Nasional

Lima orang ditangkap setelah kibarkan bendera RMS

Penangkapan ini menuai kritik dari Amnesty International Indonesia karena dianggap membelenggu kebebasan menyampaikan pandangan politik

Nicky Aulia Widadio  | 02.07.2019 - Update : 03.07.2019
Lima orang ditangkap setelah kibarkan bendera RMS Ilustrasi: Petugas menangkap orang yang dicurigai terlibat kejahatan. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menangkap lima orang karena memasang bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di rumah mereka.

RMS merupakan organisasi separatis yang berdiri sejak 1950.

Kapolres Pulau Ambon AKBP Sutrisno Hadi Santoso mengatakan kelima tersangka merupakan tokoh dan simpatisan dari RMS.

Salah satu tersangka merupakan pensiunan guru berusia 80 tahun, Izack Siahaya. Mereka ditangkap pada Sabtu, 29 Juni 2019.

Polisi menyita barang bukti berupa bendera RMS serta sehelai kertas yang berisi pergerakan organisasi tersebut.

Polisi kemudian menjerat kelima tersangka menggunakan pasal dugaan makar.

“Hasil pemeriksaan kami, unsur-unsur pada pasal yang dipersangkakan sudah terpenuhi,” kata Sutrisno ketika dihubungi pada Selasa.

Penangkapan kelima simpatisan RMS tersebut menuai kritik dari Amnesty International Indonesia.

Amnesty mendesak polisi membebaskan kelima simpatisan tersebut karena mereka menyampaikan ekspresi politik secara damai.

Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat menilai pemasangan bendera hanya merupakan ekspresi politik dan tidak dapat dipandang sebagai sebuah kejahatan, apalagi dengan delik dugaan makar.

“Terlebih yang terjadi pada para aktivis politik yang melakukan aksinya dengan damai, termasuk mereka yang mendukung kemerdekaan, memiliki hak menyatakan pandangan politik mereka,” kata Papang melalui siaran pers.

Amnesty International juga meminta agar polisi menjamin hak-hak hukum para tersangka, termasuk akses terhadap bantuan hukum.

“Menurut informasi yang berhasil diperoleh Amnesty International Indonesia, kelima tersangka tersebut ditahan di Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease tanpa didampingi pengacara,” tutur Papang.

Berdasarkan catatan Amnesty International, jumlah aktivis politik di Papua dan Maluku yang dijerat menggunakan pasal makar telah menurun.

Setidaknya ada 60 tahanan hati nurani -sebutan untuk orang yang ditahan lantaran mengekspresikan pandangan atau pendapatnya secara damai- yang bebas pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Amnesty International, kata Papang, tidak mengambil posisi apa pun akan status politik dari provinsi apa pun di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan.

Namun mereka meminta agar ada jaminan terhadap kebebasan berekspresi, termasuk untuk mengadvokasi suatu solusi politik.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.