Dunia, Analisis

ANALISIS - Profil demografis Israel di Yerusalem ganggu keamanan kawasan

Upaya Israel untuk merekayasa perubahan demografis di kota suci, membatasi akses warga Palestina ke al-Aqsa menyebabkan konsekuensi yang jauh lebih besar

Syed Iftikhar  | 25.05.2021 - Update : 04.06.2021
ANALISIS - Profil demografis Israel di Yerusalem ganggu keamanan kawasan Ilustrasi: Warga Yahudi mendatangi Masjid al Aqsa di Yerusalem. (Stringer - Anadolu Agency )

Ankara

ANKARA

Upaya Israel untuk merekayasa perubahan demografis dan mengendalikan kompleks al-Aqsa di kota suci Yerusalem memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar untuk keamanan kawasan di tengah serangan ke Gaza dan penggusuran keluarga Palestina.

Pemicu krisis saat ini dimulai dari penggusuran keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, daerah yang mayoritas penduduknya Palestina di Yerusalem Timur, dua kilometer di utara kota tua, di jalan menuju Gunung al-Masharif.

Krisis ini meningkat menjadi gelombang protes dan kemudian polisi Israel menggerebek dan memukuli orang-orang yang berkumpul untuk beribadah di dalam Masjid al-Aqsa pada malam Lailatul Qadr pada 10 Mei lalu.

Pada akhir perang enam hari 1967, ketika Israel menguasai Yerusalem Timur, mereka setuju untuk mempertahankan status quo di kompleks al-Aqsa, yang termasuk Qubbat as-Sakhra (Kubah Batu) dan kubah perak Masjid al-Aqsa.

Pengurusnya diizinkan untuk tetap berada di Yordania. Orang Yahudi diizinkan untuk memiliki akses ke Tembok al-Buraq di sisi barat Al-Aqsa untuk menjaga ketenangan. Tetapi selama bertahun-tahun, Israel, di bawah sebuah rencana, tidak hanya mengusir Muslim dari kota tetapi membuat akses mereka ke al-Aqsa semakin sulit.

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa populasi pemukim Israel di Yerusalem tumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada populasi Israel.

Menurut Biro Pusat Statistik Israel, total populasi Yerusalem tercatat 882.700 pada 2016, terdiri dari 536.600 orang Yahudi, 319.800 Muslim, 15.800 Kristen, dan 10.300 tidak diklasifikasikan.

Hingga awal abad ke-20, Muslim memiliki mayoritas di kota tersebut. Sesuai daftar perpajakan Ottoman, yang dicatat oleh penulis Amnon Cohen dan Bernard Lewis dalam bukunya Population and Revenue in the Towns of Palestine in the Sixteenth Century, populasi Yahudi pada tahun 1553 adalah 1.958, Muslim 12.154 dan Kristen 1.956 dengan total populasi 16.068 orang.

Pada 1832, penulis Michal Oren-Nordheim dan Ruth Kark, dalam buku mereka Jerusalem and Its Environs: Quarters, Neighbourhood, Villages, mencatat bahwa kota itu memiliki 4.000 orang Yahudi, 13.000 Muslim, dan 3.560 Kristen.

Menurut penelitian dan statistik Arab Jordania, jumlah orang Yahudi mencapai 10.000 pada tahun 1918 sedangkan Muslim sekitar 30.000 orang.

Sensus yang dilakukan oleh Inggris lima tahun setelah Deklarasi Balfour tahun 1917 mengungkapkan cerita yang berbeda.

Jumlah orang Yahudi telah meningkat menjadi 33.971 pada 1922, sementara Muslim tetap pada angka 13.413. Jumlah umat Kristen adalah 14.669. Jumlah penduduk kota keseluruhan tercatat 62.578 jiwa.

Pada 1944, peneliti Manashe Harrel dan Ori Stendel mencatat populasi Yahudi sekitar 97.000, Muslim 30.600, dan Kristen 29.400. Segera setelah perang 1967, para penulis ini menyebutkan jumlah populasi Yahudi 195.700, Muslim 54.963, dan Kristen 12.646. Jumlah penduduk kota pada saat perang enam hari mencapai 263.307.

Hukum Israel yang diskriminatif

Selama bertahun-tahun, Israel telah memberlakukan undang-undang diskriminatif dengan rencana bersama untuk mengusir Muslim dari Yerusalem. Menurut undang-undang, jika seorang wanita Muslim menikah di luar kota, dia akan kehilangan hak untuk tinggal dan memiliki harta benda di kota itu. Undang-undang ini bertentangan dengan semua asas kesetaraan dan keadilan gender.

Beberapa tahun yang lalu, selama kunjungan saya ke kota Yerusalem, sebuah rumah dua lantai dari sebuah keluarga Arab di kota tua telah ditempati selama mereka tidak ada. Keluarganya pergi menghadiri pernikahan seorang kerabat di luar kota. Ketika mereka kembali setelah seminggu, mereka menemukan pintu tidak terkunci, barang-barang mereka berada di jalan, dan sebuah keluarga Yahudi tinggal di dalam rumah.

Mereka diberitahu bahwa otoritas selama mereka tidak ada telah memberikan rumah itu kepada sebuah keluarga Yahudi karena mereka menemukannya "ditinggalkan dan dikunci”. Insiden semacam itu berulang cukup sering di kota suci Yerusalem.

