Nasional

Kondisi Lapas Tangerang yang melebihi kapasitas berdampak pada mitigasi kebakaran

“Kepadatan penghuni tentunya mempersulit pengawasan, perawatan Lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran,” kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati

Nicky Aulia Widadio  | 08.09.2021 - Update : 08.09.2021
Kondisi Lapas Tangerang yang melebihi kapasitas berdampak pada mitigasi kebakaran Suasana di lokasi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang yang menewaskan 41 narapidana dan melukai puluhan lainnya di Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia pada 8 September 2021. ( Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan kondisi Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang yang melebihi kapasitas telah berdampak pada upaya mitigasi dan penanganan dalam kondisi darurat termasuk kebakaran.

Hal ini menanggapi kebakaran di Blok C2 di Lapas tersebut pada Rabu sekitar pukul 01.45 WIB dan menyebabkan 41 orang tewas.

“Kepadatan penghuni tentunya mempersulit pengawasan, perawatan Lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran,” kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati melalui siaran pers, Rabu.

Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa Lapas Kelas 1 Tangerang dihuni oleh 2.072 narapidana, padahal kapasitasnya hanya untuk 600 orang. Ini berarti terdapat kelebihan kapasitas sebesar 245 persen.

Sementara Blok C2, tempat terjadinya kebakaran, dihuni oleh 122 narapidana meski kapasitasnya hanya untuk 40 orang. Mayoritas penghuni dari blok ini adalah terpidana kasus narkoba.

Meidina mengatakan kondisi yang melebihi kapasitas ini tidak hanya terjadi di Lapas Kelas 1 Tangerang, namun juga di seluruh Lapas di Indonesia.

Mayoritas penghuni rumah tahanan dan Lapas di Indonesia berasal dari tindak pidana narkoba. ICJR mengatakan terdapat 28.241 narapidana di Indonesia yang merupakan pengguna narkotika.

Menurut dia, para pengguna narkotika semestinya tidak perlu dijebloskan ke penjara sejak awal dan bisa menjalani rehabilitasi atau pidana bersyarat dengan masa percobaan.

ICJR juga menyoroti banyak pengguna narkotika dijerat pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar sehingga kontribusi narapidana kasus narkoba di Lapas semakin bertambah.

Meidina mengatakan peristiwa yang terjadi di Lapas Kelas 1 Tangerang harus menjadi refleksi agar ada perbaikan dalam sistem peradilan pidana demi dan persoalan Lapas yang melebihi kapasitas ini.

ICJR mendesak pemerintah mereformasi kebijakan penanganan tindak pidana narkotika, sehingga pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi bisa ditangani dengan pendekatan kesehatan alih-alih menggunakan pidana penjara.

“Polisi, Jaksa, dan Hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas, bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan non pemenjaraan, termasuk untuk kasus pengguna narkotika yan angkanya begitu banyak,” kata Meidina.

—Menkumham sebut Lapas overcapacity’ sebagai persoalan klasik

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga telah mengakui bahwa Lapas Kelas 1 Tangerang mengalami kelebihan kapasitas dan menyebutnya sebagai “permasalahan klasik” pada sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Lebih dari 50 persen kapasitas Lapas di Indonesia merupakan kontribusi dari tindak pidana narkotika. Pengguna narkotika yang sebetulnya bisa menjalani rehabilitasi, pada praktiknya justru dipidana penjara.

“Saya sudah lama mengajukan revisi Undang-Undang Narkotika, ada persoalan di Undang-Undang. Kita berharap pemakai bisa direhab karena kalau semua dimasukkan ke Lapas tidak muat,” kata Yasonna melalui konferensi pers di Tangerang, Rabu.

Menurut Yasonna, pertumbuhan jumlah warga binaan tidak sebanding dengan perkembangan pembangunan Lapas di Indonesia sepanjang penindakan terhadap pengguna narkotika tidak berubah.

Kementerian Hukum dan HAM juga telah berkali-kali melakukan redistribusi warga binaan dari Lapas yang padat ke yang lebih longgar, namun masih belum cukup mengurangi beban Lapas.

“Jadi ini harus dari hulunya diperbaiki,” ujar dia.

—Lapas dalam kondisi tua

Selain kelebihan kapasitas, bangunan dari banyak Lapas di Indonesia sudah dalam kondisi tua.

Yasonna mengatakan Lapas Kelas 1 Tangerang yang terbakar dibangun pada tahun 1972 dan tidak pernah ada perbaikan pada instalasi listriknya.

“Sejak itu (dibangun) kita tidak memperbaiki instalasi listriknya. Ada penambahan daya tapi instalasi listriknya masih sama,” kata Yasonna.

Polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran, namun dugaan sementara peristiwa ini terjadi akibat hubungan pendek arus listrik.

Berdasarkan kronologi yang disampaikan Kementerian Hukum dan HAM, kamar-kamar tahanan di Blok C2 Tangerang dalam kondisi dikunci ketika kebakaran terjadi.

Yasonna menuturkan kamar-kamar tahanan tersebut dikunci sesuai dengan protokol di Lapas.

“Karena api cepat membesar, beberapa kamar tidak sempat dibuka karena api sudah begitu cepat. Jadi kita tidak sempat menyelamatkan semua kamar,” papar dia.

Menurut Yasonna, petugas sempat memadamkan api menggunakan alat pemadam api ringan (APAR) namun upaya tersebut tidak cukup karena api yang kian membesar.

Petugas juga memanggil pemadam kebakaran yang tiba dalam kurun 13 menit, kemudian api padam dalam kurun 1,5 jam. Petugas kemudian menemukan bahwa 40 orang tewas di tempat, sedangkan satu korban lainnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Yasonna berjanji akan merumuskan strategi pencegahan agar musibah ini tidak terjadi lagi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.