Militer Thailand tetap tolak pencabutan UU darurat militer di selatan
Pemimpin Partai Prachachat Wan Muhamad Nor Matha menyerukan penghapusan undang-undang keamanan khusus di wilayah Selatan dan mendesak pemerintah mempercepat dialog perdamaian

Jakarta Raya
BANGKOK
Militer Thailand menegaskan undang-undang keamanan khusus di wilayah Selatan tetap dipertahankan usai penyerangan terhadap 15 relawanan keamanan di distrik Muang, Yala, lansir Bangkok Post pada Kamis.
Pernyataan ini merespons seruan bagi pemerintah untuk meninjau kembali penggunaan undang-undang khusus di wilayah tersebut, seperti Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri dan UU Darurat Militer atas kekhawatiran terjadinya pelanggaran HAM.
Panglima Angkatan Darat Phonsak Phunsawat mengatakan pemerintah masih berusaha menyelesaikan kekerasan melalui pembicaraan damai.
Namun, kata Phonsak, karena gerilyawan masih aktif, otoritas keamanan perlu mempertahankan pemberlakuan undang-undang khusus di Thailand selatan.
Pemimpin Partai Prachachat Wan Muhamad Nor Matha kemarin menyerukan penghapusan undang-undang keamanan khusus di wilayah Selatan dan mendesak pemerintah mempercepat dialog perdamaian.
Dia menambahkan tanggung jawab untuk memperketat keamanan harus diserahkan kepada otoritas lokal daripada militer.
Wan Nor mengatakan operasi keamanan di masyarakat harus ditangani oleh polisi, polisi patroli perbatasan, dan para pemimpin lokal, bukan militer.
"Undang-undang keamanan khusus harus ditinjau dan operasi keamanan harus diperkuat oleh penduduk setempat, bukan militer," kata dia
Berdasarkan catatan NGO Thailand Jaringan Mangsa dari Undang-Undang Darurat (JASAD) , sebanyak 12.930 warga telah ditangkap otoritas Thailand sejak pemberlakuan UU Darurat Militer pada 2004.
Sedangkan sejak Januari 2019 hingga saat ini, tercatat 123 warga telah ditangkap di wilayah Provinsi Patani dan Songkhla.
Empat di antaranya adalah wanita.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 77 orang berhasil bebas dan 46 lainnya harus meringkuk dalam tahanan.
Dialog terhenti
Sejak 2004, konflik bersenjata di empat provinsi di selatan Thailand telah menewaskan 7.000 jiwa.
Pada 2013, Thailand pertama kalinya menandatangani perundingan damai bersama Barisan Revolusi Nasional (BRN) Melayu Patani, salah satu gerakan kemerdekaan Patani, yang diwakili Hasan Thoiyib.
Perundingan pada waktu itu ditengahi pemerintahan perdana menteri Malaysia Najib Abdul Razak.
Namun, perundingan antara BRN dan Pemerintah Thailand berhenti pada 2014 karena kudeta militer yang dipimpin Prayuth Chan-ocha terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra.
Prayut Chan-ocha kembali memperbarui proses perundingan yang hampir melahirkan zona aman antara kedua pihak.
Dialog damai tersebut diwakili Majelis Syura Patani (Mara Patani) dari pihak Muslim selatan.
Mara Patani adalah payung organisasi Muslim yang mewakili beberapa kelompok Thailand selatan.
Namun sejauh ini dialog antara kedua belah pihak itu menemui jalan buntu.
Pembicaraan damai telah tertunda menyusul kegagalan kedua pihak melakukan pertemuan yang sedianya dilakukan Februari 2019.
Saat itu, kepala tim perdamaian Thailand Jenderal Udomchai Thammasarorat tak menghadiri pertemuan dengan Mara Patani di Kuala Lumpur, Malaysia.
Juni lalu, Abdul Rahim bin Mohammad Noor, fasilitator baru Malaysia untuk pembicaraan damai di Thailand Selatan, melakukan kunjungan selama dua hari ke wilayah tersebut.
Kunjungan ini adalah pertama dilakukan oleh mantan kepala polisi Malaysia tersebut sejak ditunjuk pemerintah Mahathir Mohammad menggantikan Ahmad Zamzamin Hashim.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berjanji membantu mengakhiri siklus kekerasan di selatan Thailand.
Menurut Mahathir, konflik Thailand Selatan merupakan kesempatan bagi kedua negara untuk menunjukkan persahabatan satu sama lain.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.