Tradisi Ramadan di Indonesia berubah akibat pandemi Covid-19
Masjid meniadakan ibadah tarawih dan salat Id berjemaah, tradisi seperti berziarah dan mudik ke kampung halaman pun harus ditunda

Jakarta Raya
JAKARTA
Masyarakat muslim Indonesia tak bisa menyambut Ramadan semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Ritual-ritual budaya jelang Ramadan, seperti ziarah, mandi bersama di sungai, membersihkan karpet masjid tidak bisa digelar tahun ini.
Masjid-masjid yang biasanya ramai jamaah salat tarawih dan tadarus Alquran selama Ramadan tahun ini juga akan sepi.
Sepekan menjelang bulan suci tiba, Indonesia mengonfirmasi lebih dari 5.000 orang positif kasus Covid-19 dan jumlahnya masih terus bertambah.
Pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan panduan agar masyarakat memusatkan kegiatan ibadah selama Ramadan di rumah masing-masing.
Ibadah berjamaah di masjid rentan terhadap penularan virus SARS-CoV-2 tersebut.
Kepala Bagian Protokol Masjid Istiqlal Abu Hurairah mengatakan masjid terbesar di Asia Tenggara itu tidak akan menggelar salat tarawih dan salat Idul Fitri berjamaah.
“Sekarang tidak ada sama sekali (ibadah berjamaah), masjid jadi sepi,” kata Abu Hurairah kepada Anadolu Agency.
Masjid Istiqlal biasanya kedatangan 10.000-15.000 jamaah salat tarawih tiap malam selama Ramadan. Saat salat Id, jamaahnya membludak antara 120.000-150.000 orang.
Dalam kondisi normal, Masjid Istiqlal biasanya menyediakan 4.000-5.000 porsi makanan per hari yang dibagikan gratis sebagai hidangan buka puasa.
Khusus tahun ini, makanan gratis untuk berbuka puasa akan disalurkan ke masyarakat miskin yang terdampak Covid-19.
“Biasanya kalau buka puasa itu sudah seperti festival. Tahun ini karena tidak bisa jadi akan disalurkan ke masyarakat seperti mekanisme pembagian daging kurban,” tutur Hurairah.
Hurairah menuturkan penyesuaian pola ibadah dan kebiasaan Ramadan mau tidak mau harus dilakukan untuk mendukung upaya pemerintah menangani penyebaran Covid-19.
“Situasi yang sampai seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Mungkin cuma keajaiban yang bisa membuat Ramadan kali ini normal kembali,” tutur dia.
Tidak ada ziarah dan mudik
Ramadan tahun ini juga berbeda bagi Ika, Defianti, 29 warga Bekasi, Jawa Barat. Dia terpaksa membatalkan rencana ziarah ke makam ayahnya di Boyolali, Jawa Tengah pada 19-25 April mendatang.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia termasuk keluarga Ika, ziarah menjadi salah satu tradisi yang dilakukan menjelang Ramadan.
Tempat Pemakaman Umum (TPU) biasanya akan ramai oleh peziarah. Pedagang bunga tabur juga meraup untung dari tradisi ini.
Ika memilih menunda rencana berziarah hingga pandemi berakhir meski telah membeli tiket penerbangan sejak jauh-jauh hari.
“Katanya para pendatang harus dikarantina, jadi lebih baik dibatalkan. Cuti saya saja cuma seminggu, sementara karantinanya sampai 14 hari,” kata Ika kepada Anadolu Agency.
Selain itu, Ika khawatir dirinya justru membawa virus dan menularkan kepada anggota keluarga yang rentan terinfeksi.
“Sepupu saya di kampung banyak yang balita, nenek saya sudah berumur 70 tahun dan punya asma, saya khawatir membahayakan mereka,” ujar dia.
Menurut dia, situasi ini membuat Ramadan terasa tidak sesemarak biasanya.
Tidak ada ziarah, tarawih berjemaah di masjid, berbuka puasa bersama, juga berburu takjil menjelang beduk Magrib.
“Biasanya ziarah menjadi penanda kalau mau puasa, tapi sekarang jadi terasa beda,” lanjut Ika.
Selain berziarah, mudik ke kampung halaman menjadi tradisi yang masif dilakukan masyarakat Indonesia di ujung bulan Ramadan.
Pemerintah mencatat ada sekitar 20 juta pemudik dari kota-kota besar ke berbagai daerah pada 2019 lalu.
Meski tidak ada larangan mudik di tengah pandemi, namun pemerintah mengimbau agar masyarakat menahan diri demi mencegah laju penyebaran Covid-19.
Seorang pekerja swasta di Jakarta, Hanif Gusman, 27, juga harus memupuskan rencananya berkumpul bersama keluarga di Batusangkar, Sumatra Barat.
Padahal Lebaran adalah satu-satunya momen bagi Hanif dan keluarga untuk berkumpul.
“Biasanya ini jadi momen yang selalu saya tunggu-tunggu. Keluarga besar saya tinggal di kota-kota yang beda, semua pulang dan berkumpul ketika lebaran,” tutur dia.
Hanif mengatakan mudik di tengah pandemi justru akan lebih merepotkan ketimbang menahan diri.
Pasalnya, para pemudik harus mengkarantina diri 14 hari dan ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP).
“Kalau dikarantina, kumpul sama keluarga pun enggak bisa, jadi lebih baik enggak pulang,” tutur dia.
Hanif berencana melewati Hari Raya Idul Fitri di tempat kost-nya di Jakarta tanpa keluarga dan makanan khas lebaran seperti opor atau rendang.
"Silaturahmi ke keluarga atau teman-teman yang sama-sama enggak mudik pun belum tentu bisa, jadi paling video call saja," kata Hanif.
“Mudah-mudahan pandemi ini cepat selesai, supaya bisa segera pulang dengan situasi yang lebih baik,” lanjut dia.
Abdul Rochim seorang pekerja di Jakarta asal Lamongan, Jawa Timur menunda kepulangannya jelang Ramadan yang sudah rutin dilakukan dari tahun ke tahun.
Biasanya dia berziarah ke makam leluhurnya dan orang tua istrinya di kampung. Namun tahun ini momen itu tidak bisa dilakukan.
“Ziarah itu bagian dari amalan kita sebagai anak pada orang tua yang sudah meninggal,” ujar dia.
“Kita sebagai anak dan menantu tentu punya utang budi yang tidak bisa kita bayar selain dengan memberikan doa kepada ahli kubur, khususnya orang tua.”
Laku spiritual
Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman Arizal Mutakhir mengatakan ziarah diidentifikasi sebagai aktivitas mengunjungi makam leluhur atau tokoh-tokoh penting masyarakat.
Menurut dia, ziarah kemudian diartikan sebagai laku spiritual untuk mengingat jasa-jasa orang yang sudah meninggal dan menghormati leluhur.
Setelah bertemu dengan ajaran Islam, ziarah menjadi sebuah ritual untuk mengingat kematian dan akhirat.
Ketiadaan ziarah tahun ini akibat wabah Covid-19 menurut dia akan memotong salah satu siklus kehidupan spiritual masyarakat.
“Ziarah ini mengingatkan bahwa perjalanan manusia ada titik hentinya. Ini semacam siklus kehidupan manusia,” ujar dia.
Budayawan Ahmad Tohari mengatakan bagi sebagian masyarakat Indonesia, tidak pulang berziarah akan membuat masyarakat secara spiritual “kurang”.
“Ziarah ini semacam tonggak batin. Mereka pulang berziarah itu kan sekalian silaturahmi, ekspresi keterikatan garis keturunan,” ujar dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.