Kisah serupa terulang di Sheikh Jarrah, lingkungan Arab yang relatif makmur yang terkenal dengan restoran Arab dan Maroko. Lokasi yang dinamakan dokter abad ke-12 yang makamnya berada di lingkungan itu juga menampung istana Ottoman, yang kini telah diubah menjadi hotel.

Pada 1956, Yordania, yang merupakan otoritas yang berkuasa di Yerusalem Timur, telah memindahkan 28 keluarga Palestina, mengungsi pada 1948, ke rumah baru yang dibangun oleh badan pengungsi PBB.

Mereka diberikan kepemilikan properti dalam waktu tiga tahun sebagai imbalan penolakan status pengungsi mereka.

Tetapi pada 1972, kelompok pemukim Yahudi mengklaim bahwa tanah itu milik orang Israel. Atas dasar itu, mereka diberi dukungan hukum untuk memungut biaya sewa keluarga Palestina. Sejak 2002, puluhan warga Palestina telah diusir dari lingkungan itu; dan sejak awal tahun 2020, dengan persetujuan pengadilan Israel, yang telah memerintahkan penggusuran lebih dari 13 keluarga.

Alat politik, demografis, dan ekonomi gabungan yang digunakan oleh otoritas Israel untuk menekan karakter kota Yerusalem dan menciptakan keseimbangan demografis yang berpihak pada orang Yahudi adalah salah satu tantangan paling berat bagi keamanan kawasan Timur Tengah.

Israel pun tidak mengizinkan otoritas Palestina untuk mendirikan tempat pemungutan suara untuk pemilihan Dewan Legislatif Palestina yang saat ini ditunda yang dijadwalkan pada 22 Mei lalu.

Warga di bawah tekanan

Mengungkapkan kepada Jerusalem Quarterly, Luay Shabbaneh, kepala Biro Pusat Statistik Palestina di Ramallah, mengatakan bahwa Otoritas Palestina telah dilarang memberikan layanan di kota itu selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, layanan yang ditawarkan oleh pejabat Israel tidak didistribusikan secara merata di antara penduduk kota.

“Kesenjangan ini menempatkan penduduk di bawah tekanan terus menerus untuk meninggalkan kota dan menghindari larangan pembangunan dan tingginya biaya untuk mendapatkan izin bangunan yang bervariasi antara USD25.000-30.000, biaya tinggi bagi warga Palestina," ujar dia.

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Meir Margalit, mantan anggota dewan Yerusalem, biaya lisensi bangunan di wilayah Palestina untuk apartemen seluas 200 meter persegi hampir USD100.000, biaya selangit diberikan potensi penghasilan Palestina.

Biaya ini tidak termasuk biaya tambahan yang diperlukan untuk menghubungkan properti dengan membayar pengacara. Taktik menaikkan pajak bangunan lebih mahal daripada biaya konstruksi bertujuan untuk memaksa penduduk Arab pindah ke luar kota itu.

Tidak hanya rekayasa perubahan demografis, tetapi otoritas Israel juga semakin mempersulit akses ke al-Aqsa bagi warga Palestina, dan menolak hak untuk salat dan ibadah lainnya. Hal ini terbukti ketika mereka berbicara dalam kunjungan Putra Mahkota Yordania Hassan Bin Abdullah baru-baru ini, di mana dia harus membatalkan kunjungannya ke al-Aqsa, meskipun menjadi pengurusnya.

Meski turis diizinkan mengunjungi al-Aqsa, Israel tidak mengizinkan warga Palestina, yang tinggal hanya beberapa mil jauhnya di Tepi Barat, untuk mengunjungi situs suci tersebut. Penduduk Bethlehem, sebuah kota Palestina yang hanya 10 kilometer di selatan Yerusalem, dapat melihat kubah perak Masjid al-Aqsa dan emas Qubbat as-Sakhra yang berdiri tegak dari kota, tetapi tidak dapat mendatangi Yerusalem.

Seorang guru di sekolah yang dikelola PBB di kota itu memberitahu saya bahwa dia telah mengunjungi kota itu sekitar 14 tahun yang lalu dan salat di tempat suci itu. Sejak itu, dia bisa melihat kubah dari kejauhan dan menatap nasib masyarakatnya.

Tidak hanya menolak hak mereka untuk beribadah dan mengunjungi tempat-tempat suci dari Yerusalem dan bagian lain Tepi Barat, tetapi Israel juga telah membangun jalan dan jalan raya terpisah bagi warga Palestina untuk melakukan perjalanan ke Laut Mati dan daerah lain, yang merupakan bentuk terburuk dari apartheid. Israel tidak hanya mempraktikkan apartheid tetapi juga merekayasa pembersihan etnis untuk mengusir orang Arab dari wilayah tersebut.

Roda sejarah bergerak tetapi kadang-kadang lambat. Kesepakatan antara pihak kuat dan lemah tidak berlangsung lama. Bahkan untuk membuat kesepakatan di atas meja, seseorang harus kuat secara politik dan moral. Ini adalah pelajaran yang diajarkan oleh sejarah selama berabad-abad dan tidak terbukti salah.

*Opini yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.