Masjid Rahmatullah: Saksi bisu tsunami dasyat Aceh
Setelah diterjang ombak puluhan meter, masjid yang berdiri pada 1997 ini masih kokoh berdiri sementara bangunan lainnya rata dengan tanah

Jakarta Raya
ACEH BESAR
Lantunan ayat suci al-Quran dari anak-anak menggema dari sebuah masjid berwarna putih di pesisir Pantai Lampu’uk, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, Aceh.
Para pelajar berpakaian warna-warni itu duduk berbaris untuk menyetor hafalannya kepada sejumlah guru perempuan di depannya.
Sebagian mereka menjulurkan badannya di lantai untuk menyalin abjad bahasa arab ke buku tulis.
Begitulah keseharian aktivitas Masjid Rahmatullah di desa Lampu’uk pada sore hari usai salat Ashar.
Siapa sangka di tempat inilah pada 15 tahun lalu gelombang tsunami setinggi 30 meter menghantam masjid dan wilayah sekitarnya.
Berdasarkan data pemerintah Aceh, dari 6.000 jiwa yang tinggal di wilayah tersebut, hanya sekitar 700 orang yang selamat.
Ajaibnya meski seluruh bangunan dan pohon rata dengan tanah, masjid yang berdiri pada 1997 ini masih kokoh berdiri.
“Seperti namanya, Rahmat Allah,” ujar Sulaiman Muhammad Amin, 68, Imam Masjid Rahmatullah kepada Anadolu Agency di lokasi.
Amin belum bisa melepaskan ingatannya dalam peristiwa pada 26 Desember 2004 itu.
Saat itu gempa berkekuatan 9,3 magnitudo mengagetkan para warga yang tengah hajatan tak jauh dari masjid.
Menurut Amin, gempa tersebut diikuti ledakan yang suaranya menggelegar seperti bom. Dentumannya sangat besar.
“Saya kira itu bom dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” kata Amin kepada Anadolu Agency di lokasi.
Pria yang juga menjadi ustaz ini mengatakan ombak tsunami datang tiga kali dalam jeda waktu yang singkat.
Ombak tsunami setinggi 30 meter, terang Amin, melumat seluruh rumah, pohon, dan bangunan yang ada.
“Gelombangnya tinggi sekali sampai melewati kubah masjid,” terang Amin yang sebelum tsunami bekerja sebagai pengurus pesantren.
Amin sendiri tersapu air tsunami sejauh tiga kilometer.
Dalam sapuan tsunami, tubuh Amin harus muncul tenggelam akibat terbawa bongkahan kayu dan material bangunan.
“Saya sudah pasrah jika mati,” ucap Amin.
Beruntung, Amin berhasil selamat setelah berpegangan dengan karung sagu.
Usai terdampar, pria yang senantiasa berkopiah hitam ini langsung mendapatkan pertolongan warga.
Genap empat bulan setelah peristiwa tsunami, Amin mencoba mendatangi kembali Masjid Rahmatullah, tempat dia sehari-hari menjadi imam.
Amin merasa takjub melihat bangunan utama masjid tidak runtuh, hanya beberapa kerusakan pada tiang dalam.
Padahal lokasi masjid seluas 1.600 meter persegi itu hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai.
Amin bersama warga lantas mendirikan salat Magrib berjamaah dengan latar bangunan sekeliling masjid yang telah lenyap.
“Saya senang bisa kembali salat di dalam masjid walau sejumlah tiang sudah runtuh,” ungkap Amin.
Bantuan Turki
Kini, 15 tahun usai peristiwa itu, masjid yang dapat menampung 4.000 jemaah ini masih berdiri kokoh.
Amin mengatakan hal ini tak lepas dari bantuan pemerintah Turki melalui Bulan Sabit Merah Turki yang merenovasi masjid pada 2006.
Tiang masjid yang hancur akibat tsunami dibangun kembali.
Masjid juga dipercantik dengan dua menara berwarna putih yang berdiri gagah di sisi kiri dan kanan masjid.
Dua logo bulan sabit khas Turki terpampang jelas di bangunan depan masjid.
Tidak hanya itu, pemerintah Turki juga membangun 700 rumah di sekeliling masjid bagi para korban. Semuanya gratis tanpa biaya sepeserpun.
Tak heran desa di Kecamatan Lhoknga ini dijuluki sebagai “Kampung Turki”.
“Allah membisikkan Turki untuk membantu kami. Jika tak ada bantuan ini, kami tak punya rumah,” ucap Amin.
Amin mengatakan sebenarnya banyak negara yang waktu itu ingin membangun kembali masjid ini.
Namun pilihan jatuh kepada Turki karena negara tersebut membawa konsep bangunan yang sesuai keinginan pengurus masjid.
“Gambar rancangan [masjid] dari Turki ini indah, kami merasa cocok,” ungkap Amin.
Pada 26 Desember 2006, Wakil Perdana Menteri Turki Mehmet Ali Sahin bertandang ke Lampu’uk untuk meresmikan berbagai fasilitas yang dibangun Bulan Sabit Merah Turki dalam acara di halaman Masjid Rahmatullah.
Tempat eduwisata
Kini Masjid Rahmatullah tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tapi juga lokasi wisata.
Untuk menunjukkan dahsyatnya tsunami, pengurus masjid mempertahankan bentuk asli sisi bagian kiri belakang masjid yang rusak.
Dua tiang besar yang tumbang akibat tsunami juga dibiarkan tergeletak.
Pengurus masjid juga melestarikan dinding roboh, jendela terlepas, serta karpet dan sajadah yang terhempas tsunami.
Sisa bongkahan batu karang dan batu-batu koral yang berserakan di atas pasir juga ikut dipajang.
Di bawah tiang yang rusak, sebuah papan bertulis “JANGAN LUPAKAN TSUNAMI” berdiri tegak.
“Kami ingin memberikan edukasi dan hikmah atas peristiwa tsunami,” ucap Amin.
Pengurus juga telah mendirikan galeri khusus yang menunjukkan kondisi masjid dan wilayah sekitarnya usai dihantam tsunami.
Beragam foto dan kliping koran dipajang untuk mengembalikan ingatan wisatawan mengenai dahsyatnya tsunami.
Nashrullah, penjaga galeri, mengatakan setiap hari sekitar 200 orang mengunjungi masjid dan galeri tsunami.
Mereka datang tidak hanya dari Indonesia tapi juga mancanegara seperti Malaysia, Australia, Turki, negara-negara Timur Tengah dan Afrika.
Menurut Nashrullah, para wisatawan biasanya datang untuk melihat masjid dan mencari tahu mengenai sejarah tsunami yang menghempas Aceh.
Para wisatawan lalu mendapatkan penjelasan mengenai kejadian tsunami pada 2004 lalu.
Di situ, mereka mendapatkan pelajaran perihal gelombang tsunami yang telah meluluhlantakkan Aceh.
Berdasarkan data International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), lebih dari 220 ribu orang tewas di 14 negara, termasuk Thailand, India, Sri Lanka, Kenya, Yaman, dan Bangladesh.
Aceh sendiri menjadi yang terparah, dengan jumlah korban mencapai 170 ribu.
“Setelah tsunami, masjid ini ramai pengunjung,” kata Nashrullah.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.