Budaya, Nasional

Ishak Bahar dipenjara 13 tahun tanpa tahu kesalahannya

Menyambut hari anti penyiksaan sedunia, Ishak Bahar menuturkan kekerasan yang dia alami di era pergantian pemerintahan Soekarno ke Soeharto

El Dharmawan  | 28.06.2021 - Update : 30.06.2021
Ishak Bahar dipenjara 13 tahun tanpa tahu kesalahannya Ilustrasi (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA, Indonesia 

Ishak Bahar yang kini berusia 86 tahun masih tetap lancar berbicara dan bercerita mengenai masa lalunya yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam peristiwa 30 September 1965.

Ditemui reporter Anadolu Agency di rumahnya di Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah pada Kamis siang, Ishak masih dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana dia dipenjara pasca peristiwa politik yang melahirkan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin presiden Soeharto selama 32 tahun.

Ishak adalah seorang militer berpangkat Sersan Satu (Sertu) ketika terjadi peristiwa penculikan para jenderal pada 1965. Dia diminta mengantarkan Letkol Untung, salah satu pelaku peristiwa itu, ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pada waktu dia berada di dalam mobil, Ishak mengatakan tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi di Lubang Buaya. Hanya saja, dia curiga banyak Pasukan Cakrabirawa di lokasi itu.

Pasukan Cakrabirawa adalah pasukan pengawal Presiden Soekarno dan Sertu Ishak menjadi salah satu personelnya.

Di Lubang Buaya, Ishak diminta untuk mengeksekusi seorang polisi bernama Sukidman. Namun polisi tersebut dia minta bersembunyi di kolong mobil hingga dia lolos.

Sedangkan Ishak dijemput oleh Kapten Sulistiyo dan kembali ke Markas Cakrabirawa. Namun sesampainya di Markas Cakrabirawa Ishak terkejut karena dia bersama rekan-rekannya sesama prajurit Cakrabirawa langsung dibawa ke Cipinang, salah satu penjara di Jakarta.

“Saya sama sekali tidak tahu menahu, mengapa dia dibawa ke Cipinang. Bahkan, saya masuk ke dalam penjara,” ujar pria yang rambutnya telah memutih dan dipotong pendek.

Di Cipinang suah banyak pasukan Cakrabirawa yang ditangkap. Selain itu, juga ada pasukan dari daerah lain, salah satunya dari Cirebon.

Ishak masih ingat, ruangan penjara waktu itu ukurannya sekitar 5 x 10 meter. Di dalam ruangan tersebut diisi oleh 25 orang.

Di Cipinang, Ishak merasakan bagaimana aparat yang memeriksanya melakukan penyiksaan.

“Saya di Cipinang selama 15 hari. Pada saat itu juga, saya sering menjalani pemeriksaan. Namanya orang dituduh, ya semaunya dia yang menuduh,” kata Ishak.

”Pada saat diperiksa ya dipukul, digebuk, dengan kursi, dengan apa saja. Biasa itu. Soalnya, saya memang tidak tahu menahu. Saya tidak tahu partai, saya tidak tahu partai. Partai itu apa.”

Dia mengatakan tuduhan yang dialamatkan kepadanya selalu sama: dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). "Itu-itu saja tuduhannya. Saya tidak tahu apa-apa. Saya militer, tidak tahu partai.”

Selama 15 hari di Cipinang, dia berulang kali diperiksa. Sedangkan Letkol Untung dan orang-orang yang berpotensi disidang.

Sementara dirinya sama sekali tidak disidang. Hanya diperiksa. Dia tidak tahu juga mengapa setelah 15 hari di Cipinang, kemudian dipindahkan ke penjara Salemba.

Setelah pindah ke Salemba, penyiksaan atau kekerasan fisik sudah sangat jarang. Hanya sesekali kalau diperiksa, biasanya ada pemukulan.

“Pemukulan dilakukan dengan menggunakan kenut (tongkat),”ujarnya.

Namun demikian, perlakuan tidak manusiawi sangat dirasakan. Sebab kapasitas penjara Salemba yang hanya layak diisi 600 tahanan, ketika itu diisi sebanyak 3.000 orang.

“Kalau tidur susah. Karena empat orang, maka perlu diatur,” kata Ishak.

Yang jadi persoalan besar bagi tahanan seperti Ishak adalah makan karena benar-benar sangat terbatas.

“Makan, kadang hanya jagung. Caranya memberikan juga dengan disebar. Sehingga harus memunguti jagung agar dapat makan. Minum juga seadanya, air putih. Makan sehari hanya dua kali saja,” ungkap dia.

Masalah makanan seadanya itulah yang membuat beberapa tahanan meninggal dunia. Bahkan, Ishak mengatakan berat badannya turun drastis.

“Selama dalam penjara, berat badan tidak turun tetapi hilang. Dari sebelumnya 60 kilogram (kg), hanya menjadi 37 kg. Ibaratnya, yang jalan hanya tinggal tulang belulang saja,” katanya.

Kondisi itu berlangsung selama tujuh tahun, mulai tahun 1965 hingga 1972.

Pada tahun 1972, lembaga PBB memeriksa penjara Salemba. “Setelah lembaga dari PBB turun tangan, ada perubahan menu makannya. Mulai tahun 1972, ada bantuan nasi. Sehingga ada perbaikan menu dalam penjara,” jelasnya.

Di penjara Salemba, Ishak sering diminta untuk khutbah Jumat. " Memang sebelum menjadi militer, saya belajar di pondok pesantren," kata dia.

Karena itulah, ketika dalam penjara, Ishak turut mengajari tahanan-tahanan lain mengaji.

Memasuki tahun 1978, ada pengumuman bahwa sebagian besar tahanan tahun 1965 akan dibebaskan pada 28 Juli 1978. Ishak masuk dalam daftar tahanan yang dibebaskan.

Ishak kemudian keluar dari penjara dan pulang ke kampung halamannya. Temannya, Kolonel Hadi Sutrisno, membekali dia uang Rp50 ribu.

“Saya membeli pacul, arit dan peralatan pertanian lainnya dan kembali pulang ke Purbalingga. Saya mulai bertani,” ujar dia.

Setelah bertani, dia kemudian mengembangkan usaha jual beli motor dan mobil, karena dipercaya orang diler motor dan mobil.

“Sekarang, saya sudah tua. Paling hanya ke masjid dan rumah,” kata Ishak.

Ishak adalah salah satu korban kekerasan politik di Indonesia yang pernah dipenjara selama 13 tahun, tanpa pernah tahu kesalahannya.

Bahkan, putusan 13 tahun juga ditetapkan begitu saja, tanpa ada persidangan sekali pun.

Meski masa lalunya kelam, diwarnai penyiksaan, tetapi ia sudah ingin melupakan dan memaafkan.

“Semua yang pernah menyiksa saya, teman saya sudah pada mati semua. Sudahlah saya ingin melupakan dan sudah memaafkan,” ungkap dia.

* El Darmawan berkontribusi dalam laporan ini

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın