Nasional

Pemerintah klaim UU Ciptaker minimalisasi konflik tenurial di hutan

Undang-undang ini menunjukkan keberpihakan pada masyarakat dengan mengedepankan restorative justice tidak main pidana, sehingga masyarakat tidak gampang dikriminalisasi

Iqbal Musyaffa  | 08.10.2020 - Update : 08.10.2020
Pemerintah klaim UU Ciptaker minimalisasi konflik tenurial di hutan Ilustrasi: Demonstrasi memprotes kerusakan hutan. (Omar Marques - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Pemerintah meyakini undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dapat menyelesaikan masalah menahun seperti konflik tenurial atau lahan di kawasan hutan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan undang-undang yang baru saja disahkan ini sangat terkait dengan tiga undang-undang yang sudah ada terkait lingkungan hidup dan kehutanan seperti UU Nomor 32/2009, UU No 41/1999, dan UU No 18/2013.

“Undang-undang ini menunjukkan keberpihakan pada masyarakat dengan mengedepankan 'restorative justice' yang tidak main pidana, sehingga masyarakat tidak gampang dikriminalisasi,” jelas Menteri Siti dalam konferensi pers virtual Rabu malam.

Dia mengatakan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan serta masyarakat hukum adat tidak akan mudah dikriminalisasi.

Menteri Siti mengatakan undang-undang ini menekankan tidak mudah melakukan kriminalisasi secara umum bila terjadi sengketa di kawasan hutan.

Sejak terbitnya UU No 22/1999 tentang pemerintah daerah menyebabkan desentralisasi besar-besaran dengan izin perkebunan diberikan bupati.

Namun, seringkali izin kebun yang diberikan justru berada di dalam kawasan hutan sehingga terjadi sengketa.

“Dalam omnibus law ini diselesaikan bahwa perizinan yang belum memenuhi syarat diberikan waktu maksimal 3 tahun untuk diselesaikan,” jelas dia.

Apabila dalam jangka waktu tersebut belum selesai, maka akan terkena sanksi administratif hingga pencabutan izin.

Undang-undang omnibus law Cipta Kerja juga mengatur tentang sanksi administratif, penghentian usaha, denda, serta paksaan bagi perambah hutan di dalam kawasan hutan.

“Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh perseorangan yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan dikecualikan dari sanksi administratif dan dapat diselesaikan melalui penataan kawasan hutan," imbuh Menteri Siti.

Ketentuan tentang sanksi administratif disebutkan pada pasal 50 A. Ketentuannya sebagai berikut: Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan/atau huruf e dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus, dikenai Sanksi Administratif.

Sanksi administratif tersebut dikecualikan terhadap: orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan. Pengecualian juga berlaku bagi orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.