Nasional

Kasus kematian akibat Covid-19 bukan sekadar angka, mereka pergi meninggalkan duka

Di balik setiap angka kematian yang tercatat, tidak terhitung berapa orang yang berduka akibat kehilangan keluarga, kerabat, sahabat, maupun kolega untuk selamanya

Nicky Aulia Widadio, Adelline Tri Putri Marcelline  | 09.03.2021 - Update : 14.03.2021
Kasus kematian akibat Covid-19 bukan sekadar angka, mereka pergi meninggalkan duka JAKARTA, INDONESIA - 10 FEBRUARI: Petugas pemakaman mengenakan pakaian pelindung menguburkan peti mati korban virus korona (Covid-19) di Pemakaman Umum Bambu Apus di Jakarta, Indonesia pada 10 Februari 2021. ( Anton Raharjo - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Lebih dari 37 ribu nyawa melayang dalam kurun satu tahun sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 masih melaporkan ratusan kasus kematian baru setiap harinya, hingga berita ini ditulis.

Di balik setiap angka kematian yang tercatat, tidak terhitung berapa orang yang berduka akibat kehilangan keluarga, kerabat, sahabat, maupun kolega untuk selamanya.

Anadolu Agency mewawancarai sejumlah orang yang telah kehilangan keluarganya akibat pandemi Covid-19. Bagi mereka, nyawa yang telah hilang tidak akan pernah bisa digantikan dengan apa pun.

Nunik Herawati, 57 tahun

Bayu Dwityo Wicaksono, 29, tidak pernah menyangka bahwa dia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya, Nunik Herawati.

Nunik dirawat di sebuah rumah sakit di Malang, Jawa Timur, karena demam dan sesak napas, hanya berselang dua hari setelah selesai menjalani operasi jantung.

Terakhir kali Bayu berkomunikasi dengan ibunya adalah melalui panggilan video pada 14 Desember 2020. Tidak banyak yang bisa mereka bicarakan karena ibunya kesulitan berkomunikasi ketika menggunakan alat bantu napas. Panggilan video itu berakhir secara tiba-tiba setelah ponsel sang ibu terjatuh. Setelah itu, keluarga tidak lagi bisa menghubungi ibu dari dua anak tersebut.

Pada 15 Desember 2020 sekitar pukul 4 dini hari, Bayu mendapat kabar bahwa ibunya telah tiada dan tes PCR yang dilakukan beberapa hari sebelumnya menunjukkan hasil positif terinfeksi Covid-19.

Dalam kondisi ini, Bayu dan keluarga tidak bisa mengurus maupun melihat langsung jenazah ibunya. Prosesi pemakaman pun mereka saksikan secara berjarak. Satu-satunya yang sedikit mengobati mereka adalah sebuah foto terakhir sang ibu yang diambil oleh tenaga kesehatan.

“Kondisi ibu dalam ekspresi yang teduh, senyum, dan fotonya dikirimkan ke kami. Itu sangat mengobati,” kata Bayu dalam wawancara dengan Anadolu Agency.

Sebagai keluarga dari pasien positif, mereka sekeluarga kemudian menjalani tes sebagai bagian dari penelusuran kontak yang dilaksanakan Dinas Kesehatan. Hasilnya, ayah dan kakaknya didiagnosis positif terinfeksi.

Bayu menjadi satu-satunya anggota keluarga yang negatif, di tengah duka setelah kehilangan ibu sekaligus harus merawat ayah dan kakaknya yang kemudian kritis akibat infeksi virus SARS-CoV-2 ini.

“Tiga minggu setelah ibu saya tidak ada, baru terasa sedihnya, terasa kehilangan. Sepanjang merawat ayah dan kakak itu sama sekali tidak merasakan apa-apa karena fokus saya hanya membuat mereka sembuh. Mereka harus sembuh,” ujar Bayu.

Ayah dan kakak Bayu akhirnya sembuh dari infeksi Covid-19. Namun, kepergian sang ibu meninggalkan duka mendalam pada mereka sekeluarga. Bagi Bayu, Nunik bukan hanya seorang ibu, namun juga seorang sahabat tempat dia bisa bercerita apa pun.

“Ketika ibu tidak ada, sebagian besar hidup saya rasanya hilang juga. Hilang yang tidak bisa tergantikan, sosoknya tidak tergantikan,” kata dia.

“Di setiap langkah saya, ibu tidak pernah berhenti memberi semangat setiap hari, mengirimkan doa dan mengingatkan saya berbagai hal. Saya beruntung dengan support dari ibu,” tutur Bayu.

Danke Drajad, 65 tahun

Kautsar Umoro Yanshuru kehilangan ayahnya, Danke Drajad, pada 9 Februari 2021 setelah sekitar satu bulan pria berusia 65 tahun itu berjuang melawan Covid-19.

Bagi Kautsar, hal ini terasa begitu memukul karena terjadi dalam kurun waktu relatif singkat. Padahal satu bulan sebelumnya kehidupan mereka masih berjalan seperti biasa.

“Bulan Desember itu ayah masih enggak kenapa-kenapa, cuma memang mobilitas ayah masih tinggi, masih kerja dan meeting,” kata Kautsar Umoro Yanshuru, salah satu anak dari Danke, kepada Anadolu Agency.

Dia masih tidak tahu bagaimana ayahnya bisa tertular Covid-19. Keluhan pertama muncul pada awal Januari 2021 ketika ayahnya merasa tidak enak badan. Tes PCR kemudian menyatakan ayah Kautsar positif terinfeksi.

Ayah Kautsar mulanya menjalani isolasi mandiri karena masih dalam kondisi yang cukup baik. Namun, kondisinya terus memburuk dan kadar saturasi oksigen di tubuh terus menurun.

Keluarga kemudian membawa ayahnya ke Rumah Sakit Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Mereka menunggu hampir 12 jam dalam posisi duduk karena seluruh tempat tidur telah terisi, bahkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sekali pun.

“Di IGD dari pertama kali kita masuk itu pihak rumah sakit sudah menginformasikan kalau IGD penuh, kalau ayah saya tetap mau masuk dan dirawat harus menunggu di kursi karena bed-nya penuh,” ujar Kautsar.

Setelah lima hari dirawat, petugas medis memindahkan Danke ke ruang ICU. Beragam upaya telah dilakukan, seperti memasang alat bantu napas berupa ventilator, mencari donor plasma darah, hingga menggunakan obat IVIG untuk meningkatkan antibodi. Namun menurut dokter yang merawat, kondisi ayahnya tetap terus menurun dan batang otaknya sudah tidak lagi berfungsi baik.

“Detak jantung dan napasnya itu ada cuma karena bantuan obat dan alat bantu napas,” ujar Kautsar.

Keluarga terpaksa mengambil keputusan yang berat. Mereka mengizinkan petugas medis melepaskan alat bantu napas pada sang ayah. Setelah itu, denyut jantung dan napas ayahnya perlahan berhenti. Dokter menyatakan ayah Kautsar telah meninggal pada 9 Februari 2021.

Pada masa kritis, Kautsar sempat memohon untuk bisa masuk ke ruang ICU menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk mendampingi saat terakhir ayahnya, namun tidak diizinkan.

“Ujung-ujungnya cuma bisa pakai video call, handphone-nya diletakkan di dekat telinga oleh petugas medis,” kenang Kautsar.
Begitu sang ayah telah tiada pun, mereka tidak bisa menemui untuk terakhir kalinya. Kautsar dan keluarga hanya melihat wajah terakhir ayahnya melalui sejumlah foto yang dikirimkan oleh tenaga kesehatan.

“Kami enggak bisa menemani ayah sampai saat terakhir, bahkan ketika sudah tidak ada pun kami cuma bisa melihat peti jenazahnya,” tutur Kautsar.

Subarda Midjaya dan Aluh Nur’aini

Bagi Reiza Nurrafi, kakeknya yang berusia 82 tahun adalah seorang pekerja keras. Di usia senja, Mayjend TNI (Purnawirawan) Subarda Midjaya masih aktif mengurusi bisnisnya dan rutin bertemu sejumlah klien.

Pada akhir Desember 2020, kakek dari Reiza ini mulai merasakan gejala demam dan tidak bisa merasakan makanan.

“Setelah dites swab memang kakek positif, lalu dicek juga nenek saya dan ternyata juga positif,” tutur Reiza dalam wawancara dengan Anadolu Agency.

Kakek dan nenek Reiza kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Namun seperti yang dialami oleh banyak pasien Covid-19 pada saat itu, mencari tempat tidur kosong di Jakarta bukan perkara mudah.

“Walaupun ada relasi, ada saudara yang bekerja sebagai dokter di rumah sakit itu, tetap saja kita tidak bisa memaksakan kehendak, jadi benar-benar IGD penuh, hampir 24 jam menunggu untuk bisa masuk ke ruangan,” ujar Reiza.

Kondisi kakeknya kian memburuk setelah lima hari dirawat. Saturasi oksigennya telah menurun hingga di bawah 90 persen, hingga tidak sadarkan diri. lalu menghembuskan napas terakhir pada 6 Januari 2021.

Pada saat yang sama, Reiza menuturkan neneknya justru berada dalam kondisi yang lebih baik. Keluarga menahan diri untuk menginformasikan kabar buruk tersebut demi menjaga kondisi mental dan fisik sang nenek.

Namun beberapa hari berselang, kondisi nenek Reiza juga ikut menurun. Petugas medis memindahkan sang nenek ke ruang ICU, yang sebelumnya juga ditempati oleh kakek Reiza.

Pada 11 Januari 2021, petugas medis menyatakan sang nenek juga meninggal dunia. Dalam kurun waktu lima hari, Reiza telah kehilangan kakek dan neneknya akibat infeksi Covid-19.

“Yang paling membuat shock itu ketiba-tibaannya,” kata Reiza.

“Kita beranggapan bahwa besok baik-baik saja, seperti rutinitas biasa, tapi ternyata ada Covid-19 dan keluarga kita diambil tanpa ada angin, tanpa ada hujan. Tiba-tiba mereka pergi begitu saja,” ujar dia.

Di mata Reiza dan keluarganya, sang kakek akan selalu dikenang sebagai sosok pekerja keras yang suka berbagi pengalaman hidup kepada anak dan cucunya. Sementara sang nenek, bagi mereka, adalah sosok yang sangat perhatian.

“Nenek suka masak makanan yang disukai anak cucunya. Mungkin orang lain akan beranggapan ini adalah kenangan yang biasa, tapi bagi saya hal-hal sederhana itu sekarang menjadi sangat berharga,” tutur Reiza.

“Perang” melawan pandemi belum usai

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan tingginya angka kematian di Indonesia menunjukkan bahwa strategi penanganan pandemi perlu dievaluasi demi menurunkan angka kesakitan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Pemerintah masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan kapasitas tes, penelusuran kontak, dan isolasi kasus positif masih rendah meski pandemi telah berjalan selama satu tahun.

Kasus kematian dan penularan yang sebenarnya terjadi diduga lebih tinggi dari data yang tercatat. Namun di tengah kelemahan data itu saja, Dicky menuturkan Indonesia sudah mencatat angka kematian yang tertinggi dibandingkan negara sekitar, termasuk pada anak dan tenaga kesehatan.

“Angka kematian yang mencapai ratusan per hari menunjukkan bahwa strategi penanganan pandemi yang berlaku perlu dievaluasi,” ujar Dicky.

Belum ada yang bisa menjawab secara pasti kapan pandemi akan berakhir. Namun dengan situasi saat ini, Dicky mengatakan belum ada tanda-tanda pandemi akan terkendali pada tahun ini.

“Perang kita melawan Covid-19 belum selesai, masih memerlukan waktu. Setidaknya untuk Indonesia mungkin perlu dua tahun,” kata dia.

Sementara bagi tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan pandemi, satu tahun terakhir bukan lah masa yang mudah.

Christin Jacobs, seorang dokter umum yang bertugas di Rumah Sakit Umum Angkatan Laut Dr Mintohardjo, Jakarta Pusat, mengatakan pagebluk telah berdampak begitu signifikan pada rutinitas dan cara mereka bekerja.

Sejumlah rumah sakit rujukan sampai menyediakan Instalasi Gawat Darurat (IGD) khusus pasien Covid-19. Ketika lonjakan kasus tertinggi, alur kedatangan dan penanganan pasien bergerak begitu cepat. Sebagian dapat berjuang untuk sembuh, sebagian kehilangan nyawa.

Tenaga medis berhadapan langsung dengan risiko tertular, juga kelelahan fisik dan mental. Setiap kali berjaga di IGD Covid-19, Christin harus menggunakan APD hingga selama 12 jam tanpa jeda, tanpa makan dan minum.

Ironisnya di tengah pandemi yang terasa begitu nyata bagi para tenaga medis, Christin masih kerap menemui orang-orang yang tidak mempercayai Covid-19 bahkan dari keluarga pasien sendiri.

“Ada orang-orang yang berpikir bahwa rumah sakit meng-Covid-kan seseorang. Itu bagi kami lebih menyakitkan. Kami sampai malam bertugas tidak tidur, bahkan sampai paginya, terus menghadapi orang yang tidak percaya Covid-19,” tutur dia kepada Anadolu Agency.

“Saya bilang Covid-19 itu benar-benar ada. Buat apa sih kita meng-Covid-kan orang? Toh uangnya enggak masuk ke kita,” kata Christin.

Dia pernah berhadapan dengan keluarga yang memaksa agar pasien dibawa pulang, padahal hasil diagnosis menunjukkan yang bersangkutan terinfeksi Covid-19 dengan gejala yang cukup berat. Ada pula yang menolak keluarganya dimasukkan ke ruang isolasi khusus Covid-19.

Mau tidak mau, para tenaga medis berupaya memberi pemahaman agar pasien mendapatkan penanganan sesuai protokol Covid-19.

Christin menuturkan hal-hal seperti ini justru membuat mereka lebih lelah secara psikis. Belum lagi selama satu tahun ini, dia sering mendengar tangisan orang-orang yang kehilangan keluarganya akibat infeksi SARS-CoV-2.

“Ada tangis keluarga yang bilang ‘ya ampun dok, ternyata Covid-19 itu ada ya’, juga ‘ya ampun dok Covid-19 ini jahat sekal’. Tangisan-tangisan itu sering saya dengar,” cerita Christin dalam wawancara dengan Anadolu Agency.

“Kami sebagai dokter, bukan Tuhan, hanya bisa berusaha berempati bahwa kami turut berduka dan minta maaf karena prosesi pemakamannya harus dijalankan dengan protokol Covid-19,” lanjut dia.

Sebagai tenaga medis, Christin meminta pemerintah berupaya lebih maksimal untuk mengedukasi publik. Pemahaman yang tepat, menurut dia, dapat meringankan beban tenaga medis dalam menangani pasien.

“Masa sih harus kejadian dulu sama kita baru percaya? Jangan, jangan kejadian dulu baru percaya. Kasihan,” ungkap dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.