KNKT temukan sembilan faktor penyebab kecelakaan Lion Air PK-LQP
Investigator KNKT, Nurcahyo Utomo mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan kecelakaan adalah kesalahan asumsi terkait desain fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS)
Jakarta Raya
JAKARTA
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP rute Jakarta ke Pangkal Pinang pada 29 Oktober 2018.
Pesawat Boeing 737 Max 8 itu hilang dari radar di perairan Tanjung Karawang setelah pilot melaporkan ada gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian dan indikator kecepatan.
Investigator KNKT, Nurcahyo Utomo mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan kecelakaan adalah kesalahan asumsi terkait desain fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).
MCAS merupakan fitur baru dalam desain pesawat Boeing 737 Max 8 yang berfungsi mengontrol bagian hidung pesawat.
Selain itu, pilot gagal mengatasi situasi lantaran tidak mengetahui perihal MCAS yang tidak tercantum dalam buku panduan serta pelatihan pilot.
Saat proses desain, Boeing membuat sejumlah asumsi terkait kerusakan yang dapat memicu aktifnya MCAS. Namun menurut Nurcahyo, kajian terkait efek yang terjadi di cockpit kurang lengkap.
Desain MCAS bergantung pada sensor tunggal, dan berdasarkan asumsi-asumsi tadi, Boeing menilai hal ini tepat dan memenuhi persyaratan sertifikasi.
“Kami justru melihat sistem ini rentan gangguan, sensor bisa saja rusak dan mengalami gangguan lain,” kata Nurcahyo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Boeing juga tidak menyertakan informasi terkait MCAS di dalam pelatihan dan buku panduan untuk pilot.
“Hal ini menyulitkan saat MCAS aktif, pilot tidak mengenali gejala ini akibat sistem apa karena mereka tidak mengenali sistem MCAS ini,” ujar dia.
MCAS pada penerbangan PK-LPQ aktif karena ada kesalahan kalibrasi pada Angle of Attack (AOA) sensor kiri sebesar 21 derajat.
AOA merupakan parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat. Jika sudut ini terlalu tinggi maka pesawat bisa kehilangan daya angkat.
Namun, Boeing 737 Max 8 tidak memiliki lampu peringatan AOA Disagree sehingga perbedaan sudut penerbangan di sisi kanan dan kiri tidak teridentifikasi.
Dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, aktifasi MCAS terjadi berulang kali dan tidak dikelola dengan efektif karena situasi yang sulit.
Berdasarkan penelitian terhadap flight data record (FDR), KNKT menemukan padatnya komunikasi dengan air traffic controller, serta komunikasi antara pilot dan copilot kurang baik.
Masalah sama pada penerbangan Denpasar-Jakarta
Situasi yang terjadi dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang juga terjadi pada penerbangan Denpasar-Jakarta pada malam sebelum kecelakaan terjadi. Beruntungnya, pada malam itu pilot berhasil mengatasi situasi.
Indikator kecepatan dan ketinggian pesawat PK-LPQ pertama kali rusak pada penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia pada 26 Oktober 2019.
Ketika di Denpasar, Bali, teknisi mengganti sensor kiri AOA. Sensor kiri AOA ini ternyata tetap mengalami deviasi 21 derajat pada penerbangan ke Jakarta.
Dalam penerbangan Denpasar-Jakarta, kondisi itu mengaktifkan stick shaker dan terjadi kondisi yang mereka anggap sebagai “runaway stabilizer”. Pilot berhasil mengatasi situasi tersebut setelah mengaktifkan stab trim.
Namun pilot berhasil mengatasinya dengan memindahkan tombol STAB TRIM ke posisi CUT OUT.
Menurut Nurcahyo, ada respons berbeda dari pilot penerbangan Denpasar-Jakarta dengan pilot Jakarta-Pangkal Pinang ketika menghadapi situasi yang sama.
“Awak penerbangan sempat berdiskusi dengan engineer sebelum berangkat dari Denpasar, bahwa pesawat sebelumnya mengalami gangguan di AOA sebelah kiri,” kata dia.
“Setelah terbang, alami gangguan, pilot bereaksi, pasti sebelah kiri yang salah sehingga dengan beberapa upaya MCAS berhasil dimatikan,” lanjut Nurcahyo.
Pilot tidak melaporkan seluruh informasi tersebut begitu pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, sehingga teknisi tidak mengambil tindakan perbaikan yang tepat.
Dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, situasi yang sama terjadi namun pilot gagal mengatasinya.
Menurut Nurcahyo, faktor terakhir yang menyebabkan pesawat jatuh adalah padatnya komunikasi dengan Air Traffic Controller (ATC), serta komunikasi antara pilot dan copilot kurang baik.
Begitu tiba di Jakarta, pilot tidak melaporkan aktifnya stick shaker dan terjadinya kondisi yang mereka anggap sebagai runaway stabilizer, sehingga teknisi tidak melakukan langkah perbaikan yang diperlukan.
Sementara pada penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, pilot tidak melihat ada catatan kerusakan tersebut, ditambah situasi sulit dan komunikasi yang tidak efektif.
Pesawat tersebut mengangkut 189 orang. Berdasarkan catatan manifest, 181 merupakan penumpang pesawat yang terdiri atas 124 laki-laki, 54 perempuan, satu anak-anak, dan dua bayi. Sementara itu, tujuh orang lainnya merupakan pilot, kopilot, dan lima awak kabin.
Proses pencarian korban dilakukan sejak 29 Oktober hingga akhirnya dihentikan pada 23 November 2018. Selama 24 hari masa pencarian, hanya 125 jasad korban yang berhasil diidentifikasi.
Sedangkan 64 korban tak teridentifikasi lantaran tidak ditemukan jasadnya atau bagian tubuh saat proses pencarian dan evakuasi berlangsung.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
