
Jakarta Raya
Erric Permana
JAKARTA
Indonesia akan menggelar Pemilu yang meliputi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada 2019 mendatang.
Dalam pemilihan presiden ada dua kandidat yang akan bertarung, yang merupakan lawan yang sama pada Pemilu 2014 lalu, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Perbedaan hanya terdapat pada wakil dari masing-masing kandidat.
Jokowi – panggilan akrab calon presiden petahana – menggandeng pemuka agama Ma’ruf Amin dan Prabowo maju bersama pengusaha Sandiaga Uno – yang sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur DKI.
Meski Pilpres masih 6 bulan lagi, kedua kubu sudah sejak beberapa bulan belakangan saling melempar pernyataan dan berbalas komentar, baik melalui media massa maupun media sosial.
Beberapa pengamat menilai tidak jarang isu yang diangkat menjadi perbincangan publik oleh kedua kubu bukan masalah substansial yang memang menjadi kebutuhan masyarakat untuk mengetahuinya.
Mereka mengistilahkan kampanye yang terjadi menyangkut isu “receh”. Padahal, banyak isu mendesak yang sangat dinantikan publik.
Menurut Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby, kampanye receh adalah komentar tanpa agenda kebijakan, hanya perang kata-kata, dan tidak ada isinya.
Pemilih sebenarnya menginginkan kedua kubu mengangkat isu-isu yang lebih penting.
Selama dua bulan masa kampanye, seperti tidak ada agenda kebijakan yang dipaparkan keduanya.
Dalam isu lapangan pekerjaan, misalnya, oposisi perlu menjabarkan kritik mendalam mengenai pencapaian petahana.
Mereka harus menawarkan solusinya untuk bisa menarik pemilih.
Puncaknya pada Oktober lalu, kandidat petahana Presiden Joko Widodo menilai politisi sering kali menggunakan cara yang tidak sehat memperoleh simpati rakyat untuk menyerang lawan politik.
Jokowi – sapaan Joko Widodo – menyebut politisi yang menggunakan cara tersebut merupakan "Politisi Sontoloyo".
Definisi "sontoloyo" sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya konyol atau bodoh. Meski dalam bahasa Jawa, arti kata itu adalah sebutan bagi orang yang menggembalakan itik.
“Dengan cara - cara yang tidak beradab juga tidak ada tata kramanya. Itu tidak sehat seperti,” ujar Jokowi di Tangerang Selatan beberapa waktu lalu.
Presiden mengingatkan para politisi itu agar tidak lagi menggunakan kampanye politik yang bersifat adu domba dan memecah belah.
Dia menilai seharusnya para politisi menggunakan isu tentang prestasi, gagasan atau rekam jejak.
“Politik pecah belah, politik kebencian, sudah bukan zamannya. Politik pecah belah itu namanya politik sontoloyo,” dia menekankan.
Tidak berhenti di situ, Pada 9 November lalu, Jokowi yang juga merupakan calon presiden nomor urut 01 mengkritik kembali gaya politik saat ini yang cenderung menakut-nakuti masyarakat.
Dia menilai gaya politik tersebut untuk menggiring masyarakat dengan cara membuat kekhawatiran.
Masyarakat pun kata dia menjadi ragu dengan gaya politik itu.
"Masyarakat memang digiring ke sana," ujar pria Jokowi di Tegal, Jawa Tengah baru-baru ini lalu saat melakukan kunjungan kerja.
Dia pun memiliki istilah bahwa gaya berpolitik yang menakut-nakuti merupakan "Politik Genderuwo".
Genderuwo merupakan hantu yang menurut cerita masyarakat Indonesia memiliki sosok yang besar dan seram.
Istilah “Sontoloyo” dan “Genderuwo” keluar dari mulut orang nomor 1 di Indonesia itu merupakan reaksi atas apa yang terjadi di jagat maya, di mana polusi kata-kata dalam media sudah pada level tidak sehat.
Namun, alih-alih mengkritik mereka yang membuat kegaduhan politik, reaksi Jokowi malah memunculkan kritik baru dari lawan politiknya yang justru menuduh dia melakukan kampanye “receh”.
Munculnya kedua istilah ini menjadi bulan-bulanan kubu penantang calon presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Sandiaga Uno.
Mereka menilai seorang presiden tidak pantas menyebut istilah "Sontoloyo".
Aksi serang balasan dan komentar pun terjadi.
Kembali ke isu substansial
Menurut Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) pemenangan Presiden Joko Widodo- Maruf Amin, Raja Juli Antoni, pernyataan presiden ini merupakan peringatan kepada politisi yang hanya memanipulasi data dan mengumbar ujaran kebencian dan ketakutan.
