Nasional

LSM: Hentikan pendekatan represif tangani kasus kebebasan beragama

Negara menggunakan pendekatan keliru terhadap hal-hal yang dianggap sebagai “radikalisme dan ekstremisme”

Nıcky Aulıa Wıdadıo  | 28.01.2020 - Update : 29.01.2020
LSM: Hentikan pendekatan represif tangani kasus kebebasan beragama Ilustrasi: Umat menjalankan ibadah. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pemerhati meminta pemerintah menghentikan pendekatan keamanan yang represif dalam menangani kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Paritas Institute, GUSDURian, serta sejumlah lembaga lain menilai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terus berlangsung, bahkan meningkat baik dari segi jumlah maupun pola kekerasannya.

Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan pelanggaran terus terjadi karena negara cenderung menggunakan pola represif dan pendekatan yang salah dalam menanganinya.

Ada sejumlah kasus yang mencerminkan tindakan represif itu, salah satunya penetapan tersangka terhadap pegiat kebebasan beragama di Sumatra Barat bernama Sudarto.

Sudarto merupakan orang yang mengabarkan bahwa masyarakat kristiani di Dharmasraya dilarang merayakan Natal secara terbuka oleh masyarakat sekitar. Polisi kemudian menetapkan Sudarto sebagai tersangka kasus ujaran kebencian.

“Bukannya menjamin hak kebebasan beragama kelompok minoritas di daerah tersebut, aparat penegak hukum justru menangkap Sudarto dan penangkapan ini diapresiasi oleh pemerintah setempat,” ujar Asfinawati pada Selasa.

Selain itu, dia menilai negara menggunakan pendekatan keliru terhadap hal-hal yang dianggap sebagai “radikalisme dan ekstremisme”.

Asfinawati mencontohkan kebijakan yang muncul di awal periode kedua Presiden Joko Widodo terkait celana cingkrang dan penggunaan cadar bagi aparatur sipil negara (ASN).

Menurut dia, pelarangan ini bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan.

“Larangan ini memunculkan stigma dan stereotype kepada pihak tertentu yang bisa jadi tidak terpapar radikalisme atau ekstremisme,” ujar dia.

Koordinator GUSDURian, Alissa Wahid mengatakan negara masih cenderung menggunakan cara pandang kelompok mayoritas atau identitas tertentu dalam menangani kasus-kasus kebebasan beragama.

“Ini dipicu perspektif penegakan hukum yang menekankan kerukunan sosial tanpa mengindahkan hak konstitusi,” ujar dia.

Alissa sepakat jika pencegahan gesekan perlu dilakukan, namun meminta negara dan penegak hukum tidak mengabaikan hak-hak kelompok rentan atau minoritas.

Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, lanjut dia, juga diperparah dengan otonomi daerah yang memungkinkan pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah yang diskriminatif.

Dalam catatan Komnas Perempuan pada 2019, masih ada 422 peraturan darah yang bernuansa diskriminatif karena dianggap berbasis pada satu golongan agama atau keyakinan tertentu.

“Padahal agama bukan sektor yang diotonomikan, tapi negara secara umum tidak juga menegakkan perspektif ini sehingga perda diskriminatif menjamur,” ujar Alissa.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.