Udara Jakarta, tantangan lain ribuan atlet yang berlaga di Asian Games
Berbagai situs dan aplikasi pengukur kualitas udara mencatat kandungan udara di Jakarta buruk, jauh dari standar yang ditetapkan WHO

Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Menghitung hari kedatangan belasan ribu atlet dari 45 negara yang berpartisipasi dalam Asian Games ke-18, para olahragawan tersebut agaknya tak hanya harus menyiapkan fisik untuk memenangkan cabang olahraga yang diwakilinya. Satu tantangan lain ternyata juga harus mereka hadapi.
Perkara udara yang buruk menjadi masalah yang harus mereka lawan selama lebih kurang tiga minggu berada di Jakarta. Pada pertengahan Juli, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan bakal mengintensifkan pemantauan udara ambien, atau udara yang dihirup sehari-hari.
Kala itu, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Karliansyah mengatakan hasil analisa pengaruh emisi kendaraan bermotor terhadap kualitas udara ambien Jakarta, pada 11 Mei-6 Juli 2018 terjadi penurunan konsentrasi partikel tak kasat mata.
Partikel tak kasat mata yang dikenal dengan sebutan PM 2,5 atau Particular Matter 2,5, merupakan ukuran partikel yang lebih kecil dari 2,5 mikrometer. Bentuknya yang sangat kecil diilustrasikan seukuran sepertigapuluh dari diameter rambut manusia.
“Terjadi penurunan konsentrasi PM 2,5 sebesar 33 persen pada masa cuti lebaran. Sedangkan, pada masa lebaran, kualitasnya tidak lebih baik dibanding tahun sebelumnya,” kata Karliansyah dikutip dari situs KLHK.
Dia menjelaskan penurunan kualitas udara terjadi karena banyaknya proyek pembangunan infrastruktur di ibu kota, khususnya Kawasan Gelora Bung Karno (GBK).
Di tempat lain, kualitas udara ambien PM 2,5 di Palembang, menurut Karliansyah, sangat baik yakni sekitar 16 mikrogram (ugram/m3). Dia menjamin kualitas udara di Palembang aman, dengan catatan tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan di sekitar wilayah.
Diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, baku mutu rata-rata harian untuk PM 2,5 adalah 65 ugram/m3.
“Selama Asian Games, terdapat beberapa hal akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas udara. Pertama, semua kendaraan resmi Asian Games menggunakan bahan bakar gas, sterilisasi area sekitar Gelora Bung Karno, serta rekayasa lalu lintas ganjil-genap kecuali kendaraan roda dua. Begitu pula transportasi umum Transjakarta, MRT dan LRT akan dimaksimalkan,” kata Karliansyah.
Meski pemerintah memastikan telah menggalakkan berbagai cara untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta dan Palembang, namun udara ibu kota pada awal Agustus ini dinilai masih jauh dari standar kualitas udara yang baik.
Berpegang pada standar kualitas udara ambien Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mematok angka 25 ugram/m3 untuk Nilai Ambang Batas atau batas konsentrasi polusi udara, maka Indonesia menjadi negara yang membuat standar melebihi aturan WHO. Pasalnya, pemerintah memperbolehkan NAB untuk PM2.5 mencapai 65 ugram/m3.
Dengan standar yang lebih tinggi tersebut, kualitas udara di Indonesia dapat diartikan lebih lemah tiga kali lipat dibanding aturan WHO. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyayangkan aturan pemerintah yang tidak menyesuaikan dengan aturan WHO, terlebih dengan adanya gelaran Asian Games 2018.
“Bayangkan misalnya atlet Singapura yang di negaranya punya kualitas udara 35 ugram/m3, kemudian ketika di Jakarta dia harus menghirup kualitas udara yang lebih dari itu. Yang paling saya khawatirkan para atlet ini datang dengan standar udara mereka, tapi pemerintah mempublish [data Indonesia] dengan angka yang berbeda, jadi kan agak memalukan,” tutur Bondan kepada Anadolu Agency, Selasa.
Bicara tentang tingginya selisih angka aturan kualitas udara Indonesia dengan standar dunia, Bondan melanjutkan, ada kemungkinan atlet-atlet Asian Games akan mengalami gangguan kesehatan.
“Yang pasti kalau kita bicara PM 2,5 itu partikel yang sangat kecil, jadi siapapun yang menghirup itu lebih bahaya. Atlet ini kan kalau bekerja di luar ruang jantungnya bekerja dua kali lipat, nah bagi atlet yang sensitif biasanya akan merasa gatal atau setidaknya matanya akan terasa pedih,” kata Bondan.
Meski dipastikan berbahaya, penanganan masalah kualitas udara untuk Asian Games memang terbilang sudah telat. Bondan pun mengaku kalau Greenpeace Indonesia telah beberapa kali mengingatkan, namun tidak disimak oleh otoritas terkait.
“Kita sudah ingatkan tapi tidak digubris. Harusnya kalau bicara jangka panjang soal kualitas udara, dilihat juga sumber udara yang kita hirup ini dari mana saja, secara global. Sampai saat ini belum ada data dasar yang dipakai secara konsisten [oleh pemerintah].”
“Bicara soal polusi udara itu ada yang sumbernya bergerak dan tidak bergerak. Kalau sekarang, yang mungkin bisa dilakukan ya coba kendalikan sumber yang tidak bergerak seperti industri, ataupun selemah-lemahnya adalah mengendalikan orang-0rang yang suka membakar sampah,” papar Bondan.
Cara mudah pantau kualitas udara
Periode Juli-Agustus dikenal sebagai masa suhu bumi lebih panas dari bulan lainnya. Di Indonesia musim panas dalam kurun waktu tersebut pun identik dengan polusi udara yang meningkat.
Bondan mengatakan, saat ini sebenarnya masyarakat sudah dapat mengetahui kualitas udara yang tengah dihirup, apakah sehat atau berbahaya. Salah satunya yakni dengan penggunaan aplikasi AirVisual yang merupakan gerakan global startup yang bergerak di bidang penyadaran masyarakat soal kualitas udara.
Dalam aplikasi tersebut, terpampang dengan jelasi Air Quality Index (AQI) di lokasi si pemilik smartphone dan juga ranking negara-negara dengan polusi udara tertinggi. Greenpeace Indonesia, kata Bondan, menggunakan AirVisual sebagai salah satu media untuk memantau kualitas udara di Jakarta dan kota lainnya.
Berdasarkan pantauan AirVisual pada 1 Agustus per pukul 17.10 WIB, tercatat bahwa AQI di Jakarta mencapai angka 154 yang berarti tidak sehat. Sedangkan data kualitas udara yang ditampilkan situs AirNow milik Departemen Luar Negeri Amerika Serikat per pukul 17.00 WIB, AQI berada di angka 145.
Kalkulator AQI milik AirNow menerjemahkan, angka 145 tersebut berarti mengandung 53,3 ugram/m3. Angka tersebut memang terbilang tidak melampaui ambang batas polusi udara yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
Namun sebelmunya, data AirNow pada pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB yang akan menjadi jam sibuk para atlet bertanding pada saat Asian Games tiba di Jakarta dua pekan mendatang, mencatat angka kualitas udara yang tidak sesuai standar WHO.
AirNow merekam pada periode waktu tersebut, AQI di wilayah Jakarta mencapai angka tertinggi yakni 168, yang berarti mengandung 88,4 ugram/m3, dengan status Tidak Sehat. Angka tersebut selain melebihi standar WHO, juga melampaui standar baku mutu rata-rata harian PM 2,5 versi pemerintah Indonesia.
Status AQI yang tidak sehat itu mengategorikan orang dengan penyakit pernapasan atau jantung, orang tua dan anak-anak sebagai kelompok yang paling berisiko.
“Dengan teknologi yang sudah ada saat ini, maka sudah seharusnya kebijakan tahun 1999 tentang kualitas udara harus direvisi,” ujar Bondan.