Raja Juli yang juga merupakan kader Partai PSI menyebut bahwa pernyataan Joko Widodo merupakan ajakan untuk kubu oposisi menggunakan isu substansial.
Dia menuding lawannya sering kali menggunakan isu tersebut.
Kondisi diperburuk karena terus digaungkan di media sosial jelas dia.
"Justru apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi tanpa dikatakan itu sudah bersifat substansial...," jelas Raja Juli kepada Anadolu Agency.
Sementara itu Anggota TKN lain Budiman Sudjatmiko mengakui istilah - istilah yang dilontarkan Joko Widodo merupakan sensasi.
Namun, dia menegaskan istilah itu dikeluarkan karena memiliki alasan tertentu.
" Dalam dunia politik orang beradu gagasan itu dengan cerita. Jadi esensi gagasan politik itu harus dibungkus dengan sensasi, Ya gimmick itu. Jadi wajar saja. Sejauh gimmick atau sensasi itu tidak menghilangkan esensi," ujar Budiman
Dia juga mengakui bahwa pernyataan Joko Widodo itu merupakan kampanye negatif.
"Iya itu kampanye negatif. Dan kampanye negatif itu boleh. Kampanye negatif itu adalah sebuah kampanye menunjukkan kejelekan lawan selama dan sejauh pakai fakta dan itu sah dalam politik," kata dia.
Wajah Boyolali
Kalau Jokowi heboh dengan “Sontoloyo” dan “Genderuwo”, pesaingnya Prabowo menghebohkan publik dengan guyonan “wajah Boyolali”.
Prabowo saat itu menyebut bahwa masyarakat yang memiliki tampang daerah Boyolali itu tidak pernah menginjakkan kakinya di hotel-hotel mewah di Jakarta.
Maksud dari mantan Pangkostrad itu untuk mengkritik kesenjangan sosial yang semakin lebar.
Tetapi, tindakan itu justru memicu reaksi publik yang menganggap pernyataan tersebut menghina warga Boyolali.
Media sosial dan media konvensional terus mengangkat isu yang tidak substansial tersebut yang pada gilirannya memicu kemarahan masyarakat untuk menyatakan pembelaannya pada warga Jawa Tengah tersebut.
Kubu Jokowi mengkritik habis pernyataan Prabowo itu, hingga memunculkan kampanye tagar #SavemukaBoyolali di media sosial.
Juru Bicara Tim Kampanye Prabowo-Sandi, Gamal Albinsaid mengatakan isu utama yang ingin dibawa oleh Prabowo Subianto merupakan isu mengenai kesenjangan.
Namun, dia menuding ada aroma politisasi dalam kasus "Wajah Boyolali".
"Tapi ternyata ada proses politik yang kita tidak tahu akhirnya menjadi sebuah, yang mohon maaf, ada aroma politisasi," ujar Gamal.
Dia mengakui pembahasan 'Wajah Boyolali" ini merupakan pembahasan yang tidak substansial.
Sementara itu Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf, Raja Juli Antoni mengatakan isu "Wajah Boyolali" merupakan isu yang substansial.
Dia menyayangkan perilaku pemimpin memiliki mindset dan rasa humor yang bersifat rendahan.
"Guyon tapi martabatnya rendah banget masih main fisik itu kan merefleksikan psikologi attitude seorang pemimpin," tegas Raja Juli.
Isu "Receh" dan politik identitas laku di pasaran
Pakar media sosial Ismail Fahmi menyebut bahwa isu yang bersifat gagasan atau ide atau yang lebih mengarah substansial tidak laku dibandingkan isu tidak substansial seperti politik identitas.
Ismail mengaku telah melakukan pengamatan terhadap salah satu isu yakni mengenai isu gagal tumbuh atau stunting di media sosial Twitter.
Menurut dia isu stunting tersebut digunakan hanya dari beberapa akun oposisi dan itu pun kata dia tidak berkualitas.
"Ini kurang laku dipakai dibandingkan politik identitas," kata Ismail Fahmi.
Menurut Ismail, kemungkinan isu gagal tumbuh itu tidak laku di media sosial karena masa kampanye penyampaian visi dan misi tersebut belum dimulai.
Namun, dia memastikan bahwa isu visi misi tersebut juga tidak akan mudah viral di media sosial dibandingkan isu politik identitas.
"Pemilih lebih menyukai yang cocok dengan identitasnya ini soal kampanye menjaga suara dan mendapatkan suara baru dan pengelompokan suara itu paling gampang dengan identitas, Islam, nasionalis, komunis, ini tengah dan kanan spektrumnya tinggal itu saja," jelas dia.
