Apa yang terjadi di Myanmar?
Junta militer semakin bertindak keras terhadap unjuk rasa anti-kudeta meski seruan mengembalikan pemerintahan sipil makin sering disampaikan berbagai pihak

Jakarta Raya
Riyaz ul Khaliq
ANKARA
Kudeta militer di Myanmar pada Februari 1 lalu sebenarnya tidak mengagetkan karena sebelumnya para jenderal militer negara itu secara terbuka menyatakan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu November lalu yang dimenangkan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Penangkapan pemimpin NLD dan anggota masyarakat sipil lain dalam kudeta tersebut, bagaimanapun, tidak dapat menghentikan protes nasional terhadap pemerintah junta di negara mayoritas Buddha itu.
Sejauh ini dilaporkan oleh Fortify Rights, sebuah NGO pengawas hak asasi manusia, sebanyak 61 orang tewas setelah pasukan junta menembaki demonstrasi di berbagai kota.
Tindakan keras ini menimbulkan simpati dari kalangan internasional.
#WhatIsHappeningInMyanmar menjadi trending topic di Twitter dengan seruan untuk menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar, yang secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw.
Rabu 3 Maret lalu menjadi hari paling berdarah di negara itu karena PBB melaporkan bahwa rezim Tatmadaw menewaskan 38 demonstran anti-kudeta.
Sementara lebih dari 1.200 pengunjuk rasa ditahan.
Pembunuhan massal para pengunjuk rasa disamakan dengan tindakan keras pemerintah China terhadap protes mahasiswa pada 1989 di Lapangan Tiananmen, Beijing.
Warga setempat menuduh Beijing mendukung para jenderal militer dalam menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Protes juga digelar di luar Kedutaan Besar China di negara itu.
Polisi mengajukan tuntutan terhadap Suu Kyi dan menggulingkan Presiden Win Myint.
Panglima Militer Min Aung Hlaing telah mengambil alih semua kekuasaan dan menunjuk menteri baru untuk menjalankan pemerintahan.
Junta tidak menyatakan penyesalan atas kudeta dan berjanji menghadapi sanksi apa pun yang akan dijatuhkan pada Myanmar oleh dunia internasional.
Rezim juga sering menutup akses internet dan media sosial sementara Facebook menghapus ratusan halaman yang terkait dengan militer.
Protes massal pertama diadakan di ibu kota Mandalay pada 4 Februari, tiga orang ditahan saat slogan anti-kudeta diteriakkan.
Publik Myanmar menyaksikan demonstrasi terbesar pada 7 Februari, pertama kali sejak Revolusi Saffron 2007 - demonstrasi berminggu-minggu yang dipicu oleh penghapusan subsidi - yang membuat pemerintah mulai melonggarkan aturan di negara itu.
Pada 9 Februari, korban pertama dilaporkan ketika Mya Thwe Thwe Khaing, 19, terluka setelah polisi melepaskan tembakan ke arah demonstrasi.
Aparat keamanan juga menggunakan meriam air dan peluru karet untuk memecah protes yang berkembang.
Dua hari kemudian, AS menjatuhkan sanksi kepada jenderal militer Myanmar, yang dilanjutkan dengan sesi khusus tentang Myanmar di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Namun, hal itu tidak menghalangi junta, mereka tetap memberikan kebebasan kepada pasukan militer untuk menahan tersangka atau menggeledah properti pribadi tanpa persetujuan pengadilan.
Demonstrasi makin membesar saat pegawai pemerintahan juga bergabung.
Mereka menyebut aksi ini sebagai "gerakan pembangkangan sipil" yang juga melumpuhkan perjalanan udara dan kereta api.
Beberapa negara mengevakuasi warganya dari Myanmar karena masalah keamanan.
Pada pertengahan Februari, junta mengerahkan kendaraan militer di kota-kota besar.
Wanita yang terluka meninggal pada 19 Februari, menjadi pengunjuk rasa pertama yang tewas dalam demonstrasi anti-kudeta.
Beberapa hari kemudian, tindakan keras terhadap demonstrasi anti-kudeta makin menjadi-jadi.
Pada 28 Februari, 18 orang tewas sementara puluhan lainnya terluka di seluruh negeri.
Pada hari pertama bulan ini, dakwaan ketiga atas dugaan penghasutan dengan hukuman penjara maksimal dua tahun diajukan terhadap Suu Kyi.
Sementara itu ASEAN tak bisa berbuat banyak, karena ada aturan tidak boleh campur tangan dalam urusan internal anggotanya.
Namun, Indonesia dan Malaysia meminta junta membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta.
Enam jurnalis juga didakwa melanggar undang-undang ketertiban umum yang bisa membuat mereka menghadapi hukuman penjara hingga tiga tahun.