Budaya, Nasional

Petaka Minggu pagi di depan gedung ormas pemuda, Lhokseumawe

Korban penyiksaan oleh aparat keamanan di Lhokseumawe berpesan agar semua pihak menjaga perdamaian yang telah hadir di Aceh

Indra Wijaya  | 28.06.2021 - Update : 30.06.2021
Petaka Minggu pagi di depan gedung ormas pemuda, Lhokseumawe Ilustrasi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kiri) dan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar (kanan) di Istana Negara, Jakarta, setelah bertemu Presiden Joko Widodo. (Foto KSP - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

ACEH, Indonesia 

MD perlahan mulai berjalan ke kawasan pasar di Lhokseumawe, pada Minggu, 3 Januari 1999.

Dia memberanikan diri untuk keluar rumah karena menilai kondisi mulai aman.

Sebelumnya baru saja terjadi demonstrasi di pusat kota Lhokseumawe.

Namun, aksi yang semula baik-baik saja berubah menjadi rusuh setelah salah seorang dari massa melemparkan batu ke arah tentara yang berjaga. Tentara melepaskan tembakan yang membuat tiga orang meninggal dunia, puluhan orang luka.

"Saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Di tengah jalan, saya melihat salah seorang anak berumur 15 tahun terluka karena terkena serpihan peluru," tutur MD seperti diceritakan dalam buku Fakta Bicara, yang diterbitkan Koalisi NGO HAM Aceh. Anadolu Agency memuat cerita MD bertepatan dengan hari penyiksaan sedunia pada 26 Juni.

Sontak MD langsung bergerak untuk membantu membawa anak tersebut ke rumah sakit.

Saat membawa korban ke rumah sakti, dia dihadang tentara dan dua orang perempuan yang menolong anak tersebut di Jalan Iskandar Muda, dekat gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang juga berdampingan dengan Markas Komando Resor Militer (Korem) Lilawangsa.

Tentara menanyakan tujuan MD. Ia mengatakan dia hendak mengantar anak tersebut ke rumah sakit. Sayangnya, anak tersebut mengaku terkena serpihan peluru dari tentara saat melakukan demo tadi.

Mendengar hal tersebut, sontak tentara yang berjaga itu marah. Ia menuduh MD sebagai mata-mata daerah Pusong. Kemudian ia segera digotong ke Gedung KNPI dan kemudian MD dikeroyok oleh 10 orang tentara.

Mendapat pengeroyokan tersebut, MD melakukan perlawanan. Tentara itu semakin marah akibat adanya perlawanan dari MD. Mereka mulai menggunakan senjata. Dia hanya bisa terdiam kaku tanpa melakukan perlawanan lagi.

Dia kemudian disuruh merangkak ke gedung KNPI. Setiba di depan pintu, dia melihat tubuh-tubuh yang sudah terbujur kaku berlumuran darah berjejer di lantai.

Ketakutan menyelimuti dirinya. Dia mulai mengingat tuhan. Dalam hatinya ia tidak berhenti melakukan zikir.

Kemudian ia diperintah untuk tidur seperti yang lainnya. Dalam jarak yang lebih dekat, dia melihat tubuh-tubuh yang terbujur kaku itu ada yang masih hidup. Meskipun keadaannya sangat lemah.

“Saya lihat yang sudah meninggal dilempar ke sudut ruangan, mereka ada sekitar 10 orang,” kata MD.

Di dalam gedung KNPI itu dia mulai mendapat penyiksaan. Mulai dari dipukul dengan tangan, popor senjata, kabel dan lainnya. Malah, ia melihat korban yang berada di dekatnya ada luka parah di matanya dan mulutnya.

MD dituduh sebagai komandan yang mengerakkan aksi massa. Bahkan salah seorang tentara di situ mengatakan dia komandan dari Pusong.

Mendengar hal tersebut, kembali menyulit api amarah para tentara. Mereka duduk di atas tubuh MD dan menyiksanya. Kemudian ia ditendang di bagian tengkuk dan membuat MD tak sadarkan diri.

Kejadian itu terus terjadi secara berulang. Dua kuku kakinya juga dicabut. Dia terus dipaksa mengaku sebagai komandan Pusong.

“Ketika disiksa rasanya mau pipis, bergetar-getar tubuh saya, sakit sekali,” ujarnya.

Penyiksaan itu dia alami selama berada di dalam gedung ormas pemuda tersebut. Karena saat itu bulan puasa, di malam harinya mereka diberi makan untuk sahur. Namun penyiksaan tetap dilakukan.

Kejadian itu terus berulang, hingga pagi hari pun mereka masih disiksa.

Sudah hari kelima pasca ditahan, tawanan itu diberi obat. Karena persediaan obat tidak mencukupi, sebagian korban yang mengalami luka siksaan dijahit tanpa menggunakan bius.