Tidak hanya media sosial, media massa di Indonesia sialnya mengikuti arus politik yang tidak substansial kata Direktur Remotivi Muhammad Heychael.
Remotivi yang merupakan pusat studi media dan komunikasi ini menganggap, media seharusnya menjadi alat untuk mengoreksi isu - isu tidak substansial tersebut.
Namun, menurut dia kenyataannya media menjadi alat kepentingan politik untuk bertarung dan tidak memiliki jurnalisme yang kritis.
"Kandidat politik yang bertarung menjelang pilpres 2019, banyak membawa hal yang tidak substansial yah sebagai contoh tampang Boyolali...Sebenarnya ini kan jauh dari hal kehidupan publik nah sialnya, alih-alih mengoreksi ini media justru ikut arus," kata Heychael saat dihubungi Anadolu Agency.
Dia menyayangkan media di Indonesia tidak memiliki agenda dalam Pemilu 2019 ini, sehingga membeo dengan isu tidak substansial tersebut.
Sikap membeo media, kata dia, yang menjadi kelemahan besar media saat ini.
"Media harus punya agenda, kelemahan besar di Indonesia ini media tidak punya agenda. Dalam Pilpres mereka menunggu komentar elite, menunggu siaran pers, jadi akhirnya mereka terombang-ambing," jelas dia.
Heychael berpendapat media seharusnya menguji program - program kedua kandidat Pemilu 2019 mendatang.
Kesepakatan semua pihak
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyatakan dibutuhkan keterlibatan dari peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu untuk tidak lagi menggunakan isu yang tidak substansial dalam Pemilu 2019.
Menurutnya selain partai politik, masyarakat juga harus bersuara untuk menegur adanya suguhan-suguhan pertarungan politik yang tidak substansial.
"Masyarakat pun harus cerdas jika ada suguhan yang tidak on the right track seperti ini itu juga harus disuarakan. Bahwa masyarakat pemilih ini sedang dikacaubalaukan dan dipaksa mengalami disorientasi dengan kampanye yang tidak mendidik dan tidak mengedukasi," jelas dia.
Dia berharap jangan sampai masyarakat Indonesia dinilai sangat senang dengan fitnah politik, rumor politik dan isu tidak substansial lainnya.
"Betapa tidak mulianya karakter orang Indonesia kan gitu. Jangan sampai ada kesimpulan yang buruk seperti itu," kata Siti Zuhro.
Dia juga menyarankan kedua kandidat itu agar tidak lagi menggunakan diksi atau kosakata yang buruk dan tidak mengedukasi.
Menurut dia, ada diksi atau kosakata yang lebih baik dan elegan untuk menjadi media pembelajaran masyarakat.
"Jangan saling menimpali tidak bagus justru, ini kan kelihatan berantem bukan berkontestasi, berantem dengan kontestasi pemilu itu berbeda," ungkap dia.
Dia mengingatkan jika isu yang berupa rumor dan fitnah politik tersebut sangat berbahaya dan bisa menimbulkan konflik di masyarakat.
Juru Bicara Kampanye Tim Prabowo - Sandi Gamal Albinsaid senada dengan Siti Zuhro.
Dia mengaku mengajak semua pihak untuk mengarahkan tiga hal dalam Pemilu 2019 mendatang yakni menggunakan politik bermartabat yang berbicara mengenai visi dan misi, politik yang sejuk dan politik cerdas yang menggunakan data dan realitas.
"Ini juga harus menjadi momentum dan juga tobat nasional yah semua mengevaluasi di kedua kubu di kalangan untuk melihat bahwa kita sedang mengalami autokritik kebangsaan di mana kita belum bisa matang dalam berpolitik," kata dia.
Sementara itu, Anggota TKN Jokowi - Ma'ruf Amin Budiman Sudjatmiko menyatakan bahwa pihaknya telah menggunakan isu substansial sejak lama.
Dia menuding lawan politiknya kerap kali menggunakan sensasi atau isu yang tidak substansial. Itu sebab dibutuhkan sensasi dalam berpolitik namun tetap dalam jalur yang tepat.
"Lawan menyodorkan sensasi seperti, Jokowi yang DNA-nya tidak jelas, Jokowi yang anti Islam itu kan sensasi. Oke. Ya sudah terpaksa 6 bulan ini kita melayani sensasi. Karena sebuah sensasi hanya bisa dilawan dengan sensasi juga tetapi sensasi yang lebih etis, sensasi yang memiliki sebuah esensi," pungkas dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.