Regional

Bangladesh tolak pulangkan Rohingya yang dikarantina di pulau terpencil

Rohingya di pulau itu menjalani kehidupan yang jauh lebih baik daripada di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak, kata menteri luar negeri Bangladesh

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 09.07.2020 - Update : 09.07.2020
Bangladesh tolak pulangkan Rohingya yang dikarantina di pulau terpencil Ilustrasi. (Foto file-Anadolu Agency)

Dhaka

Md. Kamruzzaman

DHAKA, Bangladesh 

Bangladesh pada Kamis menolak imbauan lembaga hak asasi manusia (HAM) internasional untuk segera memulangkan ratusan Rohingya yang dikarantina di pulau terpencil sejak lebih dari dua bulan lalu akibat pandemi Covid-19.

"Orang-orang Rohingya di pulau itu berada dalam lingkungan yang sangat rapi dan bersih. Pemerintah menyediakan makanan dan kebutuhan lainnya secara teratur," kata komisaris pengungsi Bangladesh Mahbub Alam Talukder kepada Anadolu Agency.

Pernyataan itu disampaikan Talukder sebagai tanggapan terhadap Human Rights Watch yang mendesak Dhaka untuk segera memulangkan 300 warga Rohingya dari pulau itu kembali ke keluarga mereka.

Dia mencatat bahwa pemerintah Bangladesh memberikan perlindungan kepada lebih dari satu juta warga Rohingya.

"Dari mereka hanya 306 Rohingya yang dipindahkan ke pulau tempat kami mengembangkan pemukiman yang sangat bagus dengan semua tindakan perlindungan dari bencana alam," ujar Talukder.

Pada Mei 2020, Bangladesh mengirim sejumlah warga Rohingya ke pulau terpencil Bhashan Char, yang terletak di muara Sungai Meghna dan Teluk Benggala dalam dua fase.

Para pengungsi tersebut terdampar di laut selama berminggu-minggu setelah mereka gagal melakukan perjalanan ilegal ke Malaysia dari Bangladesh.

Frustrasi dengan kondisi manusiawi di kamp-kamp yang ramai, pengungsi Rohingya sering mengambil risiko untuk berlayar ke negara-negara lain.

Dalam sebuah pernyataan pada Kamis, Human Rights Watch mengatakan pihak berwenang Bangladesh harus segera memindahkan lebih dari 300 pengungsi Rohingya, termasuk setidaknya 33 anak-anak, dari pulau lanau Bhashan Char ke kamp-kamp pengungsi Bazar Cox untuk berkumpul bersama keluarga mereka.

"Pihak berwenang Bangladesh menggunakan pandemi sebagai alasan untuk menahan para pengungsi di atas lahan di tengah lautan monsun yang bergolak sementara keluarga mereka dengan cemas berdoa untuk kepulangan mereka," kata Brad Adams, direktur lembaga itu untuk kawasan Asia.

Berbicara kepada Anadolu Agency, Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen mengatakan pada Kamis bahwa Rohingya yang dikirim ke pulau itu menjalani kehidupan yang jauh lebih baik daripada mereka yang berada di kamp-kamp yang penuh sesak di distrik selatan Cox's Bazar.

"Beberapa wanita Rohingya di pulau itu menjalankan salon kecantikan, pria memancing dan mengolah tanah dan beberapa melakukan peternakan sapi seperti yang mereka lakukan selama kehidupan damai mereka di negara bagian Rakhine [Myanmar]," ujar Momen.

Mengutip pernyataan lembaga hak asasi itu, dia menambahkan bahwa badan-badan hak asasi itu lebih baik mengeluarkan pernyataan tentang situasi di negara bagian Rakhine di mana banyak orang Rohingya masih berada dalam bahaya.

“Saat ini kepadatan populasi kami lebih dari 1.200 per kilometer persegi tetapi kurang dari 100 di AS. Jika Adams sangat khawatir tentang Rohingya, dia harus meyakinkan pemerintahnya untuk membawa mereka kembali ke negaranya,” tambah dia.


- Komunitas yang teraniaya

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar. Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira'.

Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.

Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.