Regional

Pengungsi Rohingya ingin penderitaan mereka berakhir

Terpaksa melarikan diri dari penganiayaan dan pembantaian, Muslim Rohingya memimpikan hidup yang damai

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 17.01.2019 - Update : 18.01.2019
Pengungsi Rohingya ingin penderitaan mereka berakhir Ilustrasi. (Foto file - Anadolu Agency)

Ankara

Kaan Bozdogan

COX’S BAZAR, Bangladesh 

Muslim Rohingya, yang terpaksa pergi dari tanah air mereka untuk menghindari penindasan dan pembantaian yang mengerikan, tidak bisa menghapus kenangan mereka yang menyakitkan.

Hampir 1,5 juta Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan etnis dan agama di Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh berjuang untuk bertahan hidup di kamp-kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar.

Banyak Muslim Rohingya, yang beberapa di antaranya kehilangan anggota keluarga, memimpikan kehidupan yang damai dan terlepas dari kepedihan mereka.

Tetapi mereka tidak ingin kembali ke negara mereka kecuali jika mereka mendapat jaminan.

Salah satu pengungsi, Zafer Islam, yang ibu dan ayahnya dibunuh oleh regu tembak, tinggal di kamp Kutupalong, Cox's Bazar, sejak 2017.

"Militer Myanmar membunuh ibu dan ayah saya ketika mereka meninggalkan rumah mereka. Kami harus berlari saat serangan itu. Saya datang ke sini bersama istri dan tiga anak saya. Saya tidak mungkin bisa melupakan hari-hari itu, yang lukanya masih membekas," ujar Islam.

Ruhlamin dan Anuar Begom, sepasang suami istri, juga tinggal di kamp bersama dua anak mereka.

Mereka berjalan dengan anak-anak mereka selama seminggu dan kemudian berenang melintasi Sungai Naf untuk mencapai kamp di Bangladesh dan saat ini tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari bambu dengan bantuan dari Turki.

"Turki adalah negara yang melakukan perlawanan untuk kami dan tidak melupakan kami di sini. Kami melihatnya dari pekerjaan warga Turki di sini," kata Begom.

"Pertama kali kami datang ke sini, kami tidak punya tempat tinggal, kemudian orang-orang dari Turki datang ke sini untuk membangun rumah bagi kami," tambahnya.

Seorang pengungsi lain, Amir Husein (55), yang mencapai kamp setelah berjalan satu minggu dengan enam anaknya, mengatakan bahwa mereka pergi ke Cox's Bazar dengan berjalan bersama sekelompok warga Rohingya berjumlah 500-600 orang dan mereka sekarang tinggal di rumah yang dibangun oleh Turki.

"Saya berdoa untuk Turki," katanya.

Muhammad Nur (64), yang tiba di kamp bersama istri dan empat putrinya setelah berjalan selama 12 hari, mengatakan bahwa dia kehilangan banyak anggota keluarganya dalam perjalanan ke Bangladesh.

Jumlah bantuan terbesar di kamp diberikan oleh Turki, yang membangun banyak fasilitas seperti rumah, rumah sakit, masjid dan sekolah serta sumur dibor di setiap lingkungan melalui kontribusi dari dermawan.


Kehidupan di kamp pengungsian

Kehidupan terus berlangsung di kamp-kamp pengungsian meskipun ada banyak kesulitan.

Sejumlah orang dewasa menghasilkan BDT50 hingga BDT100 (8.500-17.000 rupiah) setiap hari dengan bekerja di sekitar kamp.

Beberapa pengungsi juga berdagang di kamp-kamp dengan menjual produk makanan yang mereka bawa dari pusat kota.

Anak-anak belajar membaca, menulis dan menerima pendidikan agama di sekolah-sekolah yang dibangun oleh Turki serta menghabiskan waktu bersama dengan bermain sepak bola.

Anak-anak muda di kamp juga sesekali menyelenggarakan kompetisi sepakbola.Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.

Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira'.

Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan -- termasuk bayi dan anak kecil -- pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.

Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.