Kontras: Jokowi gagal tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat
Kontras berharap setidaknya untuk periode kedua Jokowi tidak lagi menempatkan figur yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi

Jakarta Raya
JAKARTA
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Presiden Joko Widodo gagal menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu.
Kasus yang masih menjadi pekerjaan rumah Jokowi, sapaan akrab presiden, antara lain kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa 1997-1998, Talang Sari Lampung, Tanjung Priok, serta tragedi 1965.
“Pemerintahan Joko Widodo telah gagal mengambil langkah dalam mengungkap kebenaran peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Dimas Bagus Arya di Jakarta, Senin.
Penyelesaian kasus-kasus itu masuk dalam nawacita Jokowi ketika dilantik pada 2014, namun hingga saat ini belum ada proses hukum lebih lanjut.
Padahal, Kontras menilai komitmen Jokowi pada 2014 lalu sempat menjadi semangat baru bagi korban dan keluarga korban terhadap penuntasan kasus-kasus itu.
Pemerintah sempat membentuk Komite Pengungkap Kebenaran pada 2015, Simposium 1965 pada 2016, serta Dewan Kerukunan Nasional.
Upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Menurut Dimas, kebijakan yang diambil pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu cenderung subjektif.
“Kami tidak melihat ruang partisipasi dan kontribusi keluarga korban untuk merumuskan kebijakan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata dia.
Deputi Koordinator Kontras, Feri Kusuma juga menyayangkan komitmen terkait HAM tidak tercermin dalam pidato perdana Jokowi saat dilantik untuk periode kedua pada Minggu.
Kontras berharap setidaknya untuk periode kedua Jokowi tidak lagi menempatkan figur yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi.
Setidaknya ada dua figur yang saat ini disorot oleh Kontras terkait kabinet, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto serta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Keduanya, menurut Feri, memiliki “beban masa lalu” terkait kasus pelanggaran HAM berat.
“Jokowi harus benar-benar perhitungkan ini, tidak menempatkan orang-orang seperti Wiranto dalam kabinetnya, termasuk Prabowo Subianto, dia bertanggungjawab atas kasus penghilangan orang secara paksa,” tutur Feri.
“Ini menjadi indikator penting untuk janji dan komitmen politik yang pernah disampaikan Jokowi,” lanjut dia
Reformasi peradilan militer dan penghapusan hukuman mati
Kontras juga menanti komitmen pemerintah untuk mereformasi peradilan militer dan menghapus hukuman mati.
Kepala Biro Riset Kontras Rivanlee Anandar mengatakan mekanisme peradilan militer di Indonesia masih problematik, khususnya pada praktik fair trial, akuntabilitas dan independensi peradilan.
Visi dan misi Jokowi menghapus impunitas sistem hukum, termasuk merevisi UU Peradilan Militer, kini bernasib tidak jelas.
“Buruknya sistem peradilan militer jelas berdampak pada hilangnya pencapaian keadilan bagi korban,” ujar Rivanlee.
Kontras mencatat ada 82 kasus kekerasan oleh aparat militer yang diadili di peradilan militer sepanjang 2014-2019.
Padahal, jumlah kasus kekerasan oleh TNI yang dimonitor oleh Kontras mencapai 112 kasus.
“Kami kesulitan dapat keterangan lebih lanjut apakah pelaku divonis setimpal karena terbatasnya akses informasi,” tutur dia.
Selain itu, penghapusan hukuman mati juga dinilai penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penghormatan HAM dan hak hidup manusia.
Peneliti Kontras, Danu Pratama menilai implementasi hukuman mati di Indonesia masih sangat bermasalah termasuk pada eksekusi hukuman mati jilid 1 hingga 3 di era Jokowi.
Seorang warga negara Brazil, Rodrigo Gularte divonis mati karena menyelundupkan kokain ke Jakarta.
Gularte sempat dinyatakan depresi dan mengalami gangguan kejiwaan bipolar, namun tetap dieksekusi pada 29 April 2015.
Ada juga temuan maladministrasi dalam eksekusi mati warga negara Nigeria, Humphrey Jefferson pada 29 Juli 2016. Eksekusi dilakukan saat Jefferson tengah mengajukan permohonan grasi.
“Harusnya tidak ada ruang bagi kesalahan administrasi seperti itu, karena berurusan dengan nyawa orang,” kata Danu.
Ada 274 terpidana mati di Indonesia yang saat ini belum dieksekusi. Kontras juga mencatat ada 216 vonis mati pada 2014-2019.
“Kami paham bahwa hukuman mati bukan masalah yang dapat diselesaikan secara sekejap,” ujar Danu.
“Seminimal-minimalnya kami harap pemerintah mengarah ke kebijakan yg menghapus hukuman mati tapi itu tidak terlihat pada periode pertama Jokowi,” lanjut dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.