Nasional

Amnesty: Brimob pelaku kekerasan di Kampung Bali harus disanksi pidana

Sepuluh anggota Brimob Polri hanya menghadapi sanksi disiplin berupa penahanan selama 21 hari karena melakukan kekerasan di Kampung Bali, Jakarta Pusat

Nicky Aulia Widadio  | 08.07.2019 - Update : 09.07.2019
Amnesty: Brimob pelaku kekerasan di Kampung Bali harus disanksi pidana DIrektur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Nicky Aulis Widadio - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA

Amnesty International Indonesia meminta agar anggota polisi yang terbukti bersalah melakukan kekerasan pada kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu diberikan sanksi pidana.

Sepuluh anggota Brimob Polri saat ini menghadapi sanksi disiplin berupa penahanan selama 21 hari karena kasus kekerasan yang terjadi di Kampung Bali, Jakarta Pusat.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengapresiasi pemberian sanksi kepada pelaku, namun polisi perlu memberikan sanksi melalui peradilan umum.

“Apabila tindakan itu merupakan tindakan kriminal seperti kekerasan atau pelanggaran HAM, itu harus dibawa ke pengadilan umum,” kata Usman, usai bertemu petinggi Polri di Jakarta, pada Senin.

Amnesty, sambung dia, memahami tugas polisi untuk membubarkan kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei lalu di Jakarta.

Namun hal itu tidak serta merta menjadi justifikasi untuk melakukan kekerasan apalagi terhadap orang yang sudah tidak berdaya.

Video kekerasan oleh anggota Brimob viral di media sosial pada Mei lalu. Di dalam video itu sejumlah anggota Brimob tampak memukuli dan menendang seorang pria tidak bersenjata secara brutal.

Juru bicara Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo sebelumnya mengatakan bahwa kekerasan itu terjadi secara spontan setelah anggota Brimob melihat komandan mereka terkena panah beracun.

Amnesty International menemukan bahwa kekerasan oleh aparat polisi juga terjadi di tiga lokasi di Jakarta Pusat yakni Kampung Bali, Jalan Wahid Hasyim, serta sekitar Jalan Sabang.

Di Kampung Bali saja, Amnesty menemukan ada lima kasus kekerasan dengan lima orang korban. Salah satu korban bernama Markus yang sempat kritis dan kini masih dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati.

Usman meminta polisi mengusut tuntas seluruh kasus dugaan kekerasan tersebut.

“Kami sudah sampaikan ada sejumlah insiden lain di lokasi lain. Pihak Mabes Polri membuka diri dan menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa itu akan diselidiki,” jelas dia.

Selain menyoroti kasus kekerasan, Amnesty juga meminta agar penegak hukum mengusut tuntas seluruh pihak yang terkait dengan kerusuhan 21-22 Mei 2019.

Apalagi kerusuhan tersebut telah menyebabkan 10 orang tewas, yakni sembilan orang di Jakarta dan satu orang di Pontianak.

Meski polisi menyebut korban sebagai “massa perusuh”, Amnesty memandang kasus pembunuhan 10 korban tetap harus dipertanggungjawabkan secara hukum melalui proses peradilan yang terbuka.

“Siapa pun pelakunya harus diperlakukan secara setara dan dihadapkan di muka pengadilan,” tegas Usman.

Delapan dari sembilan korban kerusuhan 21-22 Mei tewas akibat luka tembak, sedangkan satu lainnya tewas akibat hantaman benda tumpul.

Polisi hanya menemukan proyektil pada dua jenazah korban yakni Harun Rasyid dan Abdul Aziz.

Keduanya diduga ditembak oleh orang tidak dikenal berdasarkan uji balistik dan uji forensik terhadap bukti yang ditemukan. Pelaku menggunakan senjata jenis Glock 42 non-organik Polri.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.