Kemudian satu per satu dikeluarkan dari gedung itu, namun dengan mata ditutup kain hitam. Di hari ketujuh, seingat MD, para tawanan itu dibariskan dengan jumlah tawanan 147 orang.

Kemudian MD diserahkan ke Kepolisian Resort (Polres) Aceh Utara. Satu hari satu malam dia berada di situ.

Di sana ia juga dipaksa untuk mengaku sebagai Komandan Pusong. Selain itu dia dituduh membagi-bagikan senjata parang untuk masyarakat saat melakukan demo ke Kantor Bupati.

“Mengaku saja biar cepat,” kata salah seorang polisi ditirukan MD.

Saat diketik dalam laporan, ia tetap dilabelkan sebagai Komandan Pusong yang membagikan parang kepada para pendemo.

Kemudian ia dibebaskan, hanya dikenai wajib lapor. Saat kembali ke rumah kondisi tubuhnya bengkak, dan ia juga sempat tidak mengenali istrinya. Sebab saat itu kondisi fisiknya sudah terlalu lemah.

Jaga perdamaian Aceh

Setelah Aceh memasuki masa damai, MD menjalani kehidupannya sebagai warga biasa dengan bekerja secara serabutan. Kadang menjadi nelayan, kadang sebagai kuli bangunan.

Dia telah diberi bantuan Rp10 juta dari pemerintah. Meski begitu ia tidak berharap banyak dari bantuan tersebut.

Namun selaku korban dia juga ingin agar nasib para korban konflik diperjuangkan. Ia tidak mau hidup mereka tetap diabaikan.

Pasalnya dia masih mengalami sedih dan trauma saat mengingat kejadian yang menimpa para korban dalam perisitwa yang sama di gedung ormas pemuda itu.

Dia bersyukur saat ini masih mempunyai cukup kekuatan untuk bekerja. Sedangkan korban lainnya sudah tidak mampu bekerja.

Tak ada yang menjamin kebutuhan mereka. Dia berharap agar pemerintah untuk tidak melupakan para korban konflik.

“Kalau bicara masalah dendam, tentu ada. Tapi Aceh saat ini sudah damai, mari jaga perdamaian itu”, pesan MD.

5.200 korban penyiksaan di Aceh

Pada tahun 2018, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pernah melakukan rapat dengar kesaksian korban yang mendapat penyiksaan saat konflik mendera provinsi paling barat Indonesia itu.

Setidaknya, ada 14 orang penyintas atau korban memberi kesaksian. Mereka berasal dari lima wilayah, yakni Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bener Meriah dan Aceh Selatan.

Rapat dengar kesaksian oleh korban yang mengalami penyiksaan masa konflik itu dilakukan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Komisioner KKR Aceh, Muhammad Daud Berueh, saat ditemui Anadolu, Jum’at, 26 Juni, mengatakan fakta yang ditemukan dari para pemberi kesaksian itu adalah mereka dipaksa memberikan pengakuan terlibat dalam anggota kelompok bersenjata (GAM).

Hak atas kemerdekaan korban dirampas secara sewenang-wenang. Selain itu mereka ditangkap dan ditahan tanpa ada prosedur yang sah.

“Tindakan yang tidak menyenangkan dan merendahkan dialami para korban. Mereka mendapat perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi dengan cara disiksa dan dianiaya,” kata Daud.

Dampak dari hal tersebut lanjutnya, para korban mengalami trauma yang berkepanjangan baik itu kepada korban maupun keluarganya.

Selain itu korban juga mengalami luka fisik dan gangguan kesehatan yang berkepanjangan.

“Mereka juga kehilangan usaha dan harta benda. Selain itu korban juga mengalami kesulitan ekonomi, pendidikan dan pekerjaan,” ujarnya.

Dia mengatakan, saat konflik di Aceh, pengakuan keterlibatan dalam kelompok bersenjata (GAM) menjadi sebuah pola yang terus dilakukan terhadap warga sipil. Mereka saat itu dipaksa untuk memberikan pengakuan atas tindakan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan.

Menurut dia, hal tersebut merupakan pilihan yang sulit diterima oleh akal sehat. Terlebih, pengakuan atas sebuah informasi yang sama sekali tidak diketahui.

Padahal dalam UU Nomor 5 Tahun 1998, Pemerintah Indonesia saat itu sudah mengesahkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan dan Penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.

Saat ini, KKR Aceh sendiri sudah menghimpun sekitar 5.200 kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap korban konflik Aceh. Data itu di dapat dari 14 kabupaten/kota di Aceh.

Dari jumlah tersebut, KKK Aceh menemukan ada empat peristiwa yang signifikan terjadi kepada para korban konflik. Yakni, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kasus pembunuhan dan kasus pemerkosaan.

“Karena hal itu juga kita berharap agar korban mendapatkan pemenuhan hak atas reparasi dan adanya komitmen agar peristiwa tersebut tidak berulang,” ucap dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın