Nasional

Ombudsman temukan maladministrasi dalam tes wawasan kebangsaan KPK

Maladministrasi terjadi dalam tahap pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, hingga penetapan hasil TWK

Devina Halim  | 21.07.2021 - Update : 22.07.2021
Ombudsman temukan maladministrasi dalam tes wawasan kebangsaan KPK Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Indonesia pada 16 Juni 2021. Dalam aksinya, mereka menyerukan penolakan pelemahan KPK terkait polemik 75 pegawainya yang di nonaktifkan. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA 

Ombudsman RI menemukan maladministrasi dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman terhadap para pihak terkait, maladministrasi terjadi dalam tahap pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, hingga penetapan hasil TWK.

Dalam tahap penyusunan regulasi, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan mekanisme TWK disisipkan karena baru muncul di bulan terakhir penyusunan peraturan KPK terkait alih status pegawainya.

Ombudsman kemudian menemukan penyimpangan prosedur dalam rapat harmonisasi terakhir membahas peraturan KPK tersebut pada 26 Januari.

Robert mengungkapkan tiga kepala lembaga dan dua menteri hadir dalam rapat itu, padahal yang seharusnya hadir yakni Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) seperti sekretaris jenderal atau kepala biro, pejabat administrator, dan perancang.

Pimpinan yang hadir yakni Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Ketua KPK Firli Bahuri, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, dan Menpan-RB Tjahjo Kumolo.

“Sesuatu yang luar biasa, harmonisasi itu levelnya adalah JPT sesuai peraturan Menkumham, tapi untuk proses penyusunan Perkom ini harmonisasi terakhir dihadiri oleh para pimpinan lembaga,” kata Robert dalam konferensi pers daring, Rabu.

Ombudsman menemukan penyalahgunaan wewenang karena berita acara rapat harmonisasi terakhir itu justru ditandatangani oleh pihak yang tidak hadir.

KPK juga dinilai melakukan penyimpangan prosedur karena tidak menyebarluaskan rancangan peraturan di sistem internal setelah ada perubahan dari rapat harmonisasi.

Pada tahap pelaksanaan TWK, Ombudsman menemukan TWK dilakukan sebelum nota kesepahaman pengadaan barang atau jasa ditandatangani.

Ombudsman juga berpendapat BKN tidak kompeten karena tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan asesor untuk melakukan TWK.

Menurut Robert, BKN akhirnya menggunakan instrumen Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, tetapi tidak memiliki salinan dokumen Keputusan Panglima yang menjadi dasar pelaksanaannya.

Maka dari itu, ungkap Robert, BKN mengundang lima lembaga lain untuk menjadi penilai asesmen TWK, tetapi tidak melaporkannya kepada KPK.

Setelah proses asesmen, Ketua KPK Firli Bahuri menerbitkan surat keputusan (SK) yang menyatakan 75 pegawai tidak memenuhi syarat.

Rapat berikutnya memutuskan 24 dari 75 pegawai tersebut akan mengikuti diklat bela negara, sementara 51 orang lainnya diberhentikan dengan hormat sampai 1 November.

Ombudsman berpandangan Ketua KPK tidak patut menerbitkan SK tersebut karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut proses alih status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.

Robert menambahkan konsekuensi bagi pegawai yang gagal dalam TWK tidak diatur dalam peraturan KPK tentang alih status pegawainya.

“Telah terjadi pengabaian secara bersama-sama oleh 5 pimpinan lembaga ini terhadap pernyataan presiden sekaligus penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak pegawai KPK untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja,” ucap Robert.

Diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengatakan hasil TWK tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan para pegawai yang tidak lolos tes.

—Saran Ombudsman

Atas temuan itu, Ombudsman meminta kepada KPK agar pegawai yang tidak lolos diberi kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Ombudsman juga meminta agar 75 pegawai KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober.

Ombudsman sekaligus meminta Kepala BKN menyusun peta jalan atau roadmap mengenai pengalihan status pegawai menjadi ASN.

“Tindakan korektif ini tentu menjadi harapan kami untuk dilaksanakan oleh pimpinan KPK dan kapala BKN, tetapi jika dalam waktu tertentu tidak dilaksanakan, maka saran perbaikan kita sampaikan kepada Presiden,” ungkap Robert.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.