
Jakarta Raya
JAKARTA
Gerakan pro-demokrasi Thailand yang dipimpin sekelompok mahasiswa membanjiri Lapangan Sanam Luang, Bangkok yang berseberangan dengan Istana Kerajaan pada Sabtu hingga Minggu.
Puluhan ribu anak muda Thailand itu menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha dan mendesak dilakukannya reformasi sistem monarki yang melindungi Raja dari kritik.
Reformasi monarki adalah aspirasi yang sangat tabu di Thailand karena selama ini Raja mendapatkan proteksi dari hinaan dan kritikan lewat hukum Lese-Majeste.
Artikel 112 Hukum Pidana Thailand menegaskan seseorang yang “merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan” diancam hukuman penjara hingga 15 tahun.
Namun tabu itu kini telah didobrak.
Alih-alih mendorong penguatan monarki, aktivis mahasiswa lantas memasang tanda peringatan Plakat Rakyat di lapangan Sanam Luang dan menyatakan, "Rakyat telah menyatakan niat bahwa negara ini milik rakyat, bukan raja."
Lemahnya kharisma Raja saat ini
Heru Susetyo, pengamat isu Thailand dari Universitas Indonesia, mengatakan aksi reformasi sistem monarki menunjukkan ada perubahan sosial cukup serius di negara itu karena selama ini Raja dianggap sebagai personifikasi dari Sang Budha.
Karena personifikasi Budha, kata dia, menghina Raja menjadi kejahatan sangat serius di Thailand selama ini karena sama seperti menghina agama.
“Jadi kalau berani menggugat monarki, berarti ada hal yang aneh karena monarki itu untouchable, sakral,” ujar dia kepada Anadolu Agency pada Selasa.
Namun Heru memaparkan terjadinya gelombang demonstrasi reformasi monarki di Thailand tidaklah terjadi karena satu faktor tunggal.
Setidaknya, lanjut dia, ada beberapa alasan yang menyelimuti di balik mencuatnya unjuk rasa reformasi sistem monarki.
Faktor pertama, kata Heru, kharisma Raja Maha Vajiralongkorn saat ini tidak sekuat Raja Bhumibol Aduljadej yang menjadi raja sejak tahun 1946 sampai 2016.
Raja Bhumibol, lanjut Heru, dikenal sebagai raja yang bijak di mata rakyat Thailand.
“Raja Bhumibol sangat dicintai rakyat, tapi masalahnya penggantinya tidak seperti beliau,” ujar Heru yang mendapatkan gelar Ph.D bidang Human Rights and Peace Studies dari Mahidol University, Bangkok.
Heru mencontohkan Raja Maha Vajiralongkorn lebih memilih tinggal di Jerman saat negaranya bertarung menghadapi Covid-19.
Hal ini membuat simpatik masyarakat terhadap sosok Raja Maha Vajiralongkorn menurun.
“Dia seolah pemimpin yang tidak tanggap dengan penderitaan masyarakat,” terang Heru.
“Ada ketidakpuasan kepada figur yang sekarang, hegemoni monarki melemah dalam kehidupan masyarakat,” tambah Heru.
Faktor kedua, kata Heru, ada pihak-pihak dari dalam negeri Thailand yang sedang bermain di air keruh karena sistem monarki dianggap tidak menguntungkan.
Mereka, kata Heru, bisa berasal dari kalangan politisi maupun militer.
“Ada internal Thailand yang berkepentingan menghilangkan monarki karena dianggap tidak memberikan benefit,” ucap Heru.
Pihak-pihak ini, kata Heru, menggunakan proxy gerakan massa untuk mendesak adanya reformasi monarki.
“Karena adanya Lese-Majeste, orang-orang tidak boleh membicarakan keburukan dan menjelek-jelekkan kerajaan,” terang Heru.
Merosotnya ekonomi Thailand
Situasi di Thailand, lanjut Heru, diperparah dengan terpuruknya ekonomi akibat wabah Covid-19.
Wabah Covid-19 mengubah segalanya dari wajah Thailand.
Salah satunya adalah merosotnya tingkat pariwisata yang di Thailand, padahal industri tersebut menjadi lumbung devisa bagi negeri di Asia Tenggara ini.
“Pendapatan masyarakat jatuh sehingga menimbulkan ketidakpuasan masyarakat kepada rezim,” ucap Heru.
Agustus lalu, perekonomian Thailand terkontraksi ke level terburuk dalam lebih dari 20 tahun. Thailand pun terjerembab ke jurang resesi.
Konsil Pengembangan Ekonomi dan Sosial Nasional Thailand mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Thailand minus 12,2 persen pada kuartal II 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Situasi ini adalah penurunan terbesar sejak Krisis Keuangan Asia pada 1998 silam.
Thai Airways pun terdampak akibat hantaman pandemi.
Per Juni lalu, maskapai top Thailand itu dinyatakan bangkrut.
Thai Airways saat ini dibebani utang luar biasa hingga mencapai 244,9 miliar baht atau setara Rp112 triliun.
Kebangkitan kelompok muda
Awani Irewati, pengamat Thailand dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat munculnya gerakan reformasi monarki tidak lepas dengan munculnya anak-anak muda kritis yang memanfaatkan ruang media sosial
Di era digital seperti saat ini, kata Awani, kebebebasan berpendapat menjadi lebih terbuka.
“Apalagi mereka melihat banyak negara-negara di sekitarnya sudah melakukan reformasi,” ucap Awani kepada Anadolu Agency.
Sementara itu, pengamat politik asal Thailand, Abdulsuko Dina, mengatakan tuntutan reformasi monarki saat ini lebih banyak disuarakan anak-anak muda.
Fenomena ini, kata Dina, mencuat karena anak-anak muda Thailand tidak banyak hidup di masa Raja Bhumibol menjadi Raja.
Sebaliknya, lanjut Dina, banyak kalangan generasi tua yang masih menghendaki sistem monarki seperti sekarang.
“Jadi masyarakat Thailand terbelah menyikapi hal ini,” ujar Dina kepada Anadolu Agency.
Dina mengatakan Prayut juga memiliki cara untuk meredam tuntutan protes terhadap dirinya dan desakan reformasi monarki.
Dina memprediksi PM Thailand itu akan membuat gelombang demonstrasi tandingan yang mendukung posisi dia dan menentang unjuk rasa kelompok muda.
“Prayut tidak benar-benar tulus mendengar aspirasi kelompok anti pemerintah,” ucap dia.
Sementara itu, lanjut Dina, di kalangan masyarakat Thailand juga muncul kekhawatiran adanya peran negara-negara maupun NGO asing yang ikut menunggangi protes anti pemerintah.
“Mereka yang cemas ini kebanyakan orang-orang tua,” ucap dia.
Dina pun mendorong agar Prayut menunjukkan itikad politik untuk melakukan demokratisasi di Thailand, khususnya dalam amandemen piagam 2016.
“Prayut harus menjamin lahirnya undang-undang yang lebih demokratis dan berpihak pada aspirasi rakyat,” kata dia.
Di bawah piagam 2016, 250 senat yang ditunjuk oleh rezim untuk menjalani masa jabatan lima tahun. Tugas pertamanya adalah duduk bersama dengan dewan perwakilan rakyat baru untuk memilih perdana menteri baru.
Mei 2019 lalu, Raja Thailand telah menyetujui daftar 250 senator yang ditunjuk oleh junta militer. Dari jumlah itu, 66 di antaranya merupakan jenderal militer.
Prayut lewat Partai Palang Pracharat kemudian terpilih sebagai perdana menteri pada Juni 2019, yang merupakan pemilu pertama pasca kudeta 2014, setelah mengantongi 500 dari 750 suara.
Sementara Thanathorn Juangroongruangkit dari oposisi Partai Future Forward mendapatkan 244 suara.
Dina mengatakan gerakan demonstrasi ini menjadi alarm bagi Prayut untuk membenahi sistem politik Thailand, jika tidak isu reformasi monarki akan terus mencuat.
“Prayut harus memiliki political will untuk merespons tuntutan mahasiswa,” ucap dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.