Pemilu 2019 ramai oleh 16 partai berebut dua ceruk pemilih
Pengamat politik: Jumlah parpol ideal dalam sistem multipartai mungkin 3-5 partai saja. Terlalu banyak pasti tidak efektif dan cenderung transaksional

Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Indonesia akhirnya memiliki 16 partai politik yang secara nasional akan berlaga pada pemilihan umum (pemilu) memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019 mendatang.
Partai terakhir yang mendapatkan nomor urut 20 adalah Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI).
Partai ini sebelumnya tidak lolos untuk menjadi peserta Pemilu, namun mereka memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Menetapkan nomor 20 sebagai nomor urut Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Kedua, keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan," ujar Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik dalam Rapat Pleno Terbuka Penetapan Partai Politik dan Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2019, di Jakarta Jumat.
Sebelumnya, KPU sudah mengesahkan parpol 14 peserta Pemilu. Yaitu Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kemudian Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Partai peserta Pemilu kemudian bertambah setelah Partai Bulan Bintang (PBB) yang sebelumnya tidak lolos verifikasi memenangkan gugatan peradilan ajudikasi Badan pengawas Pemilu (Bawaslu). Kemudian PKPI yang juga tidak lolos memenangkan gugatan di PTUN.
Selain di tingkat nasional, ada empat partai lokal di Provinsi Aceh, yaitu Partai Aceh, Partai Daerah Aceh, Partai Nanggroe Aceh dan Partai Sira.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengatakan, 16 partai yang akan berlaga pada pemilu legislatif ini bisa dikatakan mencerminkan kelompok-kelompok di masyarakat Indonesia sejak lama
Ada partai berbasis agama, yaitu PKB, PAN, PKS dan PPP. Berdasarkan Pemilu yang sudah digelar, partai-partai ini mempunyai total pendukung sekitar 30 - 35 persen dari total pemilih.
Menurut Djayadi, yang juga Direktur Eksekutif Saiful Munjani Saiful Mujani Research & Consulting, partai seperti PKB, PAN dan PPP sebenarnya sudah mempunyai “captive market” yaitu pemilih yang juga mempunyai afiliasi dengan organisasi masyarakat seperti NU dan Muhamadiyah.
Kemudian, basis pendukung dari PKS adalah kaum muda perkotaan, berpendidikan tinggi serta mantan aktivis dakwah kampus.
“Partai-partai ini saling berebut pendukung di ceruk yang sama. Jika ada partai Islam yang lebih unggul, maka itu adalah hasil merebut basis pendukung partai lain,” ujar dia saat dihubungi Anadolu Agency.
Kelompok kedua adalah “nasionalis terbuka” yaitu partai-partai yang tidak memiliki afiliasi tertentu dari segi kelas maupun kelompok sosial. Partai jenis dari partai yang baru menjadi peserta Pemilu seperti Perindo dan PSI.
Dari partai lama yaitu Golkar, Partai Demokkrat, Partai NasDem, Partai Hanura dan Gerindra, serta PDIP sebagai kekuatan kaum nasionalis terbesar saat ini. Mereka mempunyai ceruk pendukung sekitar 60 persen dari total pemilih.
“Masih di PDIP sekitar 20-25 persen. Mereka akan bertarung dan tidak akan membuat suara dominan,” ujar dia.
Djayadi memperkirakan dengan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen, dari 16 partai peserta pemilu akan ada sekitar 7-10 yang akan lolos ke parlemen.
Jumlah ini terkesan banyak, namun sebenarnya konfigurasi politik di parlemen yang lebih utama, yaitu kelompok pendukung dan oposisi pemerintah.
Saat ini, kata Djayadi, pemerintahan Jokowi berhasil sejak dua tahun pemerintahannya mampu mengkonsolidasikan dukungan
“Jika pemerintah bisa memperoleh dukungan politik yang solid di parlemen, maka jumlah partai ini sudah cukup ideal bagi sistem presidensial,” ujar dia.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan bagi negara dengan sistem presidensial seperti Indonesia, semakin sedikit jumlah partai makin baik.
Indonesia, menurut Syamsudin membutuhkan sistem multipartai yang moderat.
“Jumlah parpol ideal dalam sistem multipartai mungkin 3-5 partai saja. Kalau terlalu banyak pasti tidak efektif dan cenderung transaksional,” ujar dia pada Anadolu Agency.
Direktur Populi Centre Usep Syaiful Ahyar mengatakan, beberapa kali penyelenggaraan Pemilu pada era pasca reformasi gagal menyederhanakan sistem kepartaian. Padahal, sebagai negara dengan sistem presidensial, pemerintah memerlukan dukungan partai yang solid di parlemen.
Karena sistem kepartaian Indonesia yang rumit, maka tahun pertama kerja pemerintah dihabiskan untuk mengkonsolidasikan dan mengakomodir kepentingan parpol.
“Ini tidak efektif. Harusnya satu tahun itu sudah banyak melakukan kerja untuk rakyat,” ujar dia.
Menurut Usep, sistem politik di Indonesia terlalu banyak mengakomodir kepentingan elit-elit politik dengan beragam kepentingan sehingga gagal menyederhanakan parpol.
Seharusnya,tahapan penyerderhanaan dilalui dengan konsisten. Seperti sistem daerah pemilihan (dapil) yang diperkecil, parliamentary threshold yang makin tinggi.
“Kita ini terlalu banyak partai dan semua harus kebagian,” ujar dia.