ANALISIS: Penggerak utama demonstrasi di Indonesia
Revisi UU KPK dianggap memperlemah lembaga anti-korupsi dan Rancangan undang-undang pidana yang baru dinilai melanggar privasi warga dan kebebasan berpendapat

Jakarta Raya
JAKARTA
Sudah dua minggu ini mahasiswa Indonesia turun ke jalan menggelar demonstrasi. Selain mahasiswa, tercatat para pelajar sekolah menengah atas ikut dalam barisan demontrasi.
Mereka menolak produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dua peraturan yang mendapat sorotan luas ialah UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Undang-Undang KPK hasil revisi telah disahkan. Meskipun begitu, para mahasiswa tetap menolak dan meminta perbaikan undang-undang dengan cara Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Selain RKUHP, DPR RI menunda empat rancangan undang-undang lainnya. Yakni RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara, RUU Perkoperasian, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
Kelima peraturan ini dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan gelombang aksi demontrasi yang semakin besar jika disahkan.
Dalam UU KPK yang sudah disahkan, ada beberapa perubahan penting. Pertama, soal independensi lembaga anti-rasuah itu. Dalam UU baru, KPK adalah struktur eksekutif di bawah presiden, dengan status pegawai yang diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dari sebelumnya non-ASN.
“Dengan menjadi salah satu struktur eksekutif di bawah presiden, KPK kehilangan independensinya,” ujar Koordinator Divisi Korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz pada Anadolu Agency.
Kedua, munculnya lembaga pengawas KPK yang lebih otoritatif ketimbang para komisioner. Kewenangan dewan pengawas ini masuk hingga teknis penanganan perkara.
“Proses penyidikan perkara oleh KPK menjadi sulit karena butuh izin dewan pengawas yang ada di bawah presiden sehingga rawan intervensi politik,” ujar Donal.
“Dewan pengawas justru lebih memberi ruang untuk intervensi dan menghentikan kasus-kasus tertentu, dengan tidak memberikan izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan,” ujar pengamat hukum tata negara Refly Harun.
Selain itu, ketiga, operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi di Indonesia bisa lebih sulit dilakukan karena rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain.
Refly mengatakan UU KPK ditolak karena berisi aturan-aturan pelemahan-pelemahan lembaga pemberantasan korupsi.
Wewenang penindakan lembaga ini tidak akan efektif karena semua keputusan untuk melakukan penindakan, penyidikan, penuntutan tidak lagi dipegang oleh komisioner karena mereka tidak berstatus penegak hukum.
Padahal, selama ini masyarakat menggantungkan harapan besar pemberantasan korupsi pada KPK, karena menganggap polisi dan kejaksaan sebagai bagian dari masalah.
“KPK memang tidak sempurna, tapi mereka membuktikan kredibilitasnya. Setiap operasi tangkap tangan itu bisa dibuktikan yang terlibat bersalah,” ujar Refly.
“Untuk kasus-kasus yang diproses kan terbukti semua. Hanya satu yang tidak, kasus Syarifuddin Tumenggung. Tapi ini special case,”.
Menurut Donal, presiden bisa mencabut revisi UU KPK dan mengembalikan ke aturan lama. “Presiden bisa mengeluarkan Perppu untuk mencabut revisi undang-undang yang baru disahkan. Atau merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU KPK.”
Kebebasan sipil terancam dalam RKUHP
Sementara masalah pada RKUHP adalah kandungan klausul yang memasuki ranah privat. Negara berusaha mengurusi ranah privat dan mengkriminalisasi apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, ujar Manunggal Wardaya, anggota Dewan Penasihat Serikat Pengajar HAM Indonesia.
“Jika persoalan ayam saja diselesaikan melalui negara, bagaimana kohesivitas sosial bisa terpelihara,” ujar dia.
Bivitri Susanti pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan tidak semua pasal dalam RKUHP bermasalah, paling tidak ada 16 pasal, dari 629 pasal yang ada, dinilai mengancam dan mengganggu kehidupan demokrasi dan melewati batas ranah privat.
Misalnya, kata Bivitri soal hidup bersama di luar nikah. Meski ada sebagian orang yang menganggap hal itu salah, namun implementasinya akan susah.
“Bagaimana dengan orang-orang yang menikah siri? Tidak ada dokumentasi negara. Kalau bicara hukum pidana, salah satu pembuktiannya adalah dokumen negara,” ujar dia.
Masalah lain, RKUHP ini mengancam kebebasan berpendapat karena ada pasal yang mengatur tentang penghinaan presiden.
Aturan penghinaan presiden ini sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena itu seharusnya tidak boleh dimasukkan lagi dalam regulasi.
Soal lain adalah isu aborsi yang diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, tanpa pengecualian. Aturan ini mengancam para korban perkosaan atau kehamilan membahayakan kesehatan yang ingin melakukan aborsi.
Pasal lain yang kontroversial adalah pemidanaan promosi alat kontrasepsi. Dalam hukum pidana baru, orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana denda.
Pasal ini bisa menghambat penyebaran informasi soal alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi bahkan bertentangan dengan program KB pemerintah.
Ada juga pasal yang tidak masuk akal, kata Refli. Misalnya aturan mengenai perempuan. Perempuan yang pulang malam bisa ditangkap jika tanpa identitas jelas.
“Untuk RKUHP, presiden masih mau mendengar desakan masyarakat untuk menunda pengesahan,” ujar dia.
Seperti kata Bivitri, pemerintah dan anggota legislatif periode 2019-2024 yang baru dilantik memiliki tugas mendesak untuk memperbaiki 16 pasal yang dianggap bermasalah dalam RUU KUHP.
Pemerintah dan anggota DPR RI baru akan membahas dan mengesahkan peraturan pidana ini paling lama pada kuartal I tahun 2020.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.