Nasional

Korban kekerasan seksual rentan alami kriminalisasi pasal karet UU ITE

LBH APIK dan ICJR mendesak revisi pasal terkait kesusilaan pada UU ITE bisa memberi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual

Nicky Aulia Widadio  | 20.04.2021 - Update : 21.04.2021
Korban kekerasan seksual rentan alami kriminalisasi pasal karet UU ITE Sejumlah aktivis perempuan menggelar aksi Hari Perempuan Internasional di Kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Indonesia pada Senin, 8 Maret 2021. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Mayoritas korban kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO) rentan mengalami kriminalisasi menggunakan pasal karet pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan ini direvisi demi memberi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Uli Pangaribuan mengatakan penafsiran dari pasal tersebut membuat korban KBGO enggan melaporkan kasusnya kepada polisi.

LBH APIK mencatat hanya ada lima kasus KBGO yang diproses secara hukum dari total 307 pengaduan yang mereka terima sepanjang 2020.

Pada 112 kasus di antaranya, korban diancam bahwa konten privat mereka akan disebarkan oleh pelaku.

Mayoritas korban enggan melapor karena khawatir akan dilaporkan balik sebagai pihak pertama yang mengirimkan konten privat tersebut, kemudian ditafsirkan telah “melanggar kesusilaan”.

“Jadi memang ini membuat korban sedikit khawatir, takut. Tidak hanya dilaporkan balik dengan Undang-Undang ITE, tapi juga Undang-Undang Pornografi,” kata Uli melalui diskusi virtual pada Selasa.

Menurut Uli, situasi ini membuat perempuan menjadi korban kriminalisasi, mengalami eksploitasi seksual dan ekonomi, diancam, diintimidasi, hingga diperas oleh pelaku.

Kriminalisasi menggunakan UU ITE ini pernah menimpa Baiq Nuril, seorang guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat karena merekam percakapan telepon berisi pelecehan verbal kepada dirinya oleh Kepala Sekolah SMAN 7 Martaram berinisial M.

Rekaman percakapan yang beredar membuat Baiq dilaporkan ke polisi, kemudian divonis tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan banding dan kasasi hingga ke Mahkamah Agung, yang pada akhirnya MA memutuskan bahwa Baiq bersalah melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Kasus ini mengundang simpati publik sehingga akhirnya Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.

—Revisi pasal demi perlindungan korban

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina mengatakan kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual terjadi karena definisi pelanggaran kesusilaan pada UU ITE masih tidak jelas dan sering ditafsirkan secara serampangan.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang setiap bentuk perbuatan mendistribusikan maupun mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dan atau denda maksimal Rp1 miliar.

Pada praktiknya, penafsiran dari unsur “mendistribusikan dan atau mentransmisikan” konten kesusilaan tersebut yang berpotensi menjerat korban ketika konten yang dibuat ditujukan untuk ranah privat, namun menyebar ke ranah publik tanpa kehendak korban.

“Ini menimbulkan ketakutan, ketika ada korespondensi konten asusila dengan pasangan legal sekali pun bisa dibayangi ketakutan ketika ada transmisi konten tersebut. Ruang privat kita semua terancam,” kata Maidina.

Dia melanjutkan, definisi pelanggaran kesusilaan seharusnya ditujukan apabila konten tersebut disebarkan tanpa kehendak korban kepada umum.

ICJR juga mengusulkan suatu kegiatan dapat dikategorikan pada ranah privat baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kesusilaan apabila terdapat unsur paksaan dan ancaman terhadap korban.

Selain itu, perlu ada pengecualian bagi konten yang dibuat oleh korban kekerasan seksual sebagai bentuk perlindungan diri seperti yang terjadi pada kasus Baiq Nuril.

Pemerintah sendiri saat ini tengah merumuskan perubahan terhadap UU ITE, mencakup pasal 27 yang dianggap sebagai pasal karet.

Kepala Bidang Materi Hukum Publik Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan Dado Ekroni mengatakan tim perumus telah sepakat bahwa pasal ini perlu direvisi karena tidak dapat melindungi pihak yang semestinya dipandang sebagai korban.

“Kita tidak mau banyak kasus terjadi seperti pada Baiq Nuril,” kata Dado dalam diskusi virtual.

Menurut Dado, tim pengkaji akan mempertimbangkan masukan masyarakat terkait poin-poin yang diperlukan untuk menjamin perlindungan korban kekerasan seksual.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.