Kapolri terbitkan pedoman penanganan kasus UU ITE untuk hindari kriminalisasi
Menurut Listyo, penerapan UU ITE semakin kontradiktif dengan kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital

Jakarta Raya
JAKARTA
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menerbitkan sejumlah pedoman penanganan kasus terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pedoman yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini bertujuan untuk menghindari kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan.
Pasalnya menurut Listyo, penerapan UU ITE semakin kontradiktif dengan kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital.
“Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk menentukan langkah yang akan diambil,” kata Listyo melalui keterangan tertulis, Senin malam.
Sejak laporan diterima, penyidik juga harus berkomunikasi dengan korban sendiri, tanpa diwakilkan oleh pihak lain, serta memberi ruang untuk mediasi.
Hukum pidana akan menjadi upaya terakhir dan Polri akan memprioritaskan penyelesaian perkara melalui restorative justice.
“Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya sadar dan minta maaf, maka tersangka tidak ditahan dan sebelum berkas perkara diajukan ke Jaksa Penuntut Umum akan diberi ruang mediasi kembali,” jelas Listyo.
Namun, Listyo mengatakan langkah damai bukan prioritas apabila perkara yang ditangani berpotensi memecah belah, bermuatan SARA, radikalisme, dan separatisme.
Polri juga akan melakukan langkah pencegahan dengan mengerahkan polisi virtual untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan sebelumnya telah membentuk tim untuk mengkaji dan meninjau pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE.
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, hasil kajian tim ini akan menjadi dasar pertimbangan pemerintah apakah akan mengajukan revisi atau tidak.
Sebelumnya, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat angka penghukuman terhadap kasus-kasus dengan jerat pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara.
Selain itu, tingkat pemenjaraan dalam penanganan kasus ini juga mencapai 88 persen atau 676 perkara.
Laporan SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir.
Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.