Komnas HAM: Ada dugaan pelanggaran HAM dalam aksi September 2019
Dugaan pelanggaran itu ada pada kasus tewasnya lima orang akibat luka tembak dan luka benda tumpul pada kepala

Jakarta Raya
JAKARTA
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan dugaan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan dalam pengamanan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang KPK dan RKUHP pada 24-30 September 2019.
Aksi unjuk rasa yang berujung rusuh itu telah menyebabkan lima orang tewas di Jakarta dan Kendari yang pelakunya masih belum terungkap hingga saat ini.
Merujuk pada data Polri, ada 1.489 orang yang “diamankan” polisi dengan rincian 1.109 orang dibebaskan, 380 orang menjadi tersangka, 218 orang penahanannya ditangguhkan, serta 70 orang ditahan per 15 Oktober 2019.
Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah mengatakan dugaan pelanggaran itu ada pada kasus tewasnya lima orang tersebut akibat luka tembak dan luka benda tumpul pada kepala.
Dia mendesak polisi segera mengungkap pelaku pembunuhan mereka melalui proses yang transparan.
“Polisi harus harus cari pelakunya. Transparansi dari penanganan kasus itu juga penting sekali dan diminta oleh keluarga korban Kendari yang beberapa waktu lalu datang ke Komnas HAM,” kata Hairansyah dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Selain itu, Komnas HAM menduga ada hak-hak peserta unjuk rasa yang terlanggar, seperti hak untuk mendapat penanganan medis, hak untuk mendapat pendampingan hukum dan terbatasnya akses terhadap terduga pelaku.
“Ada temuan bahwa korban dalam kondisi luka. Seharusnya polisi beri perawatan sebelum diperiksa, tapi temuan kita mereka tidak melakukan prosedur itu,” ujar Hairansyah.
"Terkait akses keluarga dan pengacara tidak diberikan. Dari kondisi itu berpeluang terjadinya tindak kekerasan karena tidak ada pendampingan selama proses pemeriksaan," lanjut dia.
Komnas HAM juga menemukan adanya intimidasi dan kekerasan terhadap anak-anak yang “diamankan” oleh polisi.
Dalam hal ini, polisi diduga telah melanggar prosedur tetap dalam penanganan aksi unjuk rasa ini.
Komnas HAM mendesak Polri menegakkan hukum bagi anggotanya yang terbukti melanggar HAM melalui mekanisme pidana, bukan sebatas pelanggaran etik.
Mereka juga memandang perlu ada evaluasi terhadap instrumen penanganan aksi massa agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Menurut Hairansyah, juga perlu ada jaminan akses peliputan pada peristiwa seperti ini dan perlindungan terhadap jurnalis.
Pasalnya, Komnas HAM menemukan ada 15 jurnalis yang menjadi korban pada saat pengamanan aksi September 2019.
Sementara itu, Irjen Gatot Eddy Pramono yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya mengatakan pernah mengatakan tindakan tegas yang dilakukan oleh polisi saat itu merupakan respons atas tindakan pengunjuk rasa tidak mau mundur dan merusak fasilitas publik.
“Atas nama undang-undang tentunya polisi melakukan tindakan tegas menembakkan gas air mata kepada pengunjuk rasa supaya adik-adik mahasiswa ini mundur," tutur Gatot pada Rabu, 25 September 2019.
Terkait korban yang tewas, mantan Wakapolri Komjen Ari Dono Sukmanto pernah berjanji untuk segera mengungkap kasus tersebut namun hingga saat ini pelaku pembunuhan lima orang pengunjuk rasa masih belum jelas.