Pembahasan RUU PKS ditunda saat kasus kekerasan seksual terus meningkat
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen dalam 12 tahun, termasuk kekerasan seksual

Jakarta Raya
JAKARTA
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan menariknya dari program legislasi nasional 2020.
Dalam rapat kerja Badan Legislasi dengan Kementerian Hukum dan HAM pada Kamis, DPR dan pemerintah sepakat menarik RUU PKS dan 15 RUU lainnya dari program prioritas legislasi nasional.
Meski demikian, RUU PKS masih termasuk dalam program prioritas dalam periode 2019-2024.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan RUU PKS ditarik karena harus menunggu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi rujukan pidana.
“Ini alasannya karena masih menunggu pengesahan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang akan sangat terkait dari sisi penjatuhan sanksi,” kata Supratman dalam rapat di Gedung DPR, Kamis.
“Kita berharap nanti setelah RUU KUHP diselesaikan antara pemerintah dan Komisi III, maka RUU Kekerasan Seksual ini akan kita masukkan lagi dalam program legislasi nasional,” lanjut dia.
Fraksi Golkar dan Fraksi Nasdem meminta agar RUU PKS ini dimasukkan kembali pada program legislasi nasional 2021.
Taufik Basari dari Fraksi Nasdem berjanji akan memperjuangkan pembahasan RUU PKS sebagai bentuk dukungan terhadap para korban kekerasan seksual.
Menurut dia, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat sementara belum ada payung hukum yang secara spesifik mengatur tentang kekerasan seksual.
“Fraksi Nasdem akan terus mengawal RUU ini hingga berhasil disahkan,” tutur Taufik.
Kekerasan seksual terus meningkat
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan keputusan DPR tersebut, mengingat para korban kekerasan seksual sangat membutuhkan perlindungan dari negara dan jaminan untuk dipulihkan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan pelaporan kasus kekerasan yang mereka terima terus bertambah setiap tahunnya.
Dalam kurun waktu 12 tahun, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen.
Ada 4.898 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan selama 2019. Jumlah itu belum menggambarkan kasus yang sebenarnya terjadi karena tidak dilaporkan.
Kasus-kasus yang melonjak antara lain kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan, kemudian ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas juga meningkat 47 persen pada 2019 dibandingkan 2018, dimana korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.
Pada Januari hingga Mei 2020, Komnas Perempuan telah menerima 903 pengaduan dimana 47 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
“Kami menyesalkannya keputusan itu. Kenapa RUU PKS ini yang ditunda pembahasannya? Kenapa bukan RUU lain yang tidak berkaitan dengan kondisi darurat perempuan di Indonesia?” kata Siti kepada Anadolu Agency, Kamis.
Komnas Perempuan, lanjut dia, akan menagih janji DPR bahwa RUU PKS akan dibahas pada 2021 dan bisa segera disahkan.
“Janji itu akan kami tagih. Dalam artian, tidak ada lagi penundaan di 2021 dengan berbagai alasan. Janji ini kan sudah ada sejak 2016. Selalu dikatakan prioritas tapi tidak segera dibahas,” tutur Siti.
Siti menjelaskan, RUU PKS sangat mendesak agar para korban mendapat jaminan perlindungan dan negara ikut andil dalam pemulihan trauma mereka.
Substansi hukum pidana yang berlaku saat ini tidak lagi relevan dan belum mencakup berbagai jenis kekerasan seksual yang terjadi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal bentuk perkosaan, pencabulan dan persetubuhan.
Padahal menurut Siti, draf RUU PKS mencakup sembilan bentuk kekerasan seksual yang lebih relevan dan juga sering menimpa korban berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan.
Sembilan bentuk kekerasan seksual tersebut yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
“Itu yang saat ini belum ada aturannya. Dampaknya, korban tidak bisa mengklaim keadilannya, polisi juga bingung ini dikenakan pasal apa,” kata Siti.
“Yang melaporkan ke polisi banyak, tetapi yang sampai ke pengadilan hanya 20 persen karena hukumnya tidak ada mencakup,” lanjut dia.
Belum lagi korban kerap mengalami victim blaming atas peristiwa yang mereka alami dan tidak mendapatkan pemulihan yang semestinya menjadi hak mereka.
“Korban harus diberi layanan dasar kesehatan dan pemulihan, bantuan hukum, pendampingan sehingga dia mendapat kepastian bahwa pelaku bisa dipidana, kejadian tidak terulang lagi, dan korban bisa pulih,” ujar Siti.
Menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 lalu, DPR juga telah menunda pembahasan RUU PKS dengan alasan tidak cukup waktu sementara masih ada perdebatan terkait substansi dari RUU ini.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, pada September 2019, mengatakan definisi kekerasan seksual dan cakupannya dalam RUU tersebut cenderung “berperspektif liberal” dan menciptakan budaya permisif atas perilaku seks bebas dan perzinaan.
Terkait persepsi ini, Komnas Perempuan mengatakan dasar dari pengajuan RUU ini merupakan untuk melindungi korban, bukan hal lain.
Menurut Siti, perbedaan persepsi seharusnya bisa didiskusikan bersama dalam pembahasan RUU ini alih-alih terus menundanya.
“Bagaimana melindungi dan menyelamatkan korban adalah yang paling penting. Kita bisa mereformasi frasa-frasa yang mungkin menjadi multitafsir. Itu kan bisa didiskusikan,” tutur Siti.
“Seharusnya (draf RUU PKS) dibaca dulu dengan hati yang terbuka untuk korban,” kata dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.