Nasional

Anak-anak Indonesia alami gangguan jiwa akibat adiksi gawai

Anak laki-laki kecanduan game, anak perempuan kecanduan media sosial

Surya Fachrizal Aprianus  | 26.11.2019 - Update : 27.11.2019
Anak-anak Indonesia alami gangguan jiwa akibat adiksi gawai Ilustrasi: Siswa sekolah terlihat sedang memainkan gawai (Foto File - Anadolu Agency)

Jakarta Raya


Bogor 

Kian banyak anak-anak Indonesia menderita gangguan jiwa karena kecanduan memakai gawai atau smartphone.

Setidaknya ditunjukkan dari kasus di kota Bogor, Jawa Barat: jumlahnya mencapai 25 persen dari total pasien anak yang berkonsultasi di rumah sakit di Bogor.

Data itu diungkapkan oleh Ira Savitri Tanjung, spesialis kedokteran jiwa sekaligus psikiater anak dan remaja di Rumah Sakit Marzuki Mahdi (RSMM), Bogor, Jawa Barat, kepada Anadolu Agency, pekan lalu.

Jumlah pasien anak yang ditangani RS Marzuki Mahdi saat ini lebih dari 300 orang.

Artinya ada sekitar 75 anak penderita gangguan jika karena adiksi gawai.

"Setiap hari saya menangani sekitar 30 pasien. Dua puluh lima persen dari mereka terkait gawai," katanya.

Ira menambahkan, saat ini adiksi atau kecanduan gawai telah masuk dalam kriteria diagnostik.

"Jadi, adiksi gawai sudah termasuk gangguan kejiwaan," kata Ira menjelaskan.

Kata Ira, di antara ciri adiksi gawai adalah bermain gawai hingga 20 jam sehari, adanya perubahan perilaku, anak tidak mau sekolah, hingga tidak mau berinteraksi sosial.

"Anak-anak yang kecanduan gawai akan marah jika gawainya diambil, atau kalau kuota internet mereka habis," kata Ira.

Salah satu orang tua pasien, Sujana bin Samhuri, warga di sekitar Bogor, mengaku putranya, Syamsul Arifin (12), selalu marah jika kehabisan kuota internet.

"Kalau kuota habis dia marah, tidak mau sekolah, tidak mau mengaji. Bahkan dia pecahkan piring," ujar Sujana.

Kata Sujana, dia membelikan smartphone untuk putranya sebagai hadiah kenaikan kelas. Dari kelas 5 ke kelas 6.

Tetapi sejak itu perilaku puteranya berubah. Syamsul bisa bermain gawai hingga pukul 12 malam. "Main game Mobile Legend. Kalau belum menang, dia tidak mau berhenti," ujar Sujana menjelaskan.

Setelah konsultasi ke Puskesmas, Sujana disarankan membawa Syamsul ke RS Marzuki Mahdi. Di RSMM, Syamsul direhabilitasi selama 21 hari.

Setelah dirawat hampir sebulan tanpa gawai, perilaku Syamsul membaik. “Alhamdulillah normal. Tidak emosional lagi,” ujar Sujana.

Adiksi sebabkan ilusi

Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RSMM, dr. Lahargo Kembaren menjalaskan, adiksi gawai terjadi di seluruh dunia.

“Badan Kesehatan Dunia (WHO) menamakannya gaming disorder. Yakni gangguan jiwa karena permainan game yang berlebihan,” kata Lahargo.

Menurut Lahargo, gaming disorder juga mencakup kecanduan terhadap gawai. Karena kebanyakan game dimainkan di gawai.

Kata Lahargo, gangguan jiwa karena pemakaian gawai bisa berupa depresi, keadaan tegang yang tidak bisa membedakan ilusi dengan kenyataan, hingga gangguan mental (bipolar disorder); perasaan senang dan sedih yang berlebihan.

“Jadinya bukan dia yang kendalikan gadget, tapi gadget yang kendalikan dia,” kata Lahargo.

Dokter Ira menambahkan, anak yang adiksi gawai cenderung mengendalikan orang tua. Kata dia, karena tidak tahan melihat anaknya marah, orang tua akan selalu memenuhi tuntutan anak, seperti terus membelikan kuota internet.

Orang tua pasien, Sujana membenarkan keterangan Ira. Katanya, upaya dia memarahi putranya yang adiksi gawai juga tidak berbuah apa-apa.

“Anak saya seperti berhalusinasi. Kata dia, seperti ada yang membisikkan,” tutur Sujana.

Detoksifikasi gawai

Dokter Ira mengatakan, kebanyakan pasien dia adalah anak laki-laki. Kata Ira, mungkin karena anak laki-laki lebih agresif jika gawainya diambil oleh orang tua. Jadi orang tua membawa mereka ke psikiatri untuk segera ditangani.

Ira menambahkan, anak laki-laki kebanyakan memakai gawai untuk main game online. “Sedangkan anak perempuan kecanduan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Tik Tok,” kata Ira.

Dokter Lahargo menjelaskan, penanganan pada anak yang adiksi gawai harus dilakukan secara holistik. Mulai dari pemberian obat psikofarmaka, terapi perilaku, dan rehabilitasi psikososial.

Lahargo menegaskan, semua upaya rehabilitasi penderita adiksi gawai harus disertai detoksifikasi digital. “Selama terapi harus diajuhkan dari gawai yang jadi sumber kecanduannya,” kata Lahargo.


Setelah pulih, kata Lahargo, anak harus punya cara baru dalam memakai gawai. Katanya, orang tua harus punya aturan yang membatasi pemakaian gawai oleh anak-anak.

Dokter Ira menambahkan, anak usia 0 sampai 2 tahun seharusnya steril dari gawai. Katanya, anak baru layak diizinkan setelah 14 tahun.

“Untuk itu orang tua harus lebih dekat dengan anak mereka. Dan dampingi mereka ketika [sudah layak] memakai gawai,” pesan Ira.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.