Komnas HAM tetapkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat
Peristiwa tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan adanya pembunuhan dan penganiayaan yang sistematis atau meluas dan ditujukan kepada penduduk sipil

Jakarta Raya
JAKARTA
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwa Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat.
Keputusan itu dibuat berdasarkan sidang paripurna khusus Komnas HAM pada awal Februari lalu.
Peristiwa Paniai menyebabkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk, selain itu 21 orang terluka akibat penganiayaan.
Ketua Tim Ad Hoc sekaligus Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan peristiwa tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan adanya pembunuhan dan penganiayaan yang sistematis atau meluas dan ditujukan kepada penduduk sipil.
“Peristiwa tersebut memenuhi prasyarat utama dalam kerangka kejahatan kemanusiaan,” kata Anam melalui siaran pers, Senin.
Mereka telah menyelidiki kasus ini dengan memeriksa 26 saksi, meninjau dan memeriksa tempat kejadian perkara di Enarotali Kabupaten Paniai, meneliti dokumen, serta diskusi dengan ahli terkait informasi penunjang pengungkapan peristiwa tersebut.
Menurut Anam, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa anggota TNI yang saat itu bertugas dalam struktur Kodam XVIV Cenderawasih hingga komando lapangan Enarotali diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM tersebut.
Selain itu, tim penyelidik juga menemukan pelanggaran oleh anggota Polri meski bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.
Anam mengatakan tim juga menemukan indikasi obstruction of justice dalam penanganan pasca-peristiwa yang memperlambat penegakan hukum.
Komnas HAM telah mengirimkan berkas penyelidikan peristiwa Paniai kepada Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020.
“Komnas HAM berharap kasus ini dapat segera berproses ke pengadilan,” tutur dia.
Human Rights Working Group (HRWG) meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti penetapan status pelanggaran HAM berat terhadap peristiwa Paniai.
Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz mengatakan penetapan ini bisa menjadi titik awal dari penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang mangkrak.
Dia mendesak Presiden Joko Widodo agar menyatakan sikap dan komitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
“Pada akhirnya, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM bukan hanya kebutuhan korban, tetapi juga kebutuhan negara agar kasus serupa tak akan lagi memakan korban lainnya,” ujar Hafiz.
Kejaksaan Agung masih belum menuntaskan 12 kasus pelanggaran HAM berat dari total 15 kasus yang ditangani.
Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut yakni peristiwa 1965, penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong pada 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi pada 1998.
Sedangkan empat kasus yang terjadi setelah UU Pengadilan HAM terbit yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Tiga peristiwa yang diklaim telah tuntas oleh Kejaksaan Agung yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura pada 2000.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.