Nasional

Terdakwa bom di Samarinda dituntut seumur hidup

Tak ada penyesalan dalam diri terdakwa

er  | 31.08.2017 - Update : 04.09.2017
Terdakwa bom di Samarinda dituntut seumur hidup Terdakwa Bom Gereja Oikumene, Samarinda Juhanda alias Jo saat mendengarkan tuntutan JPU di PN Jakarta Timur, Kamis 31 Agustus 2017 (Erric Permana - Anadolu Agency)

Jakarta

Erric Permana

JAKARTA

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Timur Yuana Nurhisyam menuntut hukuman penjara seumur hidup kepada Juhanda alias Jo, terdakwa kasus bom di Gereja Oikumene Samarinda, Jakarta Timur, Kamis.

Perbuatan Jo yang mengakibatkan 3 orang anak luka berat dan 1 tewas, ujar Juana, melanggar Pasal 15 jo Pasal 6 Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana yang telah ditetapkan UU No 15 Tahun 2003.

“Selama pemeriksaan dalam persidangan tidak ditemui adanya alasan pemaaf dan pembenar dalam diri terdakwa, maka sudah sepantasnyalah terdakwa dijatuhi hukuman yang setimpal,” ujar Yuanda saat membacakan tuntutan.

Tak ada penyesalan dan menganggap fakta bom sudah sesuai dengan ideologi yang dianut terdakwa itu justru memberatkan tuntutan. Selain itu, kata Yuana, terdakwa juga merupakan residivis.

“Terdakwa merupakan residivis pelaku bom buku,” tegasnya.

Dalam tuntutannya, JPU juga mengajukan permohonan  dari 7 keluarga korban kepada hakim untuk memberikan hak kompensasi sebesar Rp 1,479 miliar yang dibebankan kepada negara. Total nilai yang diajukan tersebut merupakan hasil dari perhitungan Lembaga Saksi dan Korban (LPSK).

Tidak menyesali perbuatan

Jo tersenyum saat JPU membacakan tuntutan.

“Allahu akbar!” teriaknya, usai tuntutan selesai dibacakan.

Dengan penuh percaya diri, ia mengajukan pledoi atau pembelaan pasca tuntutan dalam persidangan.

“Saya sendiri akan mengajukan pembelaan,” tegasnya kepada majelis hakim.

Tuntutan itu, ujar Kuasa Hukum Jo, Tri Saupa, sangat memberatkan. Dia meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan penyebab terdakwa melakukan aksi teror tersebut.

“Sekalipun memang benar melakukan dan diakui, tapi kita harus lihat apa penyebab dia melakukan itu dan apa penyebab orang tersebut berpikir demikian. Hakim harus menilai itu,” jelasnya.

Terkait permohonan kompensasi yang diajukan korban, kuasa hukum menilai hal tersebut merupakan keuntungan bagi kliennya karena hal itu dibebankan kepada negara.

“Persoalan untung atau rugi ,bagi kami untung sih, karena tidak menambah beban ke klien kami,” katanya.

Pada November 2016 lalu, Juhanda melakukan aksi terror dengan melemparkan bom molotov ke parkiran gereja Oikumene, Samarinda Kalimantan Timur. Akibat perbuatannya, 3 anak mengalami luka bakar dan satu anak bernama Intan Olivia berumur 3 tahun tewas.

Kematian Intan Olivia membuat masyarakat di Indonesia marah. Meski sempat kabur setelah melakukan aksi, namun Juhanda berhasil ditangkap oleh warga. Dia pun sempat dihakimi oleh warga. 

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.