
Jakarta Raya
JAKARTA
Para perumus Konstitusi 1987 Filipina yang mengabadikan "Bill of Rights" bergabung dengan oposisi menentang pengesahan UU Antiterorisme.
Mereka memperingatkan Presiden Duterte agar tidak membawa Filipina mundur pada era 1970-an.
“Filipina perlu bergerak maju, bukan mundur. Ini bab paling gelap dalam sejarah kita, ketika aturan hukum dilanggar dengan impunitas,” sebut pernyataan bersama yang diteken oleh para perumus Konstitusi 1987, kutip the Philippine Star.
Para perumus itu yaitu Felicitas Arroyo, Teodoro Bacani, Florangel Rosario Braid, Edmundo Garcia, Jose Luis Gascon, Christian Monsod dan Bernardo Villegas.
Saat dirumuskan, Konstitusi 1987 itu memberi rakyat Filipina harapan dan melindungi hak rakyat dari kekuatan negara.
Konstitusi tak lagi mencantumkan Perintah Penangkapan, Pencarian dan Penyitaan yang ditakuti (ASSO) darurat militer yang digunakan rezim Ferdinand Marcos untuk membungkam pengkritik.
Namun adanya Dewan Antiterorisme (ATC) dalam UU Antiterorisme atau RA 11479 justru membalikkan Filipina ke masa kelam.
“Tanpa disadari, kita menjadi saksi untuk kembali ke masa lalu, ke pengalaman yang tidak diinginkan,” ujar mereka.
ATC terdiri dari pejabat kabinet dapat menuduh seseorang atau kelompok orang sebagai tersangka teroris, juga membolehkan penegak hukum untuk menahan mereka hingga 24 hari tanpa tuntutan hukum.
Bahkan UU tersebut tak memberi terdakwa kesempatan untuk membela diri di persidangan.
“UU ini menciptakan iklim ketakutan dan membungkam suara kritis,” kata mereka.
Presiden Rodrigo Duterte menandatangani UU Antiterorisme itu beberapa hari lalu, upaya yang disebut Malacanang sebagai “komitmen serius” pemerintah memberantas terorisme.
“Penandatanganan oleh Presiden Rodrigo Roa Duterte dari Republic Act No. 11479, atau dikenal sebagai Anti-Terrorism Act of 2020, menandakan fajar baru dalam perang negara melawan kejahatan global terhadap kemanusiaan yang kejam: terorisme,” kata Kepala Penasihat Hukum Presiden Salvador Panelo, lewat siaran pers, pada Minggu.
Sehari setelah Duterte meneken UU tersebut, sejumlah pengacara dan kelompok sipil mengajukan empat petisi ke Mahkamah Agung (SC) dengan menyebut bahwa RA 11479 “menindas” dan tak sejalan dengan Konstitusi.
Mereka menuntut agar pengadilan tinggi menyatakan UU baru tersebut batal demi hukum.
Para penuntut itu di antaranya adalah profesor hukum Howard Calleja, pengacara Joseph Peter Calleja, profesor hukum Universitas Filipina Christopher John Lao, Reynaldo Echavez, Napoleon Siongco, Raeyan Reposar, Armin Luistro dari De La Salle Brothers, juga kelompok sipil Tunay na Bayani dan Bagong Siklab Pilipinas.
Sejak awal, RUU Antiterorisme menuai kontroversi karena dinilai melanggar HAM dan menghambat kebebasan berekspresi.
Sejumlah poin yang diperdebatkan di antaranya adalah definisi tindakan terorisme, penyadapan rahasia oleh polisi dan militer, serta penahanan prasidang terhadap terduga teroris.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.