada Senin mencapai 88.214 kasus, sedangkan China sebanyak 83.682 kasus, terpaut sekitar 3.000 di bawah Indonesia.

Penambahan kasus positif di Indonesia masih di atas 1.000 per hari, sedangkan China hanya puluhan kasus per hari. Hari Senin ini, kasus baru di Indonesia bertambah sebesar 1.693 kasus, sedangkan di China hanya bertambah 22 kasus. 

Tidak ada penambahan kasus meninggal sehingga pasien Covid-19 yang meninggal masih 4.634 kasus. 

Sedangkan kasus kematian karena Covid-19 di Indonesia versi Worldometer masih di bawah China, yakni sebesar 4.143 kasus, pada Senin. 

Data menurut John Hopkins University, Amerika Serikat, jumlah kasus positif di Indonesia pada Senin sebesar 86.521 kasus, sedangkan China sebanyak 85.314 kasus. 

Adapun data badan kesehatan PBB atau World Health Organization (WHO) pada Senin malam belum menyebutkan jumlah terbaru. Data pada situs WHO masih menyebutkan angka kasus positif di Indonesia pada 19 Juli, dengan jumlah kasus sebanyak 84.882, di bawah China. 

Kontradiktif

Kepala Pusat Krisis UI Dicky Palupessy mengatakan tren kasus Covid-19 di Indonesia yang telah melampau China tidak mengejutkan. “Karena penanganan Covid-19 kita lemah,” kata Dicky ketika dihubungi Anadolu Agency, Senin.

Saat ini, kata Dicky, Indonesia baru sekarang terkesan all out menghentikan pandemi ini dengan memperbanyak jumlah testing dan tracking. 

“Seandaiknya kita all out ketika di Februari lalu, kasusnya mungkin tidak sebanyak sekarang, namun saat itu kemampuan kita memang terbatas, namun tidak bergerak cepat,” kata Dicky.

Pengamat kesehatan masyarakat Windhu Purnomo mengatakan kasus Covid-19 di Indonesia yang telah melampaui China sebagai buah dari kebijakan pemerintah maupun sikap masyarakat.

“Banyak terjadi kontradiktif, di level pengambil kebijakan, maupun masyarakat sendiri,” kata Windhu, kepada Anadolu Agency, Senin.

Ketika kasus Covid-19 mulai meningkat lagi, seharusnya pemerintah lebih tegas membatasi pergerakan masyarakat. Namun, pemerintah melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Sedangkan masyarakat tidak ketat menjaga jarak, datang ke tempat kerumunan, dan tidak disiplin memakai masker. Pusat-pusat keramaian, seperti mal dan restoran, kini semakin ramai.

“Parkiran di mal di Surabaya penuh, ini terjadi ketika kasus meningkat, kan aneh, masyarakat juga kontradiktif,” kata Windhu.

Kasus lebih tinggi

Windhu maupun Dicky menyakini, jumlah kasus baru Covid-19 dan pasien yang meninggal dunia di Indonesia lebih banyak dari data yang diumumkan pemerintah.

Sebab data kasus positif dari pemerintah dikumpulkan dari jumlah test yang sangat kecil. Jumlah test di Indonesia rata-rata di kisaran 5 ribu per 1 juta penduduk, sedangkan di China rata-rata sebesar 62 ribu orang per 1 juta penduduk. 

“Jadi jumlah test di China 15 kali lebih besar dari Indonesia, Indonesia hanya hanya seperlimabelas dari China,” terang Windhu. Jika jumlah test di Indonesia sama seperti di China, jumlah kasus positif Covid-19 diyakini jauh lebih banyak dari China.

Begitu pula dengan jumlah pasien meninggal dunia. Pemerintah hanya mengumumkan pasien meninggal dunia yang telah positif Covid-19. Sedangkan pasien yang meninggal dalam status ODP dan PDP, atau dalam kondisi gejala, tidak dimasukkan.

Sehingga jumlah kasus meninggal di Indonesia cukup rendah, masih lebih rendah dari China. “Sebenarnya WHO meminta pasien meninggal dalam kondisi gejala harus dimasukkan dalam data pemerintah,” jelas Windhu.

Windhu mengatakan, pasien meninggal dunia di Indonesia bahkan mungkin lebih dari China. Di Surabaya, tutur Windhu, di pemakaman Keputih, data jumlah orang yang dimakamkan mencapai 800 orang, namun data pasien meninggal sesuai pengumuman pemerintah hanya setengahnya.

Windhu memahami pemerintah memang tidak ingin masyarakat panik melihat data kematian yang tinggi. Namun akibatnya, masyarakat tidak disiplin, dan memandang remeh virus ini. 

Hanya sebagian kecil masyarakat memahami data yang diumumkan pemerintah, sehingga tetap menjaga diri dan disiplin memakai masker serta menjaga jarak agar tidak terinfeksi Covid-19. 

"Saya sendiri tidak keluar jika tidak terpaksa, membeli obat. Selebihnya tidak keluar rumah, apalagi ke mal dan restoran," terang Windhu.

Perlu sanksi

Melihat kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini yang mulai kehilangan disiplin menjaga jarak dan memakai masker , Dicky menilai pemerintah perlu bersikap lebih tegas dengan menerapkan sanksi.

Sanksi ini perlu diuji coba agar masyarakat mau berdisiplin. Sanksinya misalnya, meliputi pemakaian masker. “Jika tidak menggunakan masker, ada sanksinya,” terang Dicky.

Seperti telah ditunjukkan pemerintah negara bagian Victoria, Australia, yang memberi sanksi sebesar USD200 dollar bagi warga yang tidak memakai masker.

Pemerintah juga perlu lebih tegas membatasi aktivitas warga jika kasus positif masih tinggi di suatu daerah. 

Tanpa ketegasan itu, Dicky mengatakan, kasus Covid-19 semakin meningkat ke depan. 

“Pemerintah melakukan pelonggaran agar masyarakat tidak mati karena ekonomi bergerak, mereka bisa makan. Tapi dengan kondisi sekarang, jika dibiarkan begini, mereka berpotensi akan mati karena terkena virus,” tutur Dicky